Tuesday, May 4, 2010

Kisah Politik Ideologi Kaum Reformis Di Masa Kolonialisme

Retrived from: http://nazhoriauthor.blogspot.com/2010/01/resensi-buku.html

Oleh Nazhori Author*


Judul : Politik Kaum Modernis
Penulis : Dr. Alfian

Kata Pengantar : Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, M.A

Tahun Terbit : April, 2010

Penerbit : Al-Wasat Publishing House, Jakarta

Tebal Halaman : xvii + 448 Halaman

Di usianya yang genap satu abad, Muhammadiyah menyisakan pelajaran berharga terutama bagi bangsa Indonesia dan umat muslim khususnya. Sebagaimana diketahui, sejak didirikan KH. Ahmad Dahlan pada bulan November 1912, konsentrasi dan prinsip gerakannya adalah dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dari situlah, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam modern di bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial.
Seperti terungkap dalam isi buku ini, berdasarkan penelitian Alfian, Muhammadiyah pada masa kolonialisme memainkan tiga peranan yang saling terkait yaitu, pertama, sebagai reformis keagamaan, kedua, sebagai pelaku perubahan sosial, dan ketiga, sebagai kekuatan politik. Tiga peranan inilah yang ke depannya nanti membawa perkembangan Muhammadiyah menuju masa-masa formatif (1912-1923), masa-masa percobaan (1924-1933), dan masa-masa kejayaan (1934-1942).

Dari tiga alur pemikiran yang dibangun dalam buku setebal 448 halaman tersebut, pembaca akan terkesima melihat Muhammadiyah dalam politik Indonesia dibalik kekuatan besarnya menyambut modernisme Islam. Namun yang paling menarik perhatian, para pengkaji politik Indonesia mengetahui bagaimana cara pengelolaan Muhammadiyah untuk meraih tempat yang penting semacam itu. Dalam satu hal, tampaknya Muhammadiyah menampilkan suatu gejala yang unik dalam politik Indonesia; katakanlah walaupun dengan karakter non politiknya yang nyata sebagai gerakan sosio-relijius, Muhammadiyah tampaknya tidak mampu menghindar untuk terlibat dalam politik (hal. 4).

Secara historis, sejak gagasan “Politik Etis” diberlakukan Belanda terhadap Indonesia melalui tangan dingin Christiaan Snouck Hurgronje, umumnya kaum muslim secara sadar mulai terusik. Tidak heran jika sang arsitek Snouck Hurgronje, dengan kebijakan utamanya membentuk “modus vivendi” melemahkankan umat Islam dalam serpihan-serpihan kaca yang berserakan setelah jatuh dari atas meja kebijakan politik etis Belanda.

Arti penting dari kebijakan Islam yang telah digariskan oleh Snouck Hurgronje, tidak lain adalah terbatasnya pemahaman tentang Islam. Sehingga upaya menjinakkan umat Islam diperoleh dari kerisauannya atas semangat Pan-Islamisme yang masuk ke Indonesia. Melalui jalan itulah, Snouck Hurgronje bersekutu dengan Belanda seraya berharap dapat mempertahankan kekuasaannya di bumi Indonesia.

Kerisauannya tidak berhenti sampai di situ, keinginan kuatnya melenyapkan pengaruh Islam terhadap lembaga-lembaga sosial di bidang muamalah satu dari sekian agendanya melemahkan kegiatan politik rakyat. Tanpa ragu-ragu ia juga mengatakan bahwa khazanah pengetahuan Islam sama sekali tidak berguna. Oleh karena itu, pemberlakuan budaya Barat ke Indoensia (Westernisasi) adalah jalan alternatif mempersempit ruang gerak pengaruh umat muslim.

Meski kebijakan Belanda dan pemerintah sebagai “Babu” – dalam analogi Furnivall - berlangsung lama, dalam perjalanannya gagasan politik etis Belanda kian lama menunjukkan ironi yang mendalam dalam prakteknya. Salah satu faktornya adalah pengaruh informasi tentang perubahan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di negara-negara Asia lainnya. Di antaranya kemunculan Jepang dan Cina sebagai negara modern yang memberikan pengaruh cukup besar terutama pada bangsa Indonesia tentang panggilan nasionalisme.

