Dilema Politik Muhammadiyah-NU
Dimuat di Suara Merdeka, 16 April 2001
Beberapa waktu lalu, Abdul Mukti menulis artikel berjudul “Transformasi Muhammadiyah-NU” (SM 12/2). Siapapun tidak akan menyangkal bahwa dalam rentang satu dasawarsa terakhir ini, ada semacam akulturasi antara Muhammadiyah dan NU. Boleh dikata secara kultural tidak ada lagi sekat antara Muhammadiyah dan NU. Transformasi NU-Muhammadiyah terjadi nyaris di semua lini kehidupan sosial. NU merambah hingga ke segmen-segmen masyarakat di perkotaan, sama seperti Muhammadiyah memasuki ranah-ranah di pedesaan.
Sementara itu, Abdul Mukti menceritakan, banyak anak NU belajar di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, seperti halnya tidak sedikit generasi Muhammadiyah yang nyantri di pesantren-pesantren NU. Disparitas praktek ritual keagamaan yang selama ini menjadi ciri pembeda antara keduanya pun mulai luntur. Hal ini tampak pada fenomena tahlilan, tarawih, shalat Ied, dan sejenisnya. Walhasil, “agama NU” dan “agama Muhammadiyah” yang dulu pernah menjadi ironi dan menghantui ukhuwah islamiyah sedikit demi sedikit mulai beranjak dari balada Islam Indonesia.
Namun aura reformasi mulai membalik keharmonisan kultural ini. Konflik politik antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais disadari atau tidak mengancam keharmonisan hubungan NU-Muhammadiyah. Siapapun boleh mengatakan bahwa aktivitas politik kedua tokoh ini tidak ada kaitannya dengan NU dan Muhammadiyah. Sehingga pertentangan antara Gus Dur dan Amien Rais tidak berarti pertentangan antara NU dan Muhammadiyah.
Hanya saja kita harus melihat bahwa paternalisme masyarakat Indonesia masih sangat kuat. Masyarakat kita masih sangat “tergantung” kepada pimpinannya. Secara psikologis umat tidak akan dapat begitu saja mengabaikan keduanya sebagai mantan pucuk pimpinan NU dan Muhammadiyah. Kharisma keduanya di mata pengikutnya menyebabkan keduanya massih dianggap sebagai pemimpin informal bagi kelompoknya.
Terjadilah kemudian tragedi-tragedi semisal penyilangan rumah-rumah warga Muhammadiyah di Banyuwangi dan beberapa tempat di Jawa Timur, perusakan fasilitas dan amal usaha Muhammadiyah, dan tindakan-tindakan destruktif lain yang mengancam hubungan dua ormas bersaudara ini. Penyebabnya jelas, lantaran massa grass root menurunkan konflik elit ke dataran yang massif yang lebih rendah. Secara psikologis, konflik politik antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais dianggap sebagai konflik antara NU dan Muhammadiyah. Kedua orang ini masih dianggap sebagai pemimpin informal yang mewakili kepentingan mereka.
Jika aksi-aksi beberapa warga NU di Jawa Timur tersebut dibiarkan, dan memancing reaksi warga Muammadiyah untuk berbuat serupa, maka konflik fisik horisontal pun akan menjadi kenyataan. NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Meskipun masih banyak ormas-ormas lain di luar keduanya, tak akan ada yang menyangsikan bahwa konflik horisontal antara dua massa besar ini akan sangat berpengaruh bagi stabilitas nasional.
Peran Pemimpin
Di sinilah integritas pemimpin kedua massa dipertaruhkan. Dalam kondisi di mana masyarakat masih sangat paternalistik, peran pemimpin informal sangat signifikan. Pemimpin memiliki kharisma yang membuatnya akan sangat ditaati pengikutnya. Peristiwa-peristiwa destruktif di Jawa Timur seharusnya tidak terjadi manakala para pemimpinnya mampu mencegah massa bertindak emosional. Yang terjadi di Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah justeru sebaliknya, para pimpinan lokal ikut-ikutan marah melihat “kelakuan” para elie poitik yang bertengkar sendiri. Kedatangan Presiden Abdurahman Wahid ke Pasuruan yang mampu meredam amarah massa menunjukkan betapa masyarakat kita sangat menaati pemimpinnya.
Hal serupa harus pula dilakukan oleh pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal. Tokoh-tokoh Muhammadiyah harus mampu mengendalikan massanya untuk tidak turut bertindak destruktif. Gelagat pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur yang mengisyaratkan “kesabaran ada batasnya” merupakan pertanda buruk bagi nasib hubungan NU-Muhammadiyah. Artinya, bila para pemimpin Muhammadiyah ikut-ikutan marah dan tak mampu menahan massanya bertindak serupa, bisa ditebak prahara yang bakal terjadi di bumi pertiwi.
Posisi NU dan Muhammadiyah memang sangat dilematis. Di mata warga Nahdliyyin, Gus Dur lebih dari sekedar presiden Republik Indonesia. Ia adalah cucu dari pendiri NU dan sekaligus anak dari pendiri republik. Darah biru yang dimilikinya, kemampuan intelektualnya yang tinggi, serta posisi spiritual dalam komunitasnya membuat para pengikutnya tidak bisa menerima junjungannya ini di-obok-obok. Bagaimana mungkin Gus Dur yang di mata pengikutnya adalah nyaris seperti wali bisa dituduh terlibat dalam skandal Buloggate dan Bruneigate. Tidak masuk akal bagi para pengikutnya Gus Dur melakukan kesalahan seperti yang dituduh-tuduhkan kepadanya.
Kemarahan sebagian warga NU secara irrasional dilampiaskan kepada warga Muhammadiyah. Setidaknya penyebabnya ada dua. Pertama, salah satu pengkritik keras pemerintahan Wahid adalah Amien Rais yang nota bene mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Amien Rais di mata Nahdliyyin menjadi simbol Muhammadiyah. Massa dengan karakter paternalistiknya yang kental menurunkan konflik di tingkat elit politik itu ke tingkat yang lebih kultural.
Kedua, refleks pelampiasan kepada warga Muhammadiyah tersebut merupakan kelanjutan dari konflik fiqhiyyah yang dulu pernah ada. Artinya, disparitas yang mulai menipis di masa Orde Baru antara warga dua ormas ini sebenarnya belum sampai ke akarnya. Sehingga sedikit saja hubungan antara keduanya terkontaminasi oleh hawa politik, potensi konflik pun kembali mencuat ke permukaan.
Sementara itu tentu saja warga Muhammadiyah tidak akan tinggal diam eksistensi dirinya terus menerus diintimidasi. Semangat untuk survive sebagai “makhluk hidup” muncul dengan sendirinya. Semangat survive ini berhadapan dengan emosi warga NU di tingkat grass root yang aspirasinya tersumbat di bangku parlemen. Terjadilah bom waktu yang siap meledak atau siap diledakkan manakala pemimpin kedua pihak tidak memiliki kedewasaan berpolitik.
Sindrom HAM
Sementara pemimpin kedua ormas berusaha menenangkan massanya untuk mencegah konflik horisontal, pemerintah pun harus bersikap tegas. Ketegasan ini penting untuk menegakkan wibawa pemerintahan Gus Dur, sekaligus untuk menampik anggapan Amerika Serikat yang mengatakan situasi di Indonesia lebih mirip “negara tanpa pemerintahan” daripada “adanya pemerintahan yang lemah”.
Diakui atau tidak, tuduhan Amerika tersebut agaknya beralasan. Apa yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Jawa Timur menunjukkan inferioritas aparat kemanan di hadapan massa yang tengah mengamuk. Nyaris tidak ada jaminan keamanan dan ketenteraman bagi segmen warga minoritas dalam komunitas mayoritas di suatu daerah. Tampaknya aparat keamanan sedang mengalami sindrom HAM. Kelihatan sekali aparat takut bertindak tegas karena khawatir dituduh melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga tindakan massa tertentu, yang efeknya justeru pelanggaran terhadap HAM, dibiarkan oleh aparat hanya karena takut “dianggap” melanggar HAM. Akibatnya, seperti yang kita lihat saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin memudar.
Kita tentu tidak menginginkan generasi setelah kita mengenal Indonesia hanya tinggal nama. Apa yang terjadi di tanah air merupakan ancaman serius bagi integrasi bangsa. Barangkali kita tidak perlu memaksakan persatuan dan kesatuan di tengah keragaman yang kita miliki. Yang kita perlukan adalah bagaimana mengajari masyarakat untuk hidup bersama dalam perbedaan. Terserah bagaimana kita melakukannya!
No comments:
Post a Comment