Republika, 15/04/2010
Oleh Muhammad Sayuti
Tanggal 8 Dzulhijah tahun 1430 H yang baru lalu, menjadi penanda bahwa menurut kalender Hijriyah, usia Persyarikatan Muhammadiyah telah genap satu abad. Banyak pihak memberikan apresiasi positif atas pencapaian ini, terutama ketika dibandingkan dengan pergerakan Islam di belahan bumi yang lain yang tidak pernah eksis dalam durasi yang setara. Banyak aspek yang menjadi penentu prestasi ini. Buya Syafii suatu ketika pernah menyebut “tampaknya Allah masih berpihak pada kerja Muhammadiyah untuk umat”. Namun, kita tidak pernah tahu masih akan berapa lama lagi keperpihakan itu akan dianugerahkan pada Muhammadiyah. Di luar wilayah ketidaktahuan tersebut, tulisan ini ingin menjadi ikhtiar untuk secara organisatoris menelaah efektifitas kerja Muhammadiyah diantara masalah-masalah internal dan eksternal yang semakin rumit di masa kini dan di masa depan. Tulisan ini didasari oleh asumsi bahwa Muhammadiyah akan tetap lestari apabila dia mampu mengelola ide-ide besar yang dimiliki menjadi amal nyata bagi umat.
Organisasi Muhammadiyah dari tingkat Ranting (setara Kelurahan/Desa) sampai dengan Pusat terbagi dalam dua level, tataran pertama adalah Pimpinan Harian Muhammadiyah (biasanya terdiri atas tiga belas orang) dipilih oleh Musyawarah Ranting sampai Muktamar untuk tingkat Pusat. Tataran ke dua adalah Pimpinan Majelis dan Lembaga. Masing-masing istilah mewakili kewenangan yang berbeda antara kategori amal usaha utama dan amal usaha pendukung. Yang penting untuk diketahui adalah ke dua level pimpinan tersebut bekerja secara sukarela tanpa gaji dan sambilan. Banyak pihak yang tidak percaya bahwa Muhammadiyah yang sebesar ini tidak menggaji pimpinannya. Profesional, sebagai lawan dari kesukarelaan dan sifat penuh waktu, hanya berlaku di amal usaha seperti rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, penerbitan, percetakan serta amal usaha lainnya. Hanya satu amal usaha pokok yang tidak memiliki pekerja profesional, yaitu Majelis Tabligh. Tidak tahu kenapa muballigh juga harus berstatus sambilan sementara kebathilan di luar sana dikerjakan para profesional dengan dukungan dana yang hampir tanpa batas. Sementara itu, guru, dosen, dokter, jurnalis, perawat yang bekerja di amal usaha Muhammadiyah berstatus profesional meski dengan variasi di sana-sini.
Tulisan ini ingin meyakinkan bahwa para profesional sudah sangat mendesak untuk bekerja mendukung pengambilan keputusan serta untuk implementasi kebijakan Muhammadiyah. Istilah yang enak didengar adalah menciptakan dua kamar Pimpinan Muhammadiyah. Kamar pertama adalah kamar para Pimpinan yang dipilih oleh permusyawaratan serta Pimpinan yang ditunjuk untuk memimpin Majelis/Lembaga. Sementara kamar ke dua adalah kamar para profesional yang mendukung perencanaan dan implementasi program. Istilah Direktorat mungkin cocok untuk nama kamar ke dua ini, yang dipimpin oleh Direktur beserta para profesional di dalamnya. Sebagai contoh Majelis Pendidikan Kader akan didampingi Direktorat Pendidikan Kader yang dipimpin oleh Direktur dengan sejumlah trainer profesional yang bekerja penuh waktu untuk merancang dan melakukan perkaderan di seluruh Indonesia. Saat ini, yang ada di Muhammadiyah barulah karyawan. Fungsi karyawan pada Majelis/Lembaga di Muhammadiyah masih bersifat teknis bukan para profesional yang memiliki kompetensi tinggi, bekerja penuh waktu serta digaji setara dengan profesionalitasnya.
Ilustrasi berikut dimaksudkan untuk mendukung gagasan kenapa dua kamar Pimpinan di Muhammadiyah sudah waktunya untuk diciptakan. Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah dan ratusan perguruan tinggi. Telah menjadi kesimpulan empiris bahwa kualitas lembaga pendidikan ditentukan oleh mutu kepala sekolah, rektor, ketua dan direktur nya. Pertanyaannya, mungkinkah melakukan pembibitan, pelatihan, pendidikan dan seleksi untuk ribuan profesional di lingkungan lembaga pendidikan, sementara organisasinya sendiri masih diurus secara sambilan? Mungkin Buya Syafii benar adanya, bahwa “tangan Allah” ikut bekerja di Muhammadiyah. Namun telah dipahami pula bahwa perubahan itu harus mulai dilakukan agar secara terukur usaha-usaha yang diikhtiarkan dapat sesuai dengan Kuasa Allah. Contoh terkait dengan pimpinan lembaga pendidikan di atas barulah satu aspek. Bagaimana dengan aspek manajerial, bagaimana dengan masalah keuangan, bagaimana dengan kurikulum, bagaimana dengan pengembangan SDM guru, dosen, perawat, dokter, penjaga rumah yatim dan jutaan orang yang menjadi pendukung kerja Muhammadiyah? Akankah semua elemen itu juga diurus secara sambilan?
Gagasan profesionalisasi Persyarikatan Muhammadiyah sesungguhnya bukanlah hal baru. Lukman Harun (alm) adalah salah satu diantara pencetusnya. Namun gagasan yang dilontarkan pada tahun 1980an tersebut selalu mentah karena ada ketakutan bahwa profesionalitas adalah lawan yang tiada pernah bertemu dengan keikhlasan. Padahal seharusnya ikhlas dan profesionalitas adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keikhlasan adalah urusan pribadi para Pimpinan, sementara umat menuntut untuk dilayani secara profesional dan agenda besar Muhammadiyah menuntut untuk dikerjakan oleh Pimpinan yang ahli dan kompeten, bekerja penuh waktu serta mendapatkan penghasilan yang baik. Sebagai contoh, bagaimana mungkin kemungkaran yang diorganisir secara sangat profesional akan dihadapi oleh Pergerakan Islam yang diurus secara sambilan?
Perubahan organisatoris di Muhammadiyah memang memerlukan jalan yang panjang. Dimulai dari pemahaman dan kesepakatan Pimpinan Pusat untuk membawa keprihatinan ini ke dalam rapat harian, rapat pleno, Sidang Tanwir, kemudian memasukkan ke dalam materi Muktamar sampai menjadi perubahan anggaran dasar dan rumah tangga. Namun, ide besar Muhammadiyah untuk mewujudkan “Islam yang berkemajuan” hanya dapat terwujud jika pergerakan ini diurus oleh gabungan antara pimpinan yang alim dan saleh serta para profesional yang bekerja penuh waktu. Gabungan ini diharapkan akan memperpanjang dukungan Allah bagi perjuangan Muhammadiyah.
No comments:
Post a Comment