Kedaulatan Rakyat, 16 Mei 2005
Oleh Andar Nubowo
TULISAN Harwanto Dahlan berjudul Muhammadiyah Menolak Politisi? (KR, 6/05/05) menarik untuk dikritisi. Ia mempertanyakan penolakan sejumlah fungsionaris pimpinan pusat Muhammadiyah terhadap politisi di Muhammadiyah; apakah politisi secara umum, atau hanya Amien Rais. Ia yakin bahwa penolakan tersebut sejatinya ditujukan hanya kepada Amien Rais en soi. Hal ini, baginya, tidak adil, tidak fair, dan tidak pada tempatnya, sebab ada indikasi politis dibalik penolakan keras terhadap Amien Rais. Yakni, kepentingan segelintir elite Muhammadiyah yang terserang Amienophobia dan kasus Bank Persyarikatan Muhammadiyah (BPI).
Tragisnya, dengan bahasa sarkastis, Harwanto menuduh pihak-pihak yang menolak Amien Rais adalah mereka yang selama ini menikmati “kue” BPI untuk dirinya sendiri. Artinya, jika nanti Amien Rais terpilih kembali menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, mereka yang terseret kasus BPI akan sulit tidur. Dari sini, analisis Harwanto justru terkesan sangat politis, bias adan tendensius. Atas dasar apa ia berpendapat demikian? Lalu, kenapa Haedar Nashir dan IMM Yang sama sekali tidak terlibat BPI dianggap takut Amien Rais? Inilah sesat pikir dalam tulisan Harwanto.
***
Melalui rekomendasi Tanwir Muhammadiyah di Semarang 1998, Muhammad Amien Rais akhirnya berhasil mendirikan dan memimpin Partai Amanat Nasional (PAN). Berdirinya PAN ini menandai babak baru hubungan Muhammadiyah dengan politik praktis.
Meskipun, Muhammadiyah berkelit bahwa tidak ada hubungan struktural dengan PAN, tetapi secara emosional kultural publik mengetahui bahwa PAN adalah Partainya Muhammadiyah. Hal ini disebabkan, adanya pencitraan (imagology) yang berkembang di benak publik bahwa PAN adalah Amien Rais, Amien Rais adalah Muhammadiyah.
Bagi warga Muhammadiyah, dari tingkat ranting hingga pusat, fakta politik ini membangkitkan kembali hasrat politik warga Muhammadiyah yang semenjak Muktamar 1971 di Makassar tenggelam dalam ekstase aktivitas organisasi non politik dan non partisan. Keputusan Muktamar 1971 bahwa “Muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan kekuatan politik praktis” memberi ruang luas bagi Muhammadiyah dan warganya untuk berpolitik secara adiluhung (high politics), dan memungkinkan warga Muhammadiyah untuk berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan kekuatan politik yang ada.
Kini, paralelisme diakronis sejarah Muhammadiyah seakan terulang kembali, meski secara samar dan malu-malu. Aktivis Muhammadiyah banyak yang kemudian terjun ke PAN, menjadi politisi. Banyak kiai dan tokoh Muhammadiyah di daerah-daerah yang kemudian telah asyik di PAN daripada mengurus Muhammadiyah. Tragisnya, kader Muhammadiyah yang kebetulan, tidak simpatik terhadap PAN dan lebih memilih aktif di partai lain dianggap bukan kader Muhammadiyah. Hal ini memunculkan oposisi biner Muhammadiyah asli non asli. Yang asli adalah yang aktif dan mendukung Partai Amanat Nasional!
Imbas dari gegap gempita dan gagap politik warga Muhammadiyah adalah semakin terbengkelainya aktivis sosial keagamaan Muhammadiyah. Kaderisasi tidak jalan, ranting-ranting banyak yang sekadar papan nama. Bahkan, menurut penelitian Pusat Studi Muhammadiyah (2004), 40 persen ranting Muhammadiyah di Kota Yogyakarta, sebagai tempat lahirnya Muhammadiyah mengalami mati suri, ada pengurus, tapi kosong aktivitas. Dimensi spiritualitas warga Muhammadiyah yang seharusnya dipupuk terus, kini tergantikan spiritualitas tentatif tentang politik, konflik politik dan strategi penguasaan gelanggang politik.
***
Bagi Persyarikatan Muhammadiyah, Amien Rais memang telah berjasa besar. Dialah yang berani membawa Muhammadiyah ke arus pusaran gelanggang nasional dan internasional. Pada Tanwir Muhammadiyah 1993 di Surabaya, Amien Rais dengan berani menyuarakan isu suksesi kepemimpinan nasional, satu diskursus yang tabu pada masa Orde Baru. Kritikannya terhadap bentuk penyimpangan di negeri nii kerap ia suarakan. Puncaknya, Amien Rais memelopori gerakan reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Sebuah prestasi yang turut mengharumkan nama Muhammadiyah di kancah nasional dan internasional.
Pun demikian, yang patut direnungkan kembali adalah apakah sosok Amein Rais yang ikhlas, tanpa pamrih, tawadhu’ dan berpikir maju saat memimpin Muhammadiyah masih menjadi karakter kuat hingga kini? Lebih tegasnya, harus ada distingsi yang sangat tajam antara Amien pra politik, Amien pasca politik. Amien pra politik adalah sosok intelektual yang maju, terbuka, cerdas, visioner dan — meminjam bahasa Kuntowijoyo — mengabdikan dirinya untuk memikirkan masa depan bangsa. Karakter kuat inilah yang mengantarkannya sukses memimpin Muhammadiyah. Sedangkan, Amien pasca politik adalah sosok Amein yang berubah menjadi pemimpin kharismatik. Kasus dependensi caleg-caleg PAN pada sosok dan figur Amien Rais pada Pemilu 2004 adalah contoh yang tepat. Mereka tanpa bekerja keras, dapat meraup suara hanya dengan mengandalkan — untuk tidak mengatakan menjual, nama besar dan kharisma Amien Rais.
Oleh karena itu, sosok Amien Rais yang kharismatik sekarang ini di Muhammadiyah tidak cocok. Sebab, kepemimpinan Muhammadiyah adalah moda kepemimpinan kolektif-kolegial, bukan kharisma. Jika Amien, seandainya, terpilih lagi, masih menerapkan kepemimpinan kharismatik, maka bangunan tradisi kepemimpinan kolektif-kolegial yang telah dipancangkan semenjak masa KH Ahmad Dahlan akan hancur berantakan.
Selain itu, dikhawatirkan Amien Rais akan memanfaatkan kharismanya untuk menggiring Muhammadiyah dan jutaan warganya ke lembah politik, satu teritori yang haram bagi Muhammadiyah. Hal ini beralasan, mengingat eksperiensi politik Amien Rais di pentas politik nasional selama kurang lebih 5 tahun turut mempengaruhi karakter, gaya, dan orientasi politiknya. Sebab, kultur, perilaku seseorang itu ditentukan oleh di mana dia bergaul dan berada. Jika hal itu terjadi, masa depan Muhammadiyah akan terancam. Maka, kekhawatiran pimpinan Muhammadiyah seperti Haedar Nashir dan IMM, yang sama sekali tidak terlibat dalam kasus BPI, patut direnungkan.
No comments:
Post a Comment