Oleh Ahmad Najib Burhani*
Pada masa-masa
akhir pemerintahan Orde Baru, Dien Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah periode 2005-2010, terkenal sebagai politisi dan intelektual yang
sangat yakin dengan politik alokatif, struggle from within (berjuang
dari dalam), dan menghindari sikap konfrontatif. Strategi ini rupanya tak
dipercayainya lagi untuk kasus 11 Setember 2001. Dien telah menanggalkan “iman”
tersebut ketika berhadapan dengan Amerika Serikat. Ia memilih untuk bersikap
konfrontatif terhadap kebijakan-kebijakan Amerika terhadap Islam dan
negara-negara Islam. Karena itulah, sejak peristiwa pemboman menara kembar WTC
(World Trade Center) itu, ia lebih akrab dikelompokkan sebagai bagian
dari Islam garis keras.
Salah satu
alasan mengapa Dien terpilih menjadi pimpinan tertinggi dalam organisasi
terbesar kedua di Indonesia itu adalah juga karena kedekatannya kepada warga
Muhammadiyah garis keras. Pandangan-pandangan keagamaan Sekretaris Umum MUI
(Majelis Ulama Indonesia) ini dianggap sesuai dengan keinginan mayoritas warga
Muhammadiyah yang cenderung puritan dan fundamentalis. Inilah yang membedakan
Dien dari pimpinan Muhammadiyah yang ia gantikan, Ahmad Syafii Maarif. Seiring
dengan pemikirannya yang moderat dan inklusif, popularitas Syafii Maarif –juga
Munir Mulkhan dan Amin Abdullah-- di Muhammadiyah terus merosot. Bahkan,
Mulkhan dan Amin terpental dari 13 formatur terpilih pada Muktamar ke-45 di
Malang, 3-8 Juli 2005.
Pada Muktamar
yang baru usai itu, Buya Syafii berkali-kali melakukan pembelaan terhadap
beberapa angkatan muda Muhammadiyah yang memiliki pemikiran liberal dan aneh,
seperti yang ditampilkan dalam tulisan-tulisan Sukidi, Fuad Fanani dan Pramono.
Dalam pidato serah terima jabatan di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) Dome
(7/7), Syafii bahkan berpesan agar orang Muhammadiyah tidak cepat marah dan
menuduh ketika membaca pemikiran anak-anak muda. Selama mereka menjalankan
prinsip-prinsip ajaran agama, seperti shalat, maka mereka tak perlu dimusuhi.
Masa Depan Liberalisme
Berbeda dari
Syafii, dalam berbagai pidatonya Dien tidak menyatakan pembelaan, dukungan atau
apresiasi terhadap pemikiran generasi muda Muhammadiyah. Sikap ini bisa
dipahami jika itu terjadi sebelum pemilihan pimpinan. Dien perlu mengamankan
peluangnya menjadi ketua umum dengan cara menjaga emosi para pendukungnya. Saya
kira, Dien sadar bahwa jika ia memberikan apresiasi terhadap JIMM (Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah) yang cenderung liberal, maka suaranya bisa turun
mengingat jumlah warga Muhammadiyah yang tidak menyukai JIMM cukup banyak.
Namun anehnya, pernyataan apresiasi juga tidak keluar setelah ia ditetapkan
sebagai ketua umum.
Ada beberapa
asumsi tentang sikap tersebut. Bisa jadi Dien tidak ingin langsung membuat
langkah kontroversial begitu ia terpilih. Hal ini penting untuk menghormati
para pendukungnya. Tentu mereka akan kecewa bila Dien menyampaikan apresiasi
terhadap pemikiran liberal segera setelah ia memimpin organisasi yang berdiri
tahun 1912 ini. Asumsi lain adalah bahwa Dien memang tidak berniat untuk
membela anak-anak Muhammadiyah yang liberal. Atau bahkan, sebetulnya ia tidak
menyukai model pemikiran itu.
Asumsi bahwa
Dien tidak menyukai gerakan yang dilakukan oleh anak-anak muda Muhammadiyah itu
tentu agak susah diterima bila melihat bahwa Dien lah yang mendirikan PSAP-M
(Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah), salah satu gerbong pemikiran
“liar” di organisasi modernis ini. Alasan inilah yang dikemukakan Dien ketika
mendengar isu bahwa ketidaksukaan beberapa orang kepada Dien adalah karena ia
seorang fundamentalis. Mendengar isu tersebut, Dien buru-buru menjawab bahwa
orang lupa bahwa dirinyalah pendiri PSAP.
Meski di
kalangan terbatas Dien menolak disebut fundamentalis, ia tetap saja menolak
untuk memberikan pernyataan perlindungan kepada 2 (dua) kelompok yang
bersebarangan di Muhammadiyah ketika ada seorang tokoh Muhammadiyah meminta hal
tersebut. Tokoh ini mengatakan bahwa ia telah meminta kepada Dien untuk
menyampaikan satu statemen bahwa ia akan memayungi dua kelompok yang beroposisi
itu dalam pidato serah terima jabatan, namun Dien tak bersedia memenuhi.
Dalam jumpa pers
setelah ia ditetapkan sebagai ketua umum, saya sempat hendak menanyakan kepada
Dien tentang sikapnya terhadap liberalisme. Namun posisi saya sebagai insider
–sekaligus juga bukan wartawan-- membuat saya mengurungkan niat tersebut.
Saya sangat ingin mendengar pernyataan Dien tentang masalah radikalisme dan
liberalisme di depan publik. Dan press conference, sebagai forum bagi
wartawan, merupakan tempat yang sangat pas untuk hal itu.
Benar apa yang
disampaikan oleh tokoh Muhammadiyah tersebut di atas, tidak ada pernyataan
apresiasi terhadap kelompok liberal dalam pidato Dien pada acara serah terima
jabatan. Dien bahkan menyebutkan bahwa kepemimpinan di organisasi ini bersifat
kolegial. Dalam urusan-urusan besar, dia hanya akan menyampaikan apa yang
menjadi keputusan para pimpinan. Pidato Dien itu sebetulnya disampaikan setelah
ia mendengarkan pidato Pak Syafii yang, diantaranya, berisi pembelaan
habis-habisan terhadap pemikiran yang dikembangkan oleh anak-anak muda. Tapi
rupanya Dien tidak tergerak sama sekali untuk menanggapi masalah ini. Dia
menanggapi segala hal yang disampaikan Syafii Maarif, kecuali tentang pemikiran
anak-anak muda.
Memang, sikap
Dien di atas tidak bisa dijadikan indokator bahwa ia akan memberangus JIMM atau
melarang pemikiran liar di organisasi modernis ini. Namun sikap ini bisa
dijadikan salah satu indikasi bahwa tidak ada jaminan dari pimpinan Muhammadiyah
terhadap masa depan JIMM dan pemikiran yang diusungnya.
Tidak Mengarah ke Terorisme
Dalam pergaulan
sehari-hari dan juga dalam sikap, memang Dien cukup dekat dengan anak-anak yang
memiliki pemikiran liberal, seperti Sukidi, Pramono dan Fuad Fanani. Bahkan,
Dien lah yang berperan cukup banyak dalam membesarkan anak-anak itu. Namun di
depan publik, dalam dan seusai Muktamar, pernyataan yang bisa menyejukkan
kelompok liberal belum keluar dari mulutnya.
Meski harapan
saya untuk mendengarkan pernyataan Dien terhadap liberalisme dan radikalisme
tidak terwujud, ada satu hal yang sangat saya yakini dari profesor di UIN
(Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta ini: Dia tak akan
mengajak umat Islam untuk melakukan jihad fisik melawan Amerika Serikat. Dia
pasti tidak menyetujui terorisme dan talibanisme. Sebagai seorang doktor
lulusan universitas di Amerika (UCLA), Dien saya yakin sadar bahwa cara-cara
jihad seperti yang dilakukan Amrozi, justru akan menghancurkan umat Islam
sendiri.
Dalam khutbah
Jum’at di Masjid AR Fachruddin UMM (7/7), seusai dilantik menjadi ketua umum PP
Muhammadiyah periode 2005-2010, Dien Syamsuddin menyatakan bahwa jihad yang
dituntut dari umat Islam saat ini bukanlah jihad fisik (lil mu’aradhah),
tapi jihad lil muwajahah, persaingan sehat. Dalam arti, umat Islam perlu
ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan), tidak hanya
dengan sesama umat Islam, tetapi juga dengan umat-umat yang lain.
-oo0oo-
*Ahmad Najib
Burhani adalah Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan aktivis
Pemuda Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment