Friday, May 7, 2010

Muhammadiyah Takut Berpikir

Republika, Resonansi, 27 April 2010

Oleh Ahmad Syafii Maarif

ImageAda karya Dr Haedar Nashir yang baru saja terbit berjudul Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010). Penulis mencoba melakukan rekonstrusi perjalanan panjang Muhammadiyah yang sudah melampaui satu abad berdasarkan hitungan kalender Hijriah. Jika yang digunakan kaleder miladiyah usia satu abad Muhammadiyah masih menanti tanggal 18 November 2012. Tampaknya muktamar satu abad pada 3-8 Juli 2010 berdasarkan Hijriah, karena Muhammadiyah resmi lahir pada 8 Zulhijjah 1330.

Resonansi ini akan memberikan perhatian untuk menjawab pertanyaan yang diberikan judul, karena menurut pertimbangan saya tema muktamar: 'Melintasi Satu Abad, Membangun Peradaban Utama' akan sia-sia belaka jika pertanyaan itu tidak dijawab secara jujur dan bertanggung jawab. Sumber autentik yang dapat dibaca dalam karya Haedar di atas sangat menolong kita untuk memberikan jawaban tentang bagaimana sejatinya sikap Muhammadiyah terhadap kemerdekaan berpikir, seperti yang terbaca pada halaman 185.

Saya kutip penegasan sikap itu: 'Maka kembang bersinarlah agama Islam, karena kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu muramlah cahayanya, karena kemerdekaan berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya kembalinya kemegahan dan kebesaran Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama dari segala seginya.'

Kutipan di atas muncul tahun 1954 saat Muhammadiyah dipimpin oleh AR Sutan Mansur, tetapi boleh jadi telah dirumuskan pada periode Ki Bagus Hadikusomo. Luar biasa, bukan? Muhammadiyah ternyata sangat mendorong kemerdekaan dan kebebasan berfikir sebagai prasyarat bagi terciptanya peradaban utama. Dengan kata lain, orang akan menjadi tidak layak berbicara tentang peradaban utama jika takut berfikir bebas. Peradaban tinggi mana pun di muka bumi, bangsa apa pun yang menerukanya hanya mungkin menjadi kenyataan manakala prinsip kebebasan berfikir dijamin secara penuh oleh negara. Kebebasan berfikirlah yang paling bertanggung jawab bagi mekar dan mencuatnya menara-menara peradaban sepanjang sejarah.

Jika demikian, apa yang dirumuskan oleh PP Muhammadiyah 56 tahun yang lalu patut benar direnungkan kembali di saat-saat persyariktan ini sedang melangkahkan kakinya memasuki gerbang abad ke-2 dari misinya di nusantara ini. Formula antisipatif Muhammadiyah ini jangan sampai dibombardir oleh mereka yang berpikir a-historis yang menurut Abdallah Laroui (Maroko) hanya punya satu risiko: orang gagal membaca realitas. Muhammadiyah tidak boleh terperangkap dalam serba kegagalan ini lantaran tidak membuka dokumen yang pernah dirumuskan oleh pendahulu kita dengan yang sangat berani.

Bagaimana situasi sejarah di tahun 1950-an itu di Indonesia? Dari sudut pandang politik, bangsa ini ketika sedang demam pemilu pertama yang dilaksanakan tahun 1955, untuk DPR dan untuk Majelis Konstituante. Suhu politik sangat panas tetapi terkendali. Pertarungan ideologi sengit sekali, tetapi tidak ada setetes darah pun yang tertumpah. Bangsa kita ketika jauh lebih dewasa dibandingkan setengah abad kemudian. Ki Bagus dan AR Sutan Mansur, dua tokoh puncak Muhammadiyah yang sangat dihormati, adalah pendukung gagasan Islam sebagai dasar negara. Ki Bagus bahkan dalam sidang-sidang BPUUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) bulan Mei-Juni 1945 dengan gigih memperjuangkan dasar Islam agar masuk dalam UUD Negara, sesuai dengan situasi zaman ketika itu.

Namun, sikap teologisnya tentang kemerdekaan berpikir sangat maju. Pimpinan Muhammadiyah dalam suasana politik yang kritikal itu tidak kehilangan perspektif jangka panjang untuk Islam ke depan.

Maju mundurnya peradaban Islam dikaitkan dengan sikap umat terhadap kemerdekaan berpikir. Kemajuan akan diraih jika kemerdekaan berpikir itu digalakkan dan dilindungi. Sebaliknya, kehinaan dan keterbelakangan umat adalah akibat dari pemasungan terhadap kemerdekaan berpikir itu, baik itu dilakukan oleh penguasa maupun oleh 'ulama' yang reaktif di mana pemikirannya telah lama menjadi fosil. Bukankah salah satu alasan utama munculnya Muhammadiyah adalah untuk membebaskan umat dari suasana hati dan pikiran yang telah menfosil itu? Saya melihat munculnya gejala konservatisme di lingkungan Muhammadiyah pada tahun-tahun terakhir ini salah satu penyebabnya adalah karena terputusnya hubungan dengan dokumen penting yang telah dirumuskan oleh PP Muhammadiyah masa dulu.

Berdasarkan pertimbangan di atas, saya dengan sadar mengusulkan kepada Muktamar Muhammadiyah bulan Juli 2010 ini agar nama 'Majelis Tarjih dan Tajdid' sebagai hasil muktamar Malang 2005 diubah menjadi 'Majelis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir,' demi menghargai kerja keras intelektual para pendahulu kita yang telah berhasil merumuskan Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1954 yang cemerlang itu. Sebagai seorang yang lama terlibat dalam kiprah Muhammadiyah, saya sedikit menyesali diri mengapa lalai meneliti dokumen-dokumen strategis yang pernah dirumuskan Muhammadiyah yang punya moto 'Islam Berkemajuan' ini.

Dengan Resonansi ini, penyesalan itu akan berkurang dengan harapan generasi muda Muhammadiyah tidak mengikuti kelalaian saya. Dengan berbekal dokumen, kita akan terhindar dari kebiasaan: melompat dari kekosongan. Dokumenlah yang mengisi kekosongan itu. Sudah tentu, semua dokumen itu harus dibaca secara cerdas dan kritikal sesuai dengan suasana dan konteks zamannya. Tetapi, dokumen tentang kemerdekaan berpikir akan bertahan sampai rapuhnya dunia ini, karena rahasia kebesaran suatu umat terletak di sana.

No comments:

Post a Comment