Dalam perjalanannya, berangsur-angsur Islam dan nasionalisme Indonesia menjadi benih-benih untuk menyemaikan kedaran diri bahwa politik etis Belanda harus segera dilawan dengan semangat nasionalisme. Di samping itu, Islam memiliki dampak khususnya sendiri terhadap nasionalisme Indonesia sebagai penggerak nyata yang pertama dan sebagai bagian esensialnya yang abadi (hal. 42).

Akhirnya, dengan kesadaran diri yang kuat, rakyat Indonesia sadar dengan sungguh-sungguh bahwa untuk menciptakan nasionalisme Indonesia yang modern adalah dengan menyiapkan pendidikan bagi pemuda-pemuda Indonesia. Karenanya, jika pendidikan sudah diperoleh langkah strategis berikutnya yaitu menggalang kekuatan dengan mendirikan organisasi kepemudaan. Dari sanalah nantinya gagasan nasionalisme Indonesia dapat disebarkan.

Maka berdirilah Boedi Oetomo (1908), Sarikat Dagang Islam (1911) sebagai cikal bakal berdirinya organisasi pemuda yang disusul oleh organisasi-organisasi lainnya yang memiliki dinamika dan peran strategisnya masing-masing di saat itu. Menariknya lagi, diskursus nasionalisme yang digelorakan saling bersautan dengan semangat penyebaran gagasan modernisme Islam di tengah pengaruh paham komunis (marxisme) yang datang ke Indonesia.

Bagi komunitas muslim Indonesia, modernisme memiliki arti penting tersendiri yaitu untuk menjelaskan dan menegaskan Islam bahwa makna Islam tidak memiliki arti sempit sebagaimana yang pernah Snouck Hurgronje pahami. Lebih dari itu, modernisme Islam merupakan corong yang tepat membicarakan Islam dalam konteks yang lebih luas di samping persoalan ubudiyah dan muamalah. Itulah signifikansi modernisme Islam yang memancarkan sinarnya dari Mesir.

Atas dasar itulah, modernisme Islam dipahami dengan jeli dan cerdas oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan hingga akhirnya membentuk organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah. Sebagai tokoh pragmatis (man of action), Ahmad Dahlan tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan mengkontekstualisasikan modernisme Islam di Indonesia. Hasilnya, Muhammadiyah berdiri sebagai bukti dari aktualisasi teologi Al-maun yang tersebar ke penjuru Indonesia.

Sejak berdirinya pada 18 November 1912, di Yogyakarta, Muhammadiyah menjadi salah satu unsur penting juga dalam mempengaruhi kolonialisme Belanda. Wajar jika pada masa-masa formatif ini, pertumbuhan Muhammadiyah di Jawa mendapat tantangan yang berat terutama dari Belanda, secara tidak langsung menunjukkan sikapnya yang penuh kedamaian dan toleransinya yang jujur terhadap umat Kristen.

Bahkan kritik, tuduhan dan fitnah yang dilancarkan kepada Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dari lawan-lawannya merupakan konsekuensi logis dalam memperkenalkan kepada calon anggota-anggotanya di masa awal. Dari sinilah justeru kegiatan-kegiatan dakwah (tabglih) menjadi sangat penting dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan dan tujuan Muhammadiyah.

Sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan, Muhammadiyah semakin mendapat cobaan dalam melakukan percobaan gagasan dan gerakannya. Apalagi di Jawa, ada organisasi Islam lain yang juga sedang berkembang yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Ditambah lagi dengan kebijakan baru politik Belanda yang memberlakukan desentralisasi kekuasaan di wilayah koloninya.

Tentu saja ini merupakan tantangan yang berat. Maka perlu ada perubahan sikap dalam gerakan dakwah Muhammadiyah setelah wafatnya KH. Ahmad Dahlan. Melalui Haji Fachruddin, dalam perkembangannya Muhammadiyah berhasil melewati kendala-kendala utama. Tanpa meninggalkan corak nasionalismenya Muhammadiyah terus menghadapi berbagai tantangan dan konfrontasi yang serius dengan berbagai organisasi lintas ideologi. Walaupun pada akhirnya, perkembangan Muhammadiyah di Minangkabau mampu menerobos masuk ke dalam kolonialisme Belanda. Sedikit banyaknya ikut memberikan angin segar jika Muhammadiyah di kawasan Sumatera dan sekitarnya berkembang dengan cepat.

