Kompas, Senin, 10 Januari 2011 | 21:08 WIB
Judul Buku : Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia
Penulis : Syarif Hidayatullah, M.Ag., MA.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : xxiv + 237 halaman
Peresensi : Supriyadi*)
Muhammadiyah adalah sebuah oraganisasi masyarakat (ormas) Islam besar di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 November 1912. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah melintasi berbagai periode dan masa di Indonesia. Sepak terjang Muhammadiyah juga telah terlihat di dalam berbagai bidang sosial masyarakat, seperti pembangunan rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dan lain sebagainya.
Syarif Hidayatullah, M.Ag., MA dalam bukunya yang berjudul “Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia” memaparkan identitas Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam yang berpengaruh di Indonesia. Ormas Islam besar di Indonesia ini telah memainkan peranannya sebagai penuntun umat Islam semenjak kelahirannya pada 1912. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah tumbuh dan berkembang menjadi ormas Islam yang mampu mempertahankan eksistensinya di Indonesia.
Alwi Shihab dalam penelitian disertasinya menyimpulkan bahwa pada intinya Muhammadiyah memainkan empat peran penting yang saling tekait: pertama, sebagai gerakan pembaruan; kedua, sebagai agen perubahan sosial; ketiga, sebagai kekuatan politik; dan yang paling menonjol, keempat, sebagai pembendung paling aktif misi-misi Kristenisasi di Indonesia (hlm. 2).
Sementara itu, citra Muhammadiyah yang menonjol adalah bahwa Muhammadiyah itu adalah sebuah gerakan pembaruan yang modernis. Selain memodernisasi ajaran Islam, Muhammadiyah juga terkenal sebagai gerakan pemurnian (purifikasi). Yang dimaksud dalam pemurnian dalam hal ini adalah bahwa Muhammadiyah itu merupakan sebuah gerakan modernis yang berusaha untuk memurnikan ajaran Islam yang murni, sesuai dengan tuntunan Qur’an dan hadits.
Dalam konteks Indonesia yang memilki kemajemukan (heterogenitas) yang kaya, Muhammadiyah berdiri sebagai gerakan pemurnian yang memfilter ajaran agama Islam ketika Islam berinteraksi dengan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Dalam sejarahnya, sebelum Islam masuk ke nusantara, agama Hindu dan Buddha telah menjadi keyakinan masyarakat. Ketika Islam masuk, terjadilah akulturasi dan asimilasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang masih sarat dengan dinamisme dan animisme.
Fenomena seperti ini melahirkan pluralitas dalam keberagamaan masyarakat. Akibatnya ajaran Islam sering kali tercampuri oleh budaya lokal yang menjadikan ajaran Islam sendiri tidak murni. Dari realitas itulah KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai wadah gerakan pemurniannya. Beliau berusaha memurnikan Islam dari apa yang biasa disebut TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churofat) utuk menjadi Islam yang murni seperti Islam pada zaman Nabi Muhammad saw. Pada saat itu, meskipun Islam sudah lama menjadi agama yang mayor di nusantara, Islam masih bercampur dengan tradisi dari Hindu, Buddha, keyakinan animisme, dan dinamisme. KH. Ahmad Dahlan sebagai tokoh yang beragama, tergugah hatinya guna menyelamatkan ajaran Islam di Indonesia. Beliau ingin membersihkan Islam dan umat Islam baik secara fisik maupun mental spiritual dengan memberantas tradisi-tradisi tersebut.
Sontak masyarakat Yogyakarta yang sangat kental dengan tradisi keraton, pada saat itu, banyak yang tidak menerima dakwah KH. Ahmad Dahlan. Namun demikian, beliau tetap teguh dan akhirnya, Muhammadiyah didirikan yang salah satu misinya adalah sebagai gerakan pemurnian Islam. Membaca sejarah berdirinya Muhammadiyah tersebut seakan memperingatkan kepada kita bahwa ternyata fakta pluralitas budaya di nusantara pada masa lalu ingin dipisahkan dengan ajaran Islam oleh KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dengan gerakan pemurniannya. Oleh karenanya, Muhammadiyah cenderung eksklusif terhadap budaya dan pluralitas agama di Indonesia.
Kini, pengaruh Muhammadiyah pun telah tersebar ke berbagai kawasan di Indonesia. Muhammadiyah yang sekarang pun berbeda dengan Muhammadiyah yang dulu di mana dulu Muhammadiyah masih dalam prosesnya untuk terus berkembang. Kini, Muhammadiyah telah menjadi ormas besar di Indonesia. Oleh karenanya, Muhammadiyah juga harus mampu untuk melakukan dakwah secara kultural dan peka terhadap isu-isu aktual kontemporer.
Sebuah isu aktual yang juga harus diselesaikan oleh Muhammadiyah pada era sekarang adalah pluralitas. Semenjak kelahirannya, Muhammadiyah memang sangat eksklusif terhadap keberagaman budaya karena memosisikan diri sebagai gerakan pemurnian Islam sehingga Muhammadiyah cenderung kaku terhadap pluralitas. Isu pluralitas yang kini menjadi isu aktual pun harus mendapat tempat khusus di Muhammadiyah.
Saatnya kini Muhammadiyah menembus pluralitas agama. Muhammadiyah telah belajar banyak mengingat usianya sudah hampir satu abad. Tentunya, di usia Muhammadiyah yang sudah lama tersebut, Muhammadiyah sudah banyak “makan garam”. Oleh karenanya, Muhammadiyah harus melakukan refleksi terhadap zaman sekarang dengan berbagai problematika kekinian.
Tantangan Muhammadiyah kini tidak lagi sekadar memurnikan ajaran Islam, akan tetapi juga menembus permasalahan kekinian yang dihadapi oleh umat Islam baik di Indonesia maupun di dunia. Muhammadiyah harus mampu beradaptasi dengan berbagai peliknya problematika umat yang semakin hari semakin kompleks.
Akhirnya, dengan membaca buku yang berjudul “Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia”, para pembaca diajak untuk melihat bagaimana sepak terjang Muhammadiyah pada masa lalu dan berefleksi dengan isu pluralitas di masa sekarang. Muhammadiyah kini harus semakin peka terhadap problematika kekinian yang semakin kompleks karena dinamika kehidupan pun semakin cepat. Kini saatnya Muhammadiyah harus berani menembus pluralitas agama di Indonesia demi kemaslahatan umat Islam yang semakin terserang oleh globalisasi.
*) Peresensi adalah Pengamat Sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta
http://oase.kompas.com/read/2011/01/10/21084276/Muhammadiyah.Menembus.Pluralitas-3
No comments:
Post a Comment