Republika, 22 Juni 2010
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Jika dihitung menurut kalender miladiah, usia seabad Muhammadiyah baru akan jatuh pada 18 November 2012. tetapi jika yang digunakan kalender hijriah, gerakan Islam ini telah berumur sekitar 100 tahun empat bulan, dimulai sejak kelahirannya di Kauman, Yogyakarta, pada 8 Zulhijjah 1330. Muktamar ke-46 di kota kelahirannya pada 3-8 Juli 2010 disebut sebagai pertemuan tertinggi satu abad. Temanya dahsyat sekali "Gerak Melintasi Zaman, Dakwah, dan Tajdid Menuju Peradaban Utama".
Tujuan yang hendak diraih dalam jangka panjang adalah terciptanya peradaban utama, sebuah istilah lain dari masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, sebagaimana tercantum dalam AD (Anggaran Dasar) Muhammadiyah tahun 2005 Bab III Pasal 6.
Tentu tidak salah, bahkan sebuah keharusan, jika Muhammadiyah punya gagasan dan cita-cita besar dalam mengemban misi kesalahannya, seperti halnya negara Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, juga telah merumuskan tujuan besar jangka panjang itu yang intinya mengkristal dalam rumusan Pancasila. Sila ke-5 berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Dengan segala capaian yang positif sejak proklamasi tahun 1945, suara kritikal masih mengatakan bahwa sila ke-5 ini telah menjadi yatim piatu aejaknegara ini lahir 65 tahun yang lalu.
Muhammadiyah yang lahir 33 tahun mendahului Republik Indonesia rupanya telah semakin piawai dalam merumuskan tujuannya. Dalam AD 1912, artikel 2, formula tujuan itu ditulis dalam ungkapan yang sangat sederhana, yaitu a. Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng
Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta; b. Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya. Dari muktamar ke muktamar rumusan tujuan ini mengalami modifikasi. Istilah "masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" baru muncul dalam muktamar ke-31, yang berlangsung pada 21-26 Desember 1950 di Yogyakarta, 27 tahun sepeninggal pendirinya, Ahmad Dahlan, yang wafat pada 1923.
Di masa awal, masalah asas organisasi tidak dijumpai. Baru pada 1959, asas itu muncul setelah partai-partai Islam gagal memperjuangkan asas Islam untuk negara dalam Majelis Konstituante. Dengan kata lain, Muhammadiyah mencantumkan asas Islam dalam AD-nya tampaknya sebagai tebusan dari kegagalan partai-partai Islam di ranah konstitusional.
Sesungguhnya trade mark Muhammadiyah yang fenomenal adalah kiprahnya yang spektakuler di dunia pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pembelaannya terhadap anak yatim piatu. Kiprah ini memang jauh dari maksimal karena dihalangi oleh berbagai keterbatasan, baik dalam masalah dana1* maupun sumber daya manusia. Tetapi, jika disandingkan dengan organisasi kemasyarakatan sejenis di Indonesia, Muhammadiyah secara kuantitatif tentulah berada di garda depan. Coba Anda bayangkan jumlah PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) sudah berada di atas angka 160, kecil dan besar. Angka ini ditambah lagi dengan ribuan sekolah dan madrasah yang bertebaran di seluruh Nusantara. Kemudian, klinik dan rumah sakit sudah mencapai angka 500. Dengan fakta ini, beban Muhammadiyahitu sungguh berat. Mungkin karena energinya banyak tersedot oleh amal usaha yang luas dan banyak itu, Muhammadiyah belum berhasil menampilkan pikiran-pikiran besar dalam berbagai bidang kehidupan.
Bagaimana dengan gerak memasuki abad ke-2? Saran yang sudah saya sampaikan sejak beberapa tahun terakhir sebenarnya terpusat pada apa yang dinilai belum tergarap selama 100 yang lalu, harus mendapat perhatian utama. Pikiran-pikiran besar di bidang sosial-kemanusia-an, moral, politik, dan ilmu pengetahuan tidak boleh diabaikan. Sebab, tanpa ini semua, gagasan peradaban utama yang menjadi tema muktamar 2010 akan tetaplah tergantung di awan tinggi, tidak akan pernah membumi.
Dengan bermodal PTM yang banyak itu, gerak ke arah lahirnya pemikiran besar ini bukanlah sesuatu yang mustahil dengan syarat sivitas akademikanya punya kepekaan yang tinggi untuk itu. Dengan bantuan alat komunikasi modern yang semakin canggih sekarang ini, semua cita-cita besar akan lebih mudah direalisasikan. Tetapi, ada musuh besar yang harus ditaklukkan, yaitu kemalasan intelektual!
Sekali Muhammadiyah bisa menghancurkan musuh yang satu ini, jalan ke depan akan semakin lapang dan terarah. Perbedaan paham dalam soal-soal penafsiran agama dan kemanusiaan akan dapat dipersempit, jika modal intelektual itu tidak dipasung. Peradaban utama hanyalah mungkin digagas dengan baik, manakala prinsip kebebasan berpikir dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan subur. Tentu, corak intelektualisme yang dimaksud tetap berada dalam bingkai iman yang tulus.
No comments:
Post a Comment