Sampai pada akhirnya, masa-masa kejayaan Muhammadiyah, di mana Alfian mencatat dalam studinya ini, bahwa pada 1934-1942, tidak lain merupakan masa yang paling dinamis bagi Muhammaiyah. Selain karena tantangan dan hambatan yang dihadapi kian beragam dan kompleks. Muhammadiyah juga memainkan peran politiknya meski secara tidak signifikan di masa pergerakan itu. Sebab organisasi Islam dan non Islam tumbuh subur sehingga makin menambah kepercayaan diri Muhammadiyah bergaul dan berhadapan langsung dengan organisasi lain.

Selanjutnya, di bawah kendali Kiyai Mansur ketegangan semakin timbul saat pandangan-pandangan berlawanan dalam gerakan itu terus mengemuka. Terutama dengan aroma politik yang kian tercium. Hingga akhirnya pada 7 – 9 April 1939 di Kudus dalam konperensi diputuskan bahwa setiap Pimpinan Muhammadiyah dapat ikut serta secara aktif sebagai pimpinan partai politik atau organisasi lain selama ia tidak melemahkan kerja dan tugasnya dalam Muhammadiyah.

------------------------------------------------------------------------
….saya percaya bahwa karya ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana organisasi muslim terbesar di Indonesia ini menyumbangkan pemikiran dan gerakan dalam konteks politik keindonesiaan; bagaimana organisasi muslim modernis ini bergulat dalam wacana Islam dan demokrasi; serta bagaimana organisasi kaum muslim perkotaan ini berjibaku menyusun strategi politik yang kontekstual untuk setiap jamannya” Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, MA

Jika sebelumnya, Snouck Hurgronje mendiagnosa bahwa Islam sama sekali tidak punya harapan untuk menjadi landasan yang kokoh bagi masyarakat modern, Dr. Alfian termasuk yang optimis bahwa Islam dapat melaksanakan perubahan dan modernisasi. Hal ini terbukti dari hasil kajiannya tentang Muhammadiyah yang menggagas modernisme Islam serta mengukuhkan gagasan tersebut dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Buku ini, memberi kesaksian lain tentang sejarah perlawanan gerakan Muhammadiyah di era kolonialisme. Upaya pencarian penulis dalam menguak sumber-sumber penting proses perubahan sosio-politik di Indonesia sampai ke Belanda, merupakan salah satu kontribusi penting untuk melihat gerakan Muhammadiyah sejak kelahirannya pada 1912 hingga berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda pada 1942.

Hal ini sebagai bukti sejarah atas aktualisasi peranan Muhammadiyah dalam memperjuangkan modernisme Islam di Indonesia. Dan melalui tindakkan itulah kita dapat menggambarkan arti penting dan strategisnya gerakan perjuangan Muhammadiyah dalam era kolonialisme.

Demikian arti penting Muhammadiyah dalam politik dan gerakan modernisme Islam di Indonesia. Keduanya, menjelaskan kepada kita bagaimana Muhammadiyah berkiprah hingga masa-masa kejayaannya sebagai salah satu kekuatan politik sangat penting di dalam negeri selama beberapa tahun terakhir kolonialisme Belanda. Semoga, di usianya yang genap satu abad ini Muhammadiyah dapat bercermin diri untuk melakukan otokritik sehingga ruh dan semangat pembaruannya (tajdid) tidak berhenti pada amal usaha melainkan pada persoalan-persoalan bangsa yang lebih konkret.

3 comments:

  1. Asslmkm...dimana bisa mesan bukunya? Soalnya sy dah nanya di toserba mandiri ternyata lagi kosong stoknya....

    ReplyDelete
  2. Asslmkm...dimana bisa mesan bukunya? Soalnya sy dah nanya di toserba mandiri ternyata lagi kosong stoknya....

    ReplyDelete