Oleh Ahmad Najib Burhani*
Salah satu
butir dari komitmen atau “kontrak amanah” Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
periode 2005-2010 adalah bersedia untuk tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai
kendaraan politik. Dengan komitmen itu, maka 13 anggota PP, plus anggota
tambahannya, secara otomatis tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden
maupun wakil presiden dalam pemilu 2009 mendatang. Konsekuensi lain dari komitmen
itu adalah bahwa seluruh anggota PP harus melepaskan diri dari keterikatan atau
keterlibatan dengan partai politik manapun.
Ketika
mendengar “kontrak amanah” ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah terpilih,
Dien Syamsuddin, pada pidato serah terima jabatan di Dome UMM, Kamis 7/7, saya
merasa haru, tak percaya, dan curiga. Dien selama ini terkenal dengan syahwat
politiknya yang sangat kuat. Analisis yang berkembang selama ini menyebutkan
bahwa Dien akan menggunakan Muhammadiyah sebagai salah satu sayap --sayap
lainnya adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia)-- untuk terbang menuju kursi
tertinggi di negeri ini, presiden. Jika bukan untuk mengejar RI-1,
pertanyaannya adalah kemana sebetulnya arah ambisi politik mantan petinggi
Golkar itu? Hasrat apa yang diburu Dien dengan jabatan sebagai ketua umum dari
salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini?
Secara retoris,
alumnus UCLA ini menyatakan bahwa jabatan di Muhammadiyah adalah amanah yang
diterima bukan dengan alhamdulillah (syukur kepada Tuhan), tapi
dengan innalillah (ketakutan kepada Allah dan harapan pertolongan
dari-Nya). Dulu, saya sempat menduga “kontrak amanah” itu tak akan disetujui
oleh Dien, atau paling tidak diperhalus dan dibiaskan bahasanya. Saya juga
sempat takut ketika kontrak itu baru disodorkan pasca pemilihan, bukan pra
pemilihan. Saya menduga ini semua adalah trik tim sukses Dien agar kontrak itu
kehilangan makna. Ternyata semua dugaan itu meleset.
Berulang-ulang
saya berpikir tentang pidato serah-terima jabatan itu. Berkali-kali saya
berdiskusi dengan para aktivis organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun
1912 ini. Hingga, pada perdebatan hangat dengan beberapa AMM (Angkatan Muda
Muhammadiyah) di daerah puncak (Payung) Batu, Malang, Kamis (7/7), jam 01.00
dini hari, saya mendapatkan satu titik terang tentang masa depan Muhammadiyah,
ke arah mana gerakan Islam modernis ini hendak dibawa atau dipakai oleh Dien
Syamsuddin. Tentu saja ini semua hanyalah analisa, dugaan dan tebakan. Apa yang
terjadi esok harilah yang akan membuktikannya.
Adalah Piet Hizbullah, mantan ketua umum IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah) dan caleg terkuat PAN di Jawa Timur pada Pemilu 2004, yang
membuka sedikit tabir tentang “takdir” Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien.
Profesor dari UIN Jakarta ini sepertinya ingin menjadi “Paus” Islam. Ia
menginginkan dirinya, Muhammadiyah, dan Islam di Indonesia menjadi representasi
dari seluruh umat Islam di dunia.
Meski Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,
namun selama ini Islam di negeri ini sering ditempatkan pada posisi pinggiran (periphery).
Pusat Islam adalah Timur Tengah, terutama Saudi Arabia, tempat lahirnya Islam
dan tempat ka’bah, yang merupakan kiblat umat Islam dalam bersembahyang,
berada. Dien ingin membawa Islam “varian” Indonesia ke pentas Internasional.
Saya mencoba menghubungkan analisa ini dengan isi kampanye Dien. International
network adalah topik yang selalu didendangkan tim suksesnya. Awalnya, saya
melihat ini semata sebagai cara tim Dien untuk menunjukkan kelebihan mantan
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah ini dibanding kandidat lain. Ketika itu saya
tidak melihat ini sebagai visi Dien –mungkin tim suksesnya pun tidak menganggap
demikian. Namun setelah pertemuan di puncak Batu itu, saya mulai mencari
bukti-bukti bahwa ini merupakan visi ke depan Dien.
Dien adalah ketua ICOMRP (Indonesian Committee for Religion and Peace)
dan ACRP (Asian Conference on Religion and Peace). Dia acapkali tampil
ke pentas dunia dengan mengatasnamakan Islam atau membawa persoalan Islam,
bertemu dengan duta besar berbagai negara untuk mendiskusikan Islam. Hubungan
Islam di Indonesia dengan dunia Islam dan dunia lain pulalah yang diulang-ulang
Dien pada panutupan Muktamar dan khutbah Jum’ah pasca Muktamar. Dari data ini,
bisa diduga bahwa tema kepemimpian Dien adalah membawa Muhammadiyah ke pentas
global, seperti yang pernah dilakukan Jamalauddin al-Afghani. Mirip dengan
al-Afghani, Dien tidak banyak memiliki karya pemikiran. Ia adalah orang
gerakan.
Tentu saja cita-cita menjadi “Paus” Islam ini, secara politis, tak kalah
tingginya dibanding dengan menduduki jabatan RI-1. Dengan ini, Dien tidak hanya
bisa menjadi pemimpin umat Islam Indonesia, tapi bisa menjadi imam atau
khalifah Islam sedunia yang kekuasaanya terbentang dari ujung timur hingga
ujung barat dunia, bahkan mencapai akhirat. Mirip dengan cita-cita Hizbut
Tahrir, Dien bisa mewujudkan “khilafah Islamiyah.”
Hal yang masih menjadi tanda tanya adalah apakah wajah Islam yang ingin
ditampilkan Dien adalah seperti yang ia tampilkan selama ini? Kita perlu
menunggu.
-oo0oo-
*Ahmad Najib
Burhani adalah Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan aktivis
Pemuda Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment