Oleh: Pradana Boy ZTF*)
TAHUN 2011 ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) akan memasuki usianya yang ke-47. IMM lahir pada 14 Maret 1964, yang berarti dalam waktu tak lama lagi, akan memperingati hari kelahirannya. Jika diibaratkan manusia, usia itu adalah saat di mana manusia berangsur-angsur menggapai kematangan dan kemapanan hidup. Namun tidak demikian dengan IMM. Dalam usia yang telah dewasa itu, IMM seringkali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan eksistensi, kiprah dan sumbangsihnya dalam konteks pengkaderan di Muhammadiyah. Selain itu, dalam banyak hal IMM juga seringkali mengalami problem yang berhubungan dengan eksistensi kelembagaannya di perguruan tinggi-perguruan tinggi Muhammadiyah. Kenyataan itu telah membawa IMM kepada suatu situasi yang tidak gampang, bahkan IMM seringkali menjadi sasaran kecurigaan pihak-pihak tertentu di Muhammadiyah, khususnya pengelola PTM.
Kecurigaan terhadap IMM itu misalnya bisa dilihat dari pernyataan seorang mantan rektor sebuah PTM dalam sebuah buku yang bercerita tentang perjalan hidupnya. Ia menyatakan: “…Maunya yang mengelola… (nama sebuah PTM, penulis) kan anak-anak mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) saja. “Anak-anak IMM merasa jengkel, kok mereka tidak bisa menguasai… (nama sebuah PTM, penulis).” Lebih lanjut, kecurigaan itu bahkan dinyatakan dalam sebuah kalimat yang stigmatis: “…kalau IMM dibiarkan menguasai kampus (nama sebuah PTM), nanti akan dipakai gendurenan. (nama sebuah PTM, penulis) yang sudah dibesarkan dengan jerih payah dan kerja keras, akan jadi ajang keroyokan untuk dibagi-bagi demi kepentingan pribadi…” (2009: 121; 2006: 129-130).
Kecurigaan semacam itu telah menimbulkan rasa shock yang mendalam di kalangan aktivis IMM. Wajar belaka, karena secara kasat mata pernyataan semacam ini jauh dari kategori ilmiah dan akademis, dan lebih banyak didominasi oleh prasangka daripada fakta-fakta yang memadai. Memang harus diakui bahwa dalam beberapa situasi, kita sering menemukan fakta tentang bagaimana aktivis-aktivis IMM mengalami problem dalam mengartikulasikan aktivitasnya di sejumlah PTM. Terhadap kenyataan ini, tak jarang aktivis-aktivis IMM secara emosional meminta hak untuk diperhatikan sebagaimana yang seharusnya ia terima sebagai ortom Muhammadiyah. Di sinilah salah satu problem itu bermula. IMM membaca posisinya di PTM dalam kerangka hubungan Muhammadiyah sebagai organisasi induk dan IMM sebagai organisasi otonom. Sementara, tidak jarang para pengelola kampus (meskipun berlatar belakang Muhammadiyah tetapi dibesarkan dalam tradisi organisasi mahasiswa selain IMM ataupun mereka yang sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang hierarki pengkaderan di Muhammadiyah) menempatkan IMM sebagai organisasi ekstra kampus murni.
Akibatnya, terbentuklah pemahaman yang sama-sama ekstrem menyangkut posisi IMM di kampus-kampus PTM. Di satu sisi, IMM memang terkadang tidak cukup dewasa dan elegan dalam menempatkan dirinya, sementara para pengelola kampus itu memperlakukan IMM tidak sebagaimana mestinya. Wajarlah jika terjadi pengerasan sikap IMM terhadap sejumlah pengelola PTM di Indonesia. Sayangnya, alih-alih melihat pengerasan sikap IMM itu sebagai bentuk akibat dari tidak proporsionalnya perlakuan pimpinan PTM terhadap IMM, sikap itu justru digunakan sebagai amunisi untuk mendiskreditkan IMM di perguruan tinggi Muhammadiyah tertentu.
Persoalan menjadi semakin rumit, karena ketika sejumlah aktivis IMM itu telah lulus dan kemudian berkarier di sejumlah lembaga milik Muhammadiyah pun, terutama perguruan tinggi Muhammadiyah, stigma-stigma itu tetap dilekatkan. Dalam konteks hubungan dan dinamika yang rumit semacam inilah, maka akan muncul pernyataan-pernyataan bernada stigmatis bahkan stereotipikal terhadap aktivis dan alumni IMM, seperti dengan sangat sempurna ditunjukkan oleh pernyataan seorang mantan rektor di atas. Di antara stigma itu adalah bahwa hanya kader IMM yang memiliki pemahaman paling memadai tentang Muhammadiyah dan kemudian paling berhak mengelola amal usaha Muhammadiyah. Sayangnya, tidak jarang ada juga mantan aktivis IMM yang mengamini stigma-stigma itu dengan alasan-alasan yang sangat pragmatis; dan tentu saja jauh dari alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Ibaratnya, mereka menari dengan iringan musik yang diciptakan orang lain, meskipun musik itu tak enak didengar.
Di samping itu, sebagaimana difahami secara luas di Muhammadiyah, pengkaderan merupakan satu pilar paling penting dari organisasi ini. Dalam kaitan ini, kita sering mendapati perkataan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi kader. Implementasi dari adagium itu adalah dengan pendirian sejumlah organisasi otonom yang antara lain didasarkan pada usia dan jenis kelamin. Meskipun pengelompokkan organisasi otonom atas dasar seperti ini pernah dikritik oleh almarhum Profesor Kuntowijoyo, karena tidak mampu menyentuh kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat secara riil; tetapi tetap saja ada peran yang bisa dimainkan oleh organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah itu. Diakui atau tidak. Masih dalam kaitan ini, tokoh-tokoh dan pemimpin Muhammadiyah, tanpa melihat latar belakang keorganisasiannya semasa muda, harus berfungsi sebagai pengayom, payung, guru, orangtua bagi semua kader Muhammadiyah.
Dalam dunia politik, menyangkut politik kenegaraan dan kepartaian seringkali muncul perkataan: “Jika komitmen kebangsaan telah lahir, maka komitmen kepartaian harus berakhir.” Adagium ini tidak harus pula dimaknai secara literal, dalam arti bahwa komitmen kepartaian harus sama sekali dilupakan. Tetapi, pernyataan ini mengindikasikan sebuah nilai prioritas. Bahwa jika seorang politisi telah terikat dengan komitmen kebangsaan, misalnya dengan menjadi pemimpin negara atau pejabat publik, maka ia seharusnya lebih mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan partai. Sama persis dengan ibarat ini, maka seorang pemimpin Muhammadiyah harus berfikir tentang Muhammadiyah lebih dahulu dengan mengesampingkan latar belakang keorganisasiannya semasa muda. Sehingga cita-cita Muhammadiyah sebagai tenda besar bagi seluruh elemen bangsa bisa terwujud. Tetapi jika mental sektarian dan primordial yang berkecambah, maka sangat sulit membayangkan hal itu terjadi. Bagaimana mungkin menjadi tenda besar yang menaungi keragaman identitas, latar belakang dan kepentingan bagi semua elemen bangsa; sementara sentimen kelompok begitu mengemuka dan upaya rekonsiliasi perbedaan latar belakang keorganisasian sesama aktivis Muhammadiyah saja begitu sulit diwujudkan.
Lebih dari soal pengkaderan, dengan sangat menyesal harus dikatakan bahwa jangan-jangan contoh kasus di atas hanyalah puncak dari sebuah fenomena gunung es. Bahwa yang kelihatan di atas sepertinya kecil, tetapi sesungguhnya yang di dalam air, terpendam dan tidak nampak jauh lebih berlimpah dan besar volumenya. Artinya, apa yang dinyatakan oleh seorang mantan rektor sebuah PTM di atas adalah satu contoh dari problem serupa yang terjadi di berbagai PTM di Indonesia. Hanya saja karena pernyataan dan penilaian jujur sang mantan rektor terhadap IMM di sebuah PTM itu terungkap secara tertulis, maka dengan mudah diketahui oleh publik. Sementara terhadap peristiwa-peristiwa serupa, tetapi tidak terpublikasi, tentu saja tidak akan ada yang mengetahui, kecuali kelompok-kelompok terbatas dalam PTM-PTM bersangkutan. Jika memang demikian halnya, maka proses-proses regenerasi pimpinan, intelektual, ulama’ maupun posisi-posisi strategis dalam Muhammadiyah benar-benar berada pada masa yang tidak mudah.
Belakangan ini, kita sering sekali mendengar perbandingan antara dinamika gerakan intelektual di kalangan generasi muda Muhammadiyah dan NU. Sejumlah studi dan pengamatan sementara ini menempatkan NU pada dinamika yang cukup pesat. Sebaliknya, generasi muda Muhammadiyah cenderung mengalami stagnasi. Berbagai faktor diajukan untuk membaca situasi ini, dan banyak sudah yang kita dengar. Kini dengan mengetahui sample pernyataan seorang mantan rektor di atas, yang sangat mungkin juga dianut oleh tokoh Muhammadiyah lainnya; maka salah satu jawaban akan lambatnya dinamika generasi muda Muhammadiyah dalam merespon zaman, serta jauhnya jarak regenerasi di Muhammadiyah, adalah disebabkan oleh sikap-sikap tidak inklusif sejumlah tokoh Muhammadiyah, bahkan terhadap kader-kader Muhammadiyah sendiripun, hanya karena kebetulan dibesarkan dalam tradisi organisasi yang berbeda. Saya meyakini, inilah pula faktor yang menghambat akselerasi kaderisasi di Muhammadiyah secara umum dan di semua tingkatan.
Lebih jauh, kita juga bisa menghubungkan contoh kecurigaan sang mantan rektor tadi dengan demokratisasi di Muhammadiyah dan khususnya PTM. Peneliti Muhammadiyah asal Korea Selatan, Profesor Hyung-Jun Kim, menilai Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi keagamaan yang memiliki tradisi demokrasi sangat unik. Karena itu, jika dibawa ke wilayah yang lebih luas, nilai-nilai dasar demokrasi yang ada dalam Muhammadiyah itu akan menjadi elemen penting bagi proses demokratisasi di Indonesia secara umum. Di sini, sebenarnya kita bisa mengidentifikasi PTM sebagai salah satu pusat persemaian nilai-nilai demokrasi itu. Demokrasi sendiri memang begitu luas diperdebatkan. Tetapi nampaknya satu hal yang pasti dalam demokrasi adalah kesediaan menerima perbedaan identitas dan latar belakang dalam satu kesatuan komunitas yang diikat oleh mekanisme dan kesepakatan-kesepakatan tertentu dan mekanisme serta kesepakatan itulah yang menjadi hukum yang akan mengatur komunitas itu. Sayangnya, kita tidak bisa sepenuhnya dengan percaya diri mengklaim PTM sebagai salah satu media persemaian nilai-nilai demokratis itu, jika dalam kenyataannya terdapat kecurigaan-kecurigaan seperti yang dilontarkan oleh mantan seorang rektor sebuah PTM melalui kutipan penyataan di atas.
Jika menilik proses dinamika yang terjadi di sejumlah lembaga Muhammadiyah, utamanya menyangkut mekanisme pergeseran estafet kepemimpinan, Muhammadiyah memiliki tradisi yang bisa dibanggakan. Maka, agar dinamika demokrasi dalam Muhammadiyah itu tidak menyisakan ironi, sudah seharusnya, sekecil apapun potensi-potensi lahirnya hal-hal yang tidak demokratis harus dieliminasi. Nampaknya sulit bagi kita untuk menampik –dengan menilik, sekali lagi, pernyataan sang mantan rektor tadi—bahwa di samping sebagai lembaga persemaian ilmu dan intelektualisme, secara diam-diam kita juga melihat proses politisasi di perguruan tinggi Muhammadiyah. Ini tentu saja amat mengkhawatirkan, karena tidak hanya berpotensi memecah belah persatuan Muhammadiyah, tetapi juga akan menjadikan proses peningkatan kualitas PTM menjadi semakin berat. Akan sangat sulit bagi PTM untuk membangun daya saing yang kompetitif di tengah iklim persaingan yang demikian ketat, sementara kita justru terjebak dalam konflik internal yang salah satu akarnya adalah politisasi kampus itu.
Terakhir, tulisan ini hendaknya jangan dibaca sebagai bentuk kebencian kepada kritik terhadap IMM. Sebaliknya, semoga tulisan ini bisa menjadi refleksi bagi semua pihak untuk bertindak dan berucap secara proporsional. Sementara bagi IMM, kritik maupun stigma, betapapun pedasnya hendaknya menjadi sebuah momentum untuk membangun kembali daya kritis dan daya saing IMM, sehingga pada akhirnya kita bisa membuktikan bahwa jika suatu ketika kader IMM menduduki kedudukan-kedudukan penting bukan karena politisasi atau kronisme atau karena dasar like and dislike, melainkan benar-benar karena prestasi. Mari buktikan!
*) Kandidat doktor National University of Singapore (NUS). Mantan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
No comments:
Post a Comment