Monday, May 17, 2010

Muhammadiyah dalam Gejolak Politik


Kompas, Selasa, 18 Mei 2010 | 02:13 WIB
istimewa

Judul : Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006
Penulis : Syarifuddin Jurdi
Pengantar : Prof. Ahmad Syafi’I Ma’arif
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Cetakan : I, April 2010
Tebal : 520 halaman

Peresensi : Amin Musthofa*

Muhammadiyah akan menggelar Muktamar yang ke-42 pada Juli 2010 nanti. Hiruk-pikuk ihwal persyarikatan sudah mulai menyuruak sejak sekarang. Termasuk ihwal relasi Muhammadiyah dengan dinamika politik kebangsaan. Sebagaimana dialami Nahdlatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah juga kerap terjebak dalam kalkulasi politik yang tidak sehat, sehingga persyarikatan terjebak dalam untung-rugi kekuasaan, bukan pada persoalan keummatan. Tarikan politik kekuasaan memang tidak mudah dilalui, karena syahwat politik bukan sekedar melekat dalam diri persyarikatan sendiri, tetapi juga dalam diri para fungsionaris Muhammadiyah.

Dalam konteks dinamika politik inilah, Syarifuddin Jurdi menyuguhkan buku bertajuk “Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006”. Penulis menyuguhkan analisis ihwal dinamika politik Muhammadiyah yang berkembang sejak lahirnya Orde Baru dan orde reformasi. Tatkala Orde Baru lahir, Muhammadiyah ikut serta dalam jebakan politik, karena sebelumnya, yakni setelah kemerdekaan sampai runtuhnya orde lama, Muhammadiyah terlibat aktif dalam gerakan politik yang dijalankan Partai Masyumi. Beberapa kali kader Muhammadiyah menduduki jabatan penting dalam organisasi Masyumi.

Ketika orde baru lahir, lewat Masyumi lah Muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya. Kader-kader Muhammadiyah banyak terlibat dalam lembaga legislative dan lembaga eksekutif. Banyaknya kader Muhammadiyah yang terlibat aktif ini justru menjadikan energi persyarikatan banyak terkuras dengan berbagai lobi politik dan kekuasaan. Karena itu, I’tikad menjalankan roga organsiasi pengelami pergeseran. Cita-cita pendiri Muhammadiyah untuk terus melakukan amar ma’ruf nahi munkar banyak tertelantarkan.

Karena itulah, pada Muktamar di Makassar tahun 1971, Muhammadiyah memutuskan untuk kembali ke khittah 1912. Kembali kepada jati diri yang dicetuskan para pendiri inilah yang menjadi momentum strategis Muhammadiyah untuk menjaga netralitas politiknya. Sayang, netralitas ini agak terganggu tatkala elite Muhammadiyah yang diprakarsai Prof Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, pada era reformasi (tahun 1998) mendirikan partai politik yang bernama Partai Amanat Nasional (PAN). Walaupun PAN tak ada kaitan organisasional dengan Muhammadiyah, tetapi fakta politik tak disanggah bahwa PAN lahir dari rahim Muhammadiyah.

Karena tarikan politik era reformasi itulah, Muhammadiyah kembali banyak terjebak dengan agenda politik. Tetapi tidak lama itu berlangsung, karena Muhammadiyah terus meningkatkan perjuangan kulturalnya seraya menjauh dari hiruk-pikuk politik kekuasaan. Buya Syafi’I Ma’arif memelopori gerakan cultural Muhammadiyah disertai dengan pengembangan kekuatan intelektual.

Syafi’I Ma’arif selalu menegaskan sikap netral politik dengan tidak mengaitkan diri dengan partai politik tertentu, sehingga seratus tahun umurnya kini, Muhammadiyah merupakan salah satu gerakan Islam yang tidak pernah menjadi partai politik. Pengalaman politik dengan Masyumi yang tidak mulus dan berbagai situasi yang menyebabkan partai politik menjadi tidak berdaya, inilah yang memberi bobot Muhammadiyah. Oleh sebab itu Muhammadiyah yang telah menyatu dengan denyut nadi bangsa ini dengan filsafat sosialnya yang telah teruji tidak akan pernah putus asa dan patah harapan. Bangsa ini adalah milik kita semua. Kita tidak akan lari meninggalkan bangsa yang sedang dililit banyak masalah ini.

Netralitas inilah, bagi penulis buku ini, yang harus kembali ditegaskan Muhammadiyah dalam Muktamarnya pada Juli 2010 nanti. Tugas besar menjadi tulang punggung bangsa masih menghadang, makanya Muhammadiyah jangan terpelesat dalam kubangan politik yang menjatuhkan diri Muhammadiyah di masa depan.

*Peneliti The Independent Institute Semarang

No comments:

Post a Comment