Tempo, 22 Desember 1990
STADION Mandala Krida di Yogyakarta tampak semarak dan sekaligus sesak Sabtu siang pekan lalu. Umbul-umbul dan bendera Muhammadiyah yang berwarna hijau itu bertebaran di dalam dan di luar stadion. Panas yang menyengat tak mengurangi puluhan ribu orang berbondong-bondong memadati bangku-bangku di dalam stadion. Sedangkan puluhan ribu lainnya, yang tak memiliki tanda masuk, hanya bisa menyemut di sekeliling stadion. Puluhan ribu orang itu datang untuk satu tujuan: menyemarakkan pembukaan Muktamar Muhammadiyah yang ke-42. Pada mereka yang beruntung bisa masuk dalam stadion, disuguhkan sebuah pesta budaya. Ada pencak silat masal yang dilakukan 4.000 pesilat dari perguruan Tapak Suci. Ada senam masal seribu murid SD. Juga drumband.
Adalah Presiden Soeharto yang membuka secara resmi muktamar Muhammadiyah ini. Ikut hadir tujuh menteri -- seperti Menteri Agama Munawir Sjadzali, Menteri Dalam Negeri Rudini, dan Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara -- ikut memberikan sambutan dalam berbagai acara muktamar, yang berakhir Rabu pekan ini (19 Desember 1990).
Boleh jadi, ini muktamar yang paling akbar sepanjang sejarah Muhammadiyah, yang berdiri pada 1912. Sekitar 3.000 orang hadir sebagai peserta -- termasuk musyawarah nasional organisasi wanita Muhammadiyah Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, yang penyelenggaraannya dibarengkan. Lalu, sekitar 40.000 penggembira ikut memeriahkan muktamar. Peristiwa ini juga diliput 400 wartawan dalam negeri. Mereka semua dijamu oleh sekitar 2.000 panitia yang ditopang dana Rp 1 milyar.
Yang tampaknya paling menonjol dalam muktamar kali ini adalah mencuatnya isu pergantian A.R. Fakhruddin sebagai Ketua PP Muhammadiyah, dan pertentangan antara kelompok "reformis" -- biasa disebut Lukman Harun dkk. -- dan kelompok "konservatif" yang dimotori oleh Djazman Alkindi. Memang, sebelum muktamar berlangsung, Pak A.R. (baca: A-Er) -- begitu panggilan akrab A.R. Fakhruddin -- sudah menyatakan tak bersedia lagi menjabat sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah. Dan bakal penggantinya sudah ia tunjuk: Azhar Basyir. "Dia seorang ustad yang ilmu agamanya tinggi," kata Pak A.R. Itu berarti figur Lukman Harun -- Wakil Ketua II PP Muhammadiyah -- bakal tergusur.
Sebelum muktamar, Lukman memang selalu mendengungkan perlunya profesionalisme manajemen dalam organisasi Muhammadiyah. Kalau perlu, kata Lukman, "Pengurus Muhammadiyah juga harus mendapatkan gaji." Bahkan ia juga menilai bahwa semangat proses pembaruan dalam Muhammadiyah mengalami kemandekan.
Tokoh muda Muhammadiyah seperti Amien Rais, Syafii Maarif, Watik Pratiknya, atau Dien Syamsuddin, tampaknya berada di pihak Lukman. Tapi Pak A.R., Ahmad Azhar Basyir, atau Djazman Alkindi, misalnya, melihat sebaliknya. Maka, arena Sidang Tanwir -- memilih calon anggota tetap PP Muhammadiyah -- pada Kamis dan Jumat pekan lalu, yang berlangsung menjelang muktamar, pun berlangsung seru. Lukman sendiri ternyata kalah.
Dalam pemilihan calon anggota tetap PP Muhammadiyah, di luar dugaan, namanya tak masuk dalam nominasi 39 calon anggota tetap PP Muhammadiyah 1990-1995 mendatang. Padahal, dalam muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo, 1985, dalam pemilihan yang sama Lukman termasuk lima besar. Tentu saja banyak yang kaget. Amien Rais, misalnya, terus terang kecewa. Menurut dia, peristiwa ini merupakan yang pertama kalinya terjadi sepanjang sejarah Muhammadiyah: ada seorang pimpinan inti Muhammadiyah yang terpental karena rekayasa yang cukup intensif.
