Pluralisme Tanpa Kaum Pluralis
Tulisan ini terinspirasi oleh seorang peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina yang menulis opini “Menakar Objektivikasi Pluralisme” (Media Indonesia, 22/6) yang secara provokatif menjadikan Muhammadiyah dan -sedikit disinggung Nahdlatul Ulama (NU)– sebagai contoh dari organisasi Islam yang dinilainya tidak membela pluralisme.
Saya sepakat belaka dengan sang peneliti bahwa untuk menjadikan Islam menjadi agama yang toleran, adil, menghargai hak-hak asasi manusia, dan pluralisme –dengan merujuk Kuntowijoyo– perlu dikembangkan pendekatan objektivikasi. Namun menjadikan Muhammadiyah dan NU sebagai contoh yang tidak membela pluralisme saya kira kesalahan yang agak serius.
Karena di NU ada orang-orang yang resisten dengan anak-anak muda yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) maka NU dianggap tidak membela pluralisme. Karena Muhammadiyah mencoret Dawam Rahardjo dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah (sebenarnya yang tepat, warga Muhammadiyah tidak memilihnya dalam Muktamar di Malang) dan resisten terhadap Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) maka Muhammadiyah dianggap tidak membela pluralisme.
Saya bisa memahami kenapa Moh Shofan, nama peneliti itu, melakukan kesalahan. Karena sang peneliti terjebak pada kerancuan berfikir yang disebut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1999) sebagai “fallacy of dramatic instance” (penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum). Hanya dengan satu dua contoh kasus, sang peneliti menganggap sudah lebih dari cukup untuk melakukan generalisasi.
Dawam dan JIMM
Salah satu tantangan terberat peneliti adalah menghindari bias pribadi. Dengan asumsi sudah melakukan penelitian sebelum menulis, menurut saya kesalahan Moh Shofan menjadi agak serius karena ia tak bisa menghindar dari bias pribadinya. Misalnya, selain mencontohkan dirinya yang dipecat dari Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), ia juga tampak sangat mengagumi Dawam Rahardjo yang disebutnya dipecat dari Muhammadiyah.
Apakah benar sang peneliti dipecat dari UMG semata-mata karena membolehkan mengucapkan Selamat Natal pada kaum Kristiani seperti ditulisnya itu? Saya kira perlu diklarifikasi lebih lanjut. Saya punya beberapa teman yang mengajar di Universitas Muhammadiyah, termasuk di UMG yang pikiran-pikirannya sangat pluralis, toh mereka tak dipecat. Jadi, agak mengherankan jika Moh Shofan mengaku dipecat karena pembelaan terhadap pluralisme?
Setelah melakukan konfirmasi dengan seorang teman yang sudah membaca Surat Keputusan pemecatan yang bersangkutan, diperoleh jawaban yang cukup mengagetkan. Ternyata, penyebabnya bukan karena pembelaan terhadap pluralisme, tapi karena masalah yang -menurut teman saya itu-tidak etis diungkapkan di ruang publik. Itu yang pertama.
Kedua, soal Dawam Rahardjo. Secara pribadi saya menghormati perjuangan Dawam Rahardjo. Namun ketika dikaitkan dengan Muhammadiyah, ada hal perlu dikonfirmasi ulang. Misalnya saya pernah mengritik tulisan seorang sahabat, A. Luthfi Assyaukanie yang mempersoalkan Muhammadiyah karena dianggap telah memecat Dawam Rahardjo. Saya katakan, Dawam Rahardjo tidak dipecat, tapi tidak dipilih oleh peserta dalam Muktamar Muhammadiyah, tahun 2005 lalu.
Apakah Dawam Rahardjo tidak dipilih karena pembelaannya terhadap pluralisme? Jawabannya belum tentu. Setahu saya, pada saat Muktamar Muhammadiyah di Malang, ada isu yang sangat kuat mengenai dugaan korupsi miliaran rupiah di tubuh Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) yang membuat badan usaha milik Muhammadiyah (BUMM) ini kolaps. Tentu, tuduhan itu tidak tertuju pada Dawam Rahardjo. Tapi, beliau ikut terkena imbas karena dianggap berperan membawa koruptor ke jajaran elite Muhammadiyah. Jadi, menurut saya, tidak terpilihnya Dawam Rahardjo bukan karena sebab yang tunggal.
Kalau mau jujur, para pembela pluralisme yang tidak terpilih sebagai pimpinan dalam Muktamar Malang tidak hanya Dawam Rahardjo, ada juga Amin Abdullah dan Abdul Munir Mulkhan. Toh mereka tetap diakui sebagai tokoh Muhammadiyah. Dan, baik Amin Abdullah maupun Abdul Munir Mulkhan tidak merasa tidak dipilih semata karena dianggap membela pluralisme.
Ketiga, soal keberadaan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Setahu saya JIMM tidak pernah memberontak terhadap pemikiran mapan yang terkristalisasi dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Apalagi menggap HPT sebagai kitab suci baru yang antikritik. Para aktivis JIMM tahu yang demikian itu salah alamat. Bagi warga Muhammadiyah, HPT hanya salah satu rujukan dalam menjalankan ibadah dan mu’amalah. Jadi, buat apa diberontak, wong tidak dijalankan juga tidak apa-apa.
Sekadar untuk diketahui, JIMM lahir dari Maarif Institute for Culture and Humanity, sebuah lembaga kajian yang sengaja didedikasikan untuk mengapresisai pemikiran dan kiprah Ahmad Syafii Maarif. Saya agak tahu soal ini karena ikut membidani JIMM. Tujuan JIMM antara lain untuk memayungi para aktivis muda Muhammadiyah yang berpikiran kritis dan progresif. JIMM tidak pernah memusuhi Muhammadiyah, begitu pun sebaliknya. Yang tidak merespon secara positif gagasan-gagasan JIMM bukan Muhammadiyah, tapi anasir-anasir yang disebut Haedar Nashir sebagai “Islam Syariat” yang belakangan ini banyak melakukan infiltrasi terhadap gerakan dan ideologi Muhammadiyah.
Memang diakui, sebagai organisasi yang sangat terbuka, Muhammadiyah tidak bisa menutup diri terhadap kemungkinan menyusupnya berbagai macam ideologi gerakan Islam, termasuk “Islam Syariat”. Keterbukaan ini kerap disebut Katua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, sebagai bukti kesejatian pluralisme Muhammadiyah.
Pluralisme tanpa pluralis?
Dari uraian di atas bukan berarti saya menafikan kemungkinan adanya aspek-aspek yang tidak sejalan dengan nafas pluralisme dalam Muhammadiyah (juga NU). Apalagi, baik Muhammadiyah maupun NU merupakan organisasi Islam yang sangat terbuka.
Tetapi itu bukan tantangan terberat bagi prospek pluralisme. Tantangan yang paling serius bagi pluralisme, menurut saya, mirip dengan tantangan demokrasi. Kalau kita cermati, banyak sekali rezim demokrasi (termasuk Amerika Serikat yang dianggap sebagai kampiun demokrasi), namun pada saat yang sama muncul adagium “democracy without democrats”. Penyebabnya karena terdapat semacam “contradictio in-terminis”. Dalam rezim demokrasi terdapat banyak kebijakan politