Monday, June 28, 2010

Muhammadiyah dalam Politik Nasional

Indo Pos,

Azyumardi Azra

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

MENYONGSONG Muktamar Muhammadiyah di Jogjakarta 3-8 Juli 2010, agaknya perlu disegarkan kembali bahwa Muhammadiyah adalah salah satu di antara dua non-government voluntary associalions terbesar dalam lingkungan umat Islam Indonesia -bahkan juga sekaligus terbesar di dunia muslim. Denganberbagai organisasi sayapnya, lembaga dan amal usahanya, Muhammadiyah memainkan banyak peran penting dalam kehidupan berbangsa dan ber-negara, baik dalam dakwah, pendidikan, kesehatan, penyan-tunan sosial, ekonomi, dan seterusnya.

Peran Muhammadiyah dalam politik nasional juga sangat penting. Muhammadiyah memang bukan partai politik. Muhammadiyah lebih merupakan organisasi Islamic-based civil society (ma-"syarakat madani) dan sekaligus sebagai interest group (kelompok kepentingan). Dengan begitu, Muhammadiyah memiliki posisi sangat penting lian strategis dalam dinamika politik nasional -

Besarnya Muhammadiyah dalam berbagai segi dan juga dengan keluasan ruang geraknya membuat daya tekan politik (political leverage) perserikatan ini dalam kancah politik nasional tidak bisa diabaikan. Meskipun, sekali lagi, ia bukanlah organisasi politik. Walau begitu. Muhammadiyah seyogianya tidak tampil "terlalu politis" dalam berbagai perkembangan dan dinamika politik nasional. Sebaliknya, Muhammadiyah mesti senantiasa lebih menampilkan diri sebagai civil society dan interest group, yang sekaligus memainkan peran sebagai pressure grdup (kelompok penekan).

Salah satu faktor kebertahanan dan keberhasilan Muhammadiyah sepanjang sejarah dalam menjalankan misinya adalah kemampuannya memelihara jarak (disengagement) dengan negara, kekuasaan (power), dan politik sehari-hari (day-to-day politics). Muhammadiyah dalam banyak perjalanan sejarahnya cenderung melakukan "political disengagement", menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam politik, apakah "politik negara" (state politics) maupun "politik kepartaian" (party politics), atau politik kekuasaan (power politics). Dengan watak seperti itu, Muhammadiyah dapat terhindar dari kooptasi negara atau, lebih parah lagi, bahkan menjadi bagian dari negara itu sendiri. Begitu pula dengan sikap Muhammadiyah yang mengambil jarak dengan parpol-parpol sehingga tidak terjadi identifikasi Muhammadiyah dengan parpol tertentu. Hasilnya, Muhammadiyah dapat memelihara karakter dan mu-ruah-nya sebagai organisasi civil society.

Sebaliknya, dalam ekspresinya sebagai organisasi civil society vis-a-vis negara, Muhammadiyah tidak menjadikan dirinya sebagai "altematif bagi negara", berusaha menumbangkan kekuasaan negara untuk kemudian menjadi tulang punggung baginegara itu sendiri. Namun, Muhammadiyah lebih cenderung akomodatif terhadap negara. Meskipun, dalam kasus-kasus tertentu. Muhammadiyah melakukan resistansi sangat kuat terhadap negara, seperti dalam hal asas tunggal Pancasila pada paro pertama dasawarsa 1980-an. Dengan demikian, ekspresi dan aktualisasi civil society Muhammadiyah berbeda dengan pemahaman klasik dan kovensional tentang civil society yang dipandang sebagai gerakan dan kelompok oposisional yang bertujuan menumbangkan rezim yangberkuasa.

Politik Nasional dan Rekonsiliasi

Perkembangan politik nasional pasca-Pileg dan Pilpres 2009 yang tidak terlalu lama jarak waktunya dengan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah menampilkan gambaran campur aduk. Pemilu 2009 masih menyisakan berbagai dampak yang tidak selalu positif, baik pada tingkat nasional secara keseluruhan maupun dalam konteks Muhammadiyah. Perkembangan politik nasional sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik kembali kali kedua pada 20 Oktober 2O09 bahkan penuh gejolak karena munculnya berbagai kasus semacam "Cicak versus Buaya" (KPK versus Polri), kasus Bank Century, aksi massa pada Hari Antikorupsi 9 Desember 2009, mundurnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati, munculnya Sekretariat Bersama Koalisi, dan seterusnya.