"Ini perlu diratapi. Cukuplah sekali ini saja terjadi. Kalau jadi preseden, Muhammadiyah akan lebih gawat dari partai politik," tukas Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah itu. Ia mengibaratkan Lukman dianiaya. "Ini dholim. Saya tak rela, orang yang begitu banyak jasanya kok dibegitukan," katanya. "Saya kaget dan kasihan. Bagaimanapun, Lukman sudah berbuat banyak buat Muhammadiyah," komentar Djarnawi Hadikusumo, Wakil Ketua I PP Muhammadiyah. Menurut dia, "kesalahan" Lukman adalah kurangnya hati-hati dalam membuat pernyataan-pernyataan yang kemudian dikutip berbagai media. "Itu salah langkah," tambahnya.
Namun, Djarnawi menilai Lukman sangat andal dalam hal lobbying dengan berbagai pihak. Pergaulannya sangat luas di kalangan tokoh-tokoh mancanegara. Maklum, Lukman hingga kini aktif sebagai Wakil Sekjen Asian Conference on Religion and Peace, Ketua Komite Solidaritas Islam, dan Wakil Ketua Panitia Pembantu Pembebasan Palestina dan Masjidil Aqsa. Lukman sendiri tampak siap menerima kekalahannya. "Tak apa-apa, ini artinya ide-ide saya yang progresif memang belum bisa diterima. Mau apa lagi?" katanya.
Tersingkirnya Lukman membuat banyak orang menoleh kepada Djazman, yang disebut-sebut sebagai "musuh bebuyutan" Lukman (konon sejak mereka berdua bersaing ketat memperebutkan kursi ketua Pemuda Muhammadiyah tahun 1960-an). "Perseteruan" itu tampaknya semakin berlanjut setelah Lukman secara terbuka menentang rangkap jabatan oleh Djazman. Tokoh yang terakhir ini, selain duduk sebagai Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, juga menjabat sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Ini dinilai mengundang kerancuan antara si pengelola dan si pengawas.
Persoalan sempat diredam setelah Pak A.R. menandatangani surat keputusan PP Muhammadiyah yang membolehkan Djazman memegang dua jabatan itu. Tapi Lukman dkk. tetap tak puas atas keputusan yang dianggap bertentangan dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah dan hasil muktamar ke-41. Ketidakpuasan Lukman itu rupanya "dibocorkan" ke media massa. Pembeberan inilah yang membuat sejumlah tokoh Muhammadiyah panas kupingnya. Termasuk Pak A.R. "Janganlah kita sebar-sebarkan kesalahan dan kekeliruan itu melalui surat kabar, katanya, ketika memberikan sambutan pada pembukaan Muktamar Muhammadiyah, Sabtu pekan lalu.
Gelombang membendung Lukman dalam kepemimpinan Muhammadiyah sudah gencar menjelang berlangsungnya pemungutan suara untuk mencari 39 nama calon anggota tetap PP Muhammadiyah di Sidang Tanwir. Bahkan, menurut Amien Rais, Pak A.R. di depan Sidang Tanwir, Kamis malam pekan silam, sempat mengatakan bahwa ide Lukman tentang profesionalisme di kalangan pengurus Muhammadiyah tak benar. "Ini sangat memojokkan Lukman dan mempengaruhi jalannya pemilihan," katanya.
Hasil pemilihan: Lukman hanya mendapat dukungan 52 suara, sama seperti yang diperoleh Prof. Dr. Rasyidi. Sialnya, perolehan suara itu hanya terpaut 2 suara dari peringkat ke-39 yang diduduki oleh A. Dimyati (Wakil Ketua Majelis Tabligh). Adakah ini hasil rekayasa seperti yang dituding oleh Lukman dan Amien?
"Kalau toh ada rekayasa, biayanya sangat mahal. Perlu dana jutaan rupiah dan waktu yang berbulan-bulan untuk menggarapnya. Jadi, tak mungkin," kata Djazman. "Ini adalah hasil pemilihan yang demokratis," ujar Ismail Sunny, Wakil Ketua III PP Muhammadiyah, yang dalam pemilihan itu mendapat 89 suara dan menempati peringkat ke-14.
Kekalahan Lukman itu tampaknya bisa ditebak kalau melihat komposisi peserta Sidang Tanwir. Mereka yang menjadi mayoritas adalah utusan Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) -- tingkat provinsi. Ada 26 PWM -- tak termasuk Timor Timur -- yang masing-masing diwakili oleh empat orang, kecuali Ambon yang hanya diwakili seorang utusan. Ini ditambah dengan belasan anggota PP Muhammadiyah, 10 utusan Organisasi Otonom (seperti Pemuda Muhammadiyah, Aisyiyah) dan utusan Majelis PP Muhammadiyah (seperti wakil dari Majelis Tablih, Majelis Tarjih). Total peserta Sidang Tanwir 139 orang.
"Banyak yang umurnya sudah berkepala tujuh," komentar Amien, yang mengamsalkan bahwa pemilihnya adalah orang-orang tua seangkatan Pak A.R. Dari jumlah di atas, hanya 120 yang memiliki hak memberikan suara. Sedangkan yang berhak dipilih ada 86 orang. Di muktamar nanti, dari 39 calon tadi dipilih lagi jadi 13 nama pengurus inti PP Muhammadiyah. Kiai Azhar duduk di peringkat pertama dengan suara terbanyak (111 suara). Peringkat berikutnya, Sutrisno Muchdam, 109 suara. Djarnawi Hadikusumo dan Rosyad Soleh masing-masing memperoleh 107 suara.
Sedangkan Amien Rais menempati peringkat ke-6 dengan 103 suara. Djazman menduduki peringkat ke-11 (93 suara). Sedangkan Pak A.R. ada di peringkat ke-16 dengan perolehan suara 88. Satu-satunya calon wanita yang melejit masuk 39 Besar adalah Prof. Dra. Siti Baroroh Baried, 66 tahun, mantan Ketua PP Aisyiyah. Sedangkan calon termuda adalah Rusli Karim, 38 tahun, dosen IKIP Negeri Yogyakarta dan sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan Muhammadiyah.
Dalam analisa seorang peserta muktamar, tampaknya kelompok "konservatif" menguasai ke-39 anggota calon tetap PP Muhammadiyah. Sedangkan kelompok "reformis" hanya terwakili -- seperti dikatakan seorang sumber yang dekat dengan kelompok Lukman dkk. -- oleh Amien Rais, Ismail Sunny, Ahmad Watik Pratiknya (80 suara, peringkat ke-22), Syafii Maarif (94 suara, peringkat ke-8), Fahmi Chatib (72 suara, peringkat ke-32) Rusjdi Hamka (97 suara, peringkat ke-17), dan Ramli Thoha (77 suara, peringkat ke-28).
Toh itu tak berarti kelompok "reformis" tersingkir. Sebab, mereka mewakili suatu kelompok besar di Muhammadiyah. Dan apa pun yang terjadi, semangat persatuan agaknya masih tetap menjadi tradisi Muhammadiyah. Menurut sumber TEMPO yang dekat dengan kelompok "konservatif", mereka masih menginginkan tampilnya Amien Rais, Ramli Thoha, atau Rusjdi Hamka, dalam 13 anggota tetap PP Muhammadiyah (1990-1995) hasil pemilihan di muktamar ini. "Bahkan tokoh-tokoh dari Jakarta seperti Sugiat Ahmad Sumadi dan Peunoh Dali juga kami harap masuk," katanya.
Tak masuknya Lukman dalam 39 besar itu rupanya mengundang keprihatinan bekas Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara. Sampai-sampai Alamsjah mengundang Djarnawi Hadikusumo, Jumat petang pekan lalu, untuk menemuinya di Hotel Garuda, Yogyakarta. Keduanya bertukar pikiran tentang peluang Lukman untuk tetap masuk dalam kepengurusan inti PP Muhammadiyah. "Tapi saya tak menjanjikan apa-apa. Biarlah nanti 13 orang yang terpilih itu yang akan menentukannya setelah muktamar selesai," kata Djarnawi.
Pemilihan untuk menentukan 13 anggota tetap PP Muhammadiyah berlangsung Selasa pekan ini. Sekitar 1.200 orang peserta akan memberikan suaranya secara langsung -- memilih dari 39 calon yang ada. Dalam taksiran Amien Rais, sekitar 70-% pemberi suara adalah pengurus Muhammadiyah di tingkat cabang. Mereka ini relatif muda. "Saya berharap banyak pada mereka," kata Amien. Tapi muktamar memang tak melulu membicarakan soal terlemparnya Lukman atau mencuatnya konflik antara kelompok "reformis" dan "konservatif". Masih banyak agenda lain yang juga dibahas. Seperti penyantunan kaum du'afa -- masyarakat miskin -- yang menurut Pak A.R., "Jumlahnya masih 30 juta orang di Indonesia ini". Muhammadiyah memang sudah seharusnya mengulurkan tangan pada mereka. Ahmed K. Soeriawidjaja, Siti Nurhaiti, Heddy Lugito (Yogyakarta)
Retrieved from: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/12/22/NAS/mbm.19901222.NAS17539.id.html (May 11, 2010)