Judul: Muhammadiyah Gerakan Pembaruan
Penulis: Haedar Nashir
Cetakan: I, 2010
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Tebal: xii + 471
ISBN: 978-979-3708-76-8
Sebagai organisasi Islam tertua di negeri ini, Muhammadiyah segera memasuki usia satu abad pada 18 November 2012. Sungguh perjalanan waktu yang tak pendek bagi organisasi kelahiran Yogyakarta itu dalam mengarungi perjalanan bangsa yang dinamis.
Maka tepatlah kiranya ketika salah satu tokoh Muhammadiyah, Dr Haedar Nashir, memutuskan menulis buku menjelang hari besar itu dengan judul Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Apalagi 60 hari mendatang akan digelar gawean besar muktamar ke-46 menjelang satu abad organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut.
Tak kurang sudah banyak buku yang mengupas Muhammadiyah dari berbagai aspek, mulai dari segi historis, kiprah, tokoh, pemikiran, hingga kritik, dan kontroversinya. Namun, setidaknya terdapat dua hal yang menjadikan buku setebal 471 halaman ini menarik.
Pertama, pengarangnya yang bukan orang "jauh". Doktor sosiologi Universitas Gadjah Mada itu sejak 2005 menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menarik melihat bagaimana sang ketua memandang ke dalam organisasinya sendiri.
Kedua, fokus seputar pembaruan. Di tengah tantangan memasuki abad baru, rasanya tepat jika Haedar mengangkat kembali kata yang akhir-akhir ini dikritik memudar, tetapi sesungguhnya menjadi "ruh" sejati Muhammadiyah.
Haedar memaparkan rinci 16 bab buku yang berisi berbagai aspek Muhammadiyah, seperti proses awal kelahiran, sosok KH Ahmad Dahlan, ideologi, khitah perjuangan, organisasi dan amal usaha, hingga gerakan Aisyiyah dan masyarakat Islam secara umum.
Namun, yang menonjol disimak tentunya penjabaran Haedar seputar karakter Muhammadiyah, pemikiran tajdid, dan bagaimana Muhammadiyah menatap masa depan. Haedar memaparkan poin-poin tersebut dengan sangat lugas disertai akar pemikiran dan argumentasinya. Bukan berarti bagian lain tak menarik, melainkan memang ketiga hal itulah yang kiranya dijanjikan Haedar dari judul bukunya.
Dari bab-bab tersebut, Haedar menegaskan kembali posisi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam "tengahan" yang mengusung sikap reformis-moderat. Hal itu membedakannya dari pandangan kaum fundamentalis-integralis di satu ujung spektrum dan sekuler-liberal di ujung lainnya.
Di satu sisi Muhammadiyah mengambil sikap tegas sebagai pemurni (purifikasi) agama yang mengembalikan umat kepada ajaran Quran dan Sunnah. Namun, di sisi lain membuka lebar-lebar pembaruan (tajdid) terhadap pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama sesuai konteks perubahan zaman.
Oleh karena itu, pembangunan masyarakat Islami melalui gerakan amaliah menjadi pilihan jalan satu-satunya bagi Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga sekarang, ketimbang terjebak dalam arus politik praktis. Apalagi sampai mencita-citakan pembentukan negara Islam.
Hal itulah yang dinilai menjadi alasan Muhammadiyah bisa bertahan selama hampir seabad lamanya dan menjadi kunci Muhammadiyah menghadapi tantangan 100 tahun ke depan dan seterusnya. Persis seperti ditulis Haedar sendiri dalam buku itu:
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan memasuki masa depan yang penuh tantangan memerlukan basis pemikiran yang kaya dan berorientasi pada kemajuan. Bagaimana Muhammadiyah menampilkan Islam sebagai agama berkemajuan, yang mampu memberikan jawaban atas persoalan-persoalan krusial kekinian sekaligus menawarkan perspektif baru.... Gerakan pembaruan Islam tidak mungkin lahir dan tampil tanpa pembaruan pemikiran.
Meskipun demikian, Haedar belum mengurai secara rinci langkah konkret untuk mengatasi kecenderungan kekakuan pembaruan pemikiran yang saat ini dituding tengah melanda Muhammadiyah.
Beberapa pemaparan ide nan filosofis dalam buku ini juga kurang dilengkapi dengan contoh-contoh yang membumi sehingga relatif membuat kening berkerut membacanya. Terdapat pula beberapa pembahasan yang diulang-ulang meski dengan redaksional berbeda. (MOHAMAD FINAL DAENG)
No comments:
Post a Comment