Sunday, June 13, 2010

Pertemuan dengan Kyai Haji Akhmad Dahlan

Resist Info › 10/2005
newsletter 10/2005

Saya beranggapan bahwa selama ini Muhammadiyah belum pernah mendasarkan program dan strategi sosialnya atas dasar elaborasi yang mendalam mengenai realitas sosial yang objektif. Akibatnya adalah bahwa Muhammadiyah tidak pernah siap merespon tantangan-tantangan perubahan sosial yang empiris terjadi di masyarakat atas dasar konsep, strategi, dan teori yang jelas.
(Kuntowijoyo)

Adzan itu menggema dengan lantunan yang menyejukkan. Seruan yang memikat itu menyeretku untuk masuk ke beranda masjid. Dengan menggulung celana kususuri lantai depan masjid untuk mengambil air wudhu. Disana beberapa orang berdiri di depan kran. Ada yang sedang membasuh kening. Ada beberapa yang membasuh kaki dan sebagian yang lain mengusap-usap pergelangan tangan. Bergiliran kami mengambil air wudhu hingga suara Iqamat membawaku untuk bersama-sama menunaikan ibadah sholat. Seorang Imam yang berwajah teduh melantunkan beberapa ayat sepanjang tiga rakaat. Ketika sholat usai, Imam itu menuntun kami membaca sederet doa yang diakhiri dengan pembacaan Al Fatikhah secara berbarengan.

Aku seperti biasa menunaikan sholat sunnah dua rakaat dan kemudian beranjak keluar beranda. Bulan tergolek di langit seperti seorang kakek yang letih menunggu cucunya bermain. Di muka pelataran tampak pohon beringin kukuh berdiri seolah-olah menyatakan diri tak mau tunduk. Anak-anak kecil bersarung berlarian kejar-mengejar. Di emperan masjid ini beberapa jamaah duduk sambil menyapu pandangan ke depan. Panorama senja yang diam tapi sublim ini mengingatkanku pada masa silam di pesantren. Di sana beragama seperti belajar menari, ringan, lincah, dan selalu mengundang keinginan untuk bertanya. Tiba-tiba seseorang menyentuh punggungku. Kehangatan merambat dan kutengok seorang yang berparas santun mendekat. Aku pernah merasa melihat wajahnya tapi kali ini aku benar-benar lupa.

‘Assalamu’alaikum anak muda’ suaranya hangat dan merapat. ‘Walaikumm salam’ jawabku seolah ingin memecah keheningan. Ia menyentuh pundakku sembari tersenyum. ‘aku sejak tadi ingin menyapamu dan bolehkah aku menemanimu di sini? Pertanyaan yang ramah dan akrab. Aku mencoba mengulum senyum dan berusaha bertanya, ‘tentu saja boleh dan saya tambah senang. Bapak dari mana? Sepertinya saya pernah melihat wajah bapak belakangan ini? Orang tua itu menatapku dengan pandangan yang bersahaja dan ramah. Rasa-rasanya ada tiupan ketentraman ketika aku mendengar suaranya. ‘anak muda aku berasal dari masa lalu yang panjang. Dulu ketika seusiamu aku juga gelisah sama sepertimu. Aku merasa cemas melihat kemiskinan dan kebodohan yang membelenggu ummat Islam. Aku dulu juga ingin berbuat banyak dan memang kami kemudian membentuk organisasi yang hingga kini punya cabang di mana-mana’

Walau tidak merasa yakin sepenuhnya aku mulai meraba-raba siapa orang tua yang budiman ini. Tebakannya benar kalau aku resah melihat kemiskinan yang mencekik. Jawabannya lugas kalau untuk menghapus kemiskinan kita perlu organisasi yang kuat dan besar. Jangan-jangan orang tua yang ada di hadapanku ini adalah orang penting yang memimpin partai. ‘bapak punya partai’ tanyaku sekenanya. Orang tua ini tersenyum renyah, ‘anak muda dulu memang banyak keinginan untuk membentuk organisasi politik. Aku pernah bergabung dengan Sarekat Islam. Tapi partai jika tidak diperkuat dengan gerakan rakyat pastilah hanya jadi kumpulan orang jahat. Aku dan beberapa ulama mendirikan organisasi keagamaan yang hendak menjawab kebutuhan sosial ummat kala itu. Pendidikan merupakan organ yang kita bentuk pertama. Anak muda dari dulu sampai sekarang pendidikan itu tetaplah penting’

‘Pendidikan melatih orang untuk menggunakan akal sehat. Ciri orang terdidik adalah mampu meredam emosi dan bersikap lebih terbuka. Seorang yang terdidik tidak gampang terjatuh pada fanatisme. Itu sebabnya orang yang terdidik pastilah beriman. Sebab iman tanpa kepandaian hanya membuat orang beramal secara ngawur. Sedangkan ilmu tanpa amal ibarat orang lumpuh yang hanya bisa ngomong tapi tak mampu berbuat apa-apa. Anak muda aku minta maaf jika terlalu banyak bicara’ Ucapan yang begitu rendah hati ini membuatku terkesima. Orang tua ini pastilah punya pengalaman yang dalam. Masih samar-samar kuingat raut mukanya yang rasa-rasanya tidak asing lagi. Tapi entahlah aku enggan untuk bertanya siapa sebenarnya orang tua yang bijak ini. Kini tangan yang kukuh itu memegang pundakku, sembari bertanya, ‘kau tahu surat apa yang dibaca oleh Imam tadi?

‘Bukankah tadi Imam membaca surat Al Mau’un’ jawabku dengan yakin. Kulihat raut muka orang tua ini tersenyum, ‘benar anak muda. Itulah surat yang berulang-ulang aku tekankan dan kuajarkan hampir kepada semua orang. Ayat pertama yang artinnya: Allah bertanya, tahukah kamu, orang yang mendustakan agama (hari kemudian)? Itu sebuah pertanyaan mendalam anak muda dan Allah jawab sendiri, ‘itulah orang yang menghardik anak yatim’. Anak yatim bukan sekedar mereka yang ditinggal oleh ayahnya melainkan mereka yang berada sendirian dan berkedudukan tidak mampu. Anak muda, kulihat kini banyak orang menghardik anak yatim dengan menghimpun mereka dalam panti dan menjadikan mereka sekedar komoditi. Bagi orang jenis seperti inilah Allah memberi kutukan’

Ucapannya terasa bergetar dalam diriku karena barusan aku pulang dari sebuah panti yang benar-benar tidak terawat. Sumbangan yang kami berikan tak pernah tercatat dan laporan keuangan dari donatur juga jarang dipertanggung-jawabkan. Banyak anak-anak di dalamnya hanya bertemu dengan pengurus yang miskin kasih sayang. Ternyata perbuatan baik tidak sekedar dikerjakan, tapi sebaiknya dikelola dengan cara yang jauh lebih terstruktur. Aku seperti membenarkan apa yang dibilang oleh orang tua yang kini mulai mengambil sehelai kertas di balik bajunya. Ia perlihatkan sehelai pengumuman pembukaan hypermarket baru yang berada di kota kami. ‘Ini pengumuman apa anak muda? Tanyanya penasaran. ‘Ini pengumuman pembukaan Mall. Katanya akan diresmikan oleh Pejabat dan pemimpin keagamaan setempat’ Kataku terus terang.

‘Anak muda untuk apa Mall itu? Kenapa sampai seorang tokoh agama ikut-ikutan hadir? Diam-diam aku tak bisa menjawab. Sebab memang sekarang ini tokoh agama bisa hadir dalam acara apa saja. Saat Bursa Saham dibuka seorang rohaniawan dengan meyakinkan berdiri untuk memotong pita. Mall yang akan didirikan ini memang menyita lahan penduduk dan tak satupun organisasi keagamaan memprotes. ‘Saya juga tidak tahu untuk apa ulama hadir’ Jawabku dengan nada tidak meyakinkan. Orang tua itu masih saja memberi kemurahan senyum sembari berkata ‘di ayat berikutnya Allah kemudian mengatakan, kalau yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.

Anak muda kulihat di jalanan ada banyak anak miskin dan juga gedung-gedung perbelanjaan yang mewah. Ayat ini bukan suruhan untuk memberi makan, tapi ‘tidak menganjurkan’. Itu berarti setiap orang diminta untuk mendorong kebijakan, perhatian, dan dukungan pada pemerataan. Aku tak tahu dimana gerangan orang-orang tua yang mengaku alim ulama ketika ada pembangunan pusat-pusat perbelanjaan yang kudengar merugikan pasar tradisional dan malahan kerapkali menggusur pemukiman penduduk’

‘Pusat-pusat perbelanjaan itu mengajari kita untuk mengkonsumsi dan mendidik kita untuk tidak pernah kenyang. Apalagi kalau pendirianya dilakukan dengan mengusur pemukiman. Tidak menganjurkan sama halnya dengan tidak memperingatkan kemewahan dan penumpukan kekayaan. Malahan dalam ayat ini tidak digunakan redaksi it’ham yang artinya memberi makan tetapi tha’am yang artinya makanan atau pangan, jadi makanan itu bukan milik mereka (orang kaya) akan tetapi hak untuk orang miskin. Anak muda aku lihat banyak orang yang sepertinya merasa sedekah itu adalah kemurahanya atau kerelaanya padahal sebenarnya itu adalah hak orang miskin. Itu harta mereka bukan kepunyaanya sendiri. Anak muda aku prihatin dengan sikap alim ulama yang berdiam diri menyaksikan pameran kekayaan dan tidak berani memperingatkan. Padahal dalam semua jenis kekayaan ada harta yang harus disedekahkan. Ingatlah firman Allah yang artinya, ‘Dan dalam harta mereka (orang yang berkecukupan) itu terdapat hak orang yang meminta dan orang yang tidak memiliki (QS 51:19)

Orang tua itu menghela nafas dan raut mukanya kelihatan kian sedih. Sepertinya ia meneteskan air mata. ‘Dulu aku mendirikan organisasi agama yang kini menjadi besar untuk mengimplementasikan surat Al Ma’un. Tujuan organisasi ini tak lain adalah membela dan melindungi orang miskin. Jadikan organisasi ini bukan sekedar menyantuni tapi bekerja untuk mereka yang miskin. Organisasi ini sebaiknya ikut bertanggung jawab dengan tingginya angka kemiskinan. Jika organisasinya sudah besar tapi kemiskinanya juga melebar maka aku tak tahu apa yang diperbuat oleh para pengurusnya? Aku rindu dengan teman-temanku dulu di Sarekat Islam yang gigih memprotes para penguasa kolonial yang berlaku diskrimimatif dengan orang-orang pribumi. Apa organisasi yang kudirikan akan bersikap sama ketika rakyat kecil disingkirkan lahannya untuk membangun pusat perbelanjaan? Apa mereka juga akan memprotes ketika negara ini mengeluarkan kebijakan yang membuat rakyat terjepit. Apa mereka juga akan berbuat sama yakni meninggikan ongkos pendidikan karena yang lain juga melakukannya’ Bapak tua ini seolah melugaskan kesedihan yang terbenam begitu lama.

Kini aku tahu dengan siapa aku berhadapan, ‘apa bapak yang bernama Kyai Ahmad Dahlan? Pertanyaan yang kupikir akan mengejutkannya itu disambut hanya dengan seulas senyum. ‘Saya, saya juga anggota Muhammadyah dan pengikut bapak’ jawabku dengan tertatih-tatih. Dengan serta merta aku berusaha untuk mencium tangan sebagaimana yang dilakukan oleh kawan-kawanku yang lain. Tapi tiba-tiba ditepisnya tanganku perlahan-lahan sambil berkata ‘anak muda kalau kau mengatakan menjadi pengikut Muhammadyah ikutilah semangatnya yang selalu membela orang miskin dan berjuang demi tegaknya keadilan. Dulu pendidikan yang kami dirikan untuk meyantuni rakyat pribumi yang dianggap malas dan bodoh. Bersama dengan teman-teman Sarekat Islam kami menolak kolonialisme yang mengekalkan penindasan. Jangan mengaku menjadi kader Muhammadyah kalau kaum diam menyaksikan penindasan. Sesekali jangan kau meniru watak para penindas yang membuat sistem sosial yang dinikmati oleh segelintir orang. Kalau kau buat pendidikan hanya untuk melayani orang kaya semata-mata itu artinya kamu tidak memerdekakan kaum miskin. Jika organisasi ini diam ketika ada penggusuran maka waktunya para pengurus membaca kembali niat semula dari para pendiri Muhammadyah’

Aku tercenung diam dan mengingat-ingat apa saja yang baru kami alami. Dua hari yang lalu ketika kami ikut aksi turun ke jalan tiba-tiba kami dipanggil oleh beberapa pengurus. Mereka semua marah dengan cara kami melakukan tuntutan. ‘kalian itu mirip PRD. Jangan sedikit-dikit protes ke jalan. Kalau bisa dibicarakan maka bicarakanlah. Ingat kalian itu warga Muhammadyah bukan PRD’ begitulah petuah yang dicecarkan pada kami. Esok hari teman kami yang lain juga mengalami nasib serupa gara-gara mencoba untuk mengibarkan pikiran-pikiran liberal. Andai benar sosok yang kutemui ini bapak Kyai Ahmad Dahlan sudah tentu aku bangga. Arif, sederhana, dan berpihak. Rasa-rasanya memang Muhammadyah penting dipimpin oleh pribadi seperti ini. Aku terdiam agak lama dan sesaat aku terkejut ketika orang tua itu mengucapkan selamat tinggal. ‘Anak muda sudah terlalu banyak yang kusampaikan padamu. Amalkanlah itu dan salamku untuk semua temanmu yang masih belia dan percaya kalau keadilan bukan sekedar ucapan tapi sebuah perjuangan yang membutuhkan keringat’.

Tapi bukankah surat Al Ma’un belum selesai bapak tafsirkan? Tanyaku sekenanya. Orang tua itu berdiri dan kemudian menyalamiku dengan genggaman erat, ‘anak muda aku tak ingin kau hanya tahu banyak hal tapi tidak banyak berbuat. Dua ayat yang kausebut tadi jika kau-amalkan maka perubahan sosial akan menjemputmu. Bersikap kasih-sayanglah pada mereka yang yatim, termasuk anak-anak muda pemberani dan mereka yang tertinggal dalam kemajuan kemudian peringatkan mereka, orang-orang yang enggan untuk menelurkan kebijakan berpihak pada si miskin. Itulah agama sejati, membela dan menjelmakan keadilan dalam kehidupan nyata. Ingatlah anak muda, ilmu tidak hanya mengajarimu pintar tetapi juga melatihmu untuk semakin mencintai kebenaran dan keadilan. Assalamu’alaikum anak muda Muhammadyah. Semoga kau bisa mewarisi keberanian kami yang dulu. Katakan pada mereka yang kini duduk di pengurusan, jika Muhammadyah dulu didirikan semata-mata karena semangat untuk melakukan pembelaan dan berjalan dengan keberanian anak-anak muda sepertimu,’. Aku terdiam dan seolah tidak percaya akan apa yang kutemui barusan. Gema Adzan Isya yang melantun indah menuntunku untuk kembali mengambil air wudhu. Kubasuh mukaku dan diam-diam dalam hati aku berdoa semoga aku mampu menjadi sosok sebagaimana yang dikatakan oleh orang tua tadi. Amien.


KOTAKNYA EDITOR

Jangan kaget ini Resist Info khusus Muktamar Muhammadiyah! Bayangkan, bahkan Muhammadiyah sendiri barangkali tak bikin newsletter macam beginian. Tak cuma itu, untuk menyambut perhelatan akbar ini kami menjadi lebih sibuk daripada biasanya. Dalam rapat-rapat, perhelatan ini selalu menjadi pembicaraan utama. Acara-acara lain yang kebetulan berlangsung bersamaan mesti menyisih ke urutan kedua, ketiga, dan seterusnya. Acara-acara seperti kondangan, gotong royong se-RT, rewang, menjenguk orang tua, apalagi mengapel pacar jelas tak masuk dalam prioritas.

Mengapa? Ada apa Resist dengan Muhammadiyah? Atau lebih tepatnya, dikasih apakah Resist oleh Muhammadiyah? Atau untung apa yang diperoleh Resist dari Muhammadiyah?

Seorang pencela yang mempunyai jiwa dagang pasti dengan gampang menjawabnya. “Ini semata jualan kan!?”, sergahnya dengan mimik yang bisa kamu bayangkan seperti apa. Tentu, kami menerbitkan buku memang untuk dijual. Tapi, bagi orang yang membaca buku-buku Resist pasti tahu seberapa banyak (atau seberapa dikit) dari buku-buku itu yang memang khusus ditujukan untuk kaum Muhammadiyah sehingga membuat mereka dengan antusias akan memborong habis buku-buku itu dan kemudian memajangnya di lemari ruang tamu sebagai tanda kalau mereka pernah ikut muktamar!

Lagi pula, Resist bukannya tidak menanggung resiko tertentu. Selama ini orang melihat, memperhatikan, lalu membeli, selanjutnya mengagumi (kalau boleh saya katakan demikian), dan akhirnya menganut (kalau ini seharusnya tidak boleh saya katakan demikian) ‘ideologi’ Resist tidak sekedar dari buku-buku yang diterbitkannya, melainkan juga dari segala tindak-tanduknya. Entah bagaimana, dalam diri Resist tiba-tiba sudah melekat suatu peran sosial tertentu yang mesti dipenuhi, lebih dari sekedar dalam kapitasnya sebagai ‘pedagang buku’. Misalnya, buku-buku Resist dituntut untuk lebih murah ketimbang buku-buku dari penerbit lain, seolah Resist identik dengan penjual barang-barang murah. Bisa jadi, orang makin mendekat atau menjauh, bahkan antipati hanya berdasarkan berhasil atau gagalnya memenuhi tuntutan peran ini.

Itulah kenapa pada awalnya sulit untuk menulis kotak editor ini. Pertama, karena pengetahuan saya soal Muhammadiyah amatlah awam. Saat kecil dulu, saya hanya tahu kalau Muhammadiyah adalah sekolah tempat berdampar teman-teman yang tidak diterima di sekolah negeri. Atau, suatu sebutan yang ditempelkan kepada seorang tetangga kampung ketika menjadi sasaran bahan gosip para bapak dan ibu karena tidak pernah mau menghadiri atau mengadakan kenduri. Itu sudah lama, meskipun tidak sampai puluhan tahun (percayalah, saya tidak setua itu). Dan saat itu, saya masih kecil; Muhammadiyah yang sebenarnya tentulah tidak sesederhana seperti pandangan lugu itu, apalagi saat ini.

Yang kedua, selama ini Resist murni dikenal sebagai sebuah usaha penerbitan yang khusus menerbitkan segala buku gerakan sosial, tanpa memandang kecenderungan ideologisnya. Resist tidak terafiliasi pada suatu organisasi, lembaga, atau bahkan corong partai tertentu. Kalaupun berpihak, secara terang-terangan, seperti yang tertera dalam profilnya, Resist berpihak pada kaum yang tertindas, kaum yang terpinggirkan, atau korban dari sistem yang timpang.

Sekarang, tiba-tiba ada Resist Info khusus muktamar Muhammadiyah! Bagaimanakah nanti tanggapan orang umumnya atau pembaca setia Resist Book khususnya?

Ini bukan soal apakah Muhammadiyah baik atau buruk atau apa pun penilaian terhadapnya. Kenyataannya, barangkali ada salah satu atau beberapa dari kami yang sebenarnya seorang Muhammadiyah. Saya katakan ‘barangkali’ karena tidak satupun yang secara terang-terangan mengaku sebagai Muhammadiyah. Memang banyak yang rajin sholat lima waktu, tiap Jum’at ke masjid, beberapa berjenggot, sebagian besar perempuannya berjilbab, dan ketika pemilu dengan sukarela mencoblos PAN. Itu tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk. Meskipun, dengan sedikit kejelian, insya’allah, saya sebenarnya masih bisa menebak siapa orang itu. Tak akan saya sebutkan di sini, toh tak akan membuat gaji mereka naik.

Apapun itu, ini sebenarnya tidak melenceng dari peran yang sebenarnya diusung oleh Resist selama ini. Peran yang sering disalah-artikan oleh banyak orang sebagai tukang kompor, kompor-kompor, agitator, atau provokator. Tuduhan yang salah karena dilihat dari logonya saja tidak terlihat adanya gambar kompor sama sekali. Hanya ada api di sana. Bukan tanpa alasan kami menggunakan simbol api, bukan bintang, bulan sabit, gunung, apalagi gambar hati! Api di sini dimaksudkan sebagai api untuk menyalakan semangat jiwa-jiwa yang resah melihat dan dan hidup dalam suatu sistem yang pada satu sisi menghasilkan gaya hidup kuliner dan pada sisi yang lainnya merebakkan wabah busung lapar. Muktamar hanyalah salah satu ajang, yang di dalamnya semangat-semangat semacam itu harus disulut. Salam.

Retrieved from: http://www.resistbook.or.id/index.php?page=newsletter&no=10-2005&id=24&lang=id (June 13, 2010)

No comments:

Post a Comment