Ketidakpuasan kalangan publik -termasuk kalangan Muhammadiyah- terhadap Presiden Yudhoyono karena sikap dan pernyataannya dalam merespons berbagai kasus tersebut justru meningkat. Dan, itu mengakibatkan berbagai program prioritas " 100 Hari" pemerintahan Yudhoyono-Boediono kelihatannya sulit tercapai. Bahkan, kekisruhan politik sejak bulan dan tahun awal ini sangat boleh jadi mewarnai pemerintahan ini sepanjang masa kekuasaannya.

Muhammadiyah cenderung mengambil posisi berseberangan, kritis -untuk tidak menyatakan "beroposisi"- terhadap rezim Yudhoyono-Boediono. Sikap kritis

Muhammadiyah terhadap pemerintahan Yudhoyono terbentuk sejak tahun-tahun terakhir pemerintahannya periode pertama (2004-2009). Hubungan yang kian tidak mulus antara Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono kian meningkat ketika Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (seperti juga NU dan banyak ormas Islam lain), baik secara implisit maupun eksplisit, memberikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres M. Jusuf Kalla-Wiranto.

Sikap Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam tersebut kelihatannya sangat membekas dalam diri Presiden Yudhoyono. Akibatnya, Muhammadiyah dan NU khususnya tidak lagi "diundang" untuk memberikan kadernya menjadi anggota kabinet. Bahkan, kini tidak ada lagi figur representasi Muhammadiyah dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Padahal, terdapat beberapa posisi menteri yang dalam kabinet-kabinet masa Pasca-Soeharto hampir selalu dipegang figur-figur Muhammadiyah. Terkatakan atau tidak oleh para pimpinan dan anggota Muhammadiyah, kenyataan itu merupakan sesuatu hal sangat pahit yang sedikit banyak menimbulkan resentment di lingkungan perserikatan.

Hasilnya adalah meningkatnya sikap kritis dan oposisional Muhammadiyah, setidaknya sebagaimana ditunjukkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan juga oleh dua mantan Ketua PP Muhammadiyah A. Syafii Maarif dan M. Amien Rais. Mereka pernah secara lugas menuntut Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani mengundurkan diri, paling tidak untuk sementara waktu ketika pengusutan "kasus Century" berlangsung. Lebih jauh, kenyataan bahwa rapat-rapat kordinasi di antara berbagai kalangan menjelang aksi massa pada Hari Antikorupsi 9 Desember 2009 diadakan di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, mengindikasikan sikap oposisional tersebut.

Dampak dan konsekuensi selanjutnya darisikap kritis dan oposisional Muhammadiyah vis-a-vis Presiden Yudhoyono telah terlihat dalam beberapa bulan terakhir. Tetapi, menjelang muktamar sekarang, mulai terlihat gejala rapprochement dan rekonsiliasi di antara kedua pihak. Indikasi rekonsiliasi itu adalah keinginan Muhammadiyah agar Presiden Yudhoyono membuka muktamar yang kemudian berbalas kesediaan RI I meresmikan muktamar lewat televideo dari Madinah al-Munawarah di sela-sela ibadah umrahnya

Memang rekonsiliasi merupakan langkah lebih baik bagi Muhammadiyah. Sebab, jika dalam aktualisasi dirinya sebagai civil society dan interest group tetap bersikap oposisional, Muhammadiyah sedikit banyak bakal menghadapi kendala. Sebagai civil society, Muhammadiyah boleh saja memainkan peran sebagai counterweight terhadap Presiden Yudhoyono. Tetapi, karena sikap krirtis dan oposisional, Muhammadiyah tidak dapat memainkan peran mediating dan bridging di antara negara (tepatnya Presiden Yudhoyono) dengan masyarakat akar rumput. Sikap kritis Muhammadiyah terhadap Presiden Yudhoyono selama ini berujung pada peningkaian disharmoni denganRI I.

Muhammadiyah boleh jadi juga mengalami hambatan dan kesulitan dalam aktualisasi dirinya sebagai "kelompok kepentingan". Boleh jadi sikap oposisional Muhammadiyah membuat aparat pemerintahan dan birokrasi pada berbagai levelnya juga tidak lagi kooperatif dengan Muhammadiyah. Dan, tentu saja hal itu tidak menguntungkan Muhammadiyah dan umat secara keseluruhan. Mempertimbangkan semua itu, tidak ada pilihan bagi Muhammadiyah kecuali lebih rckonsiliatif dan kooperatif dengan kepemimpinan nasional di bawah Presiden Yudhoyono. Wallahu a lam bish-shawab. (*)

1 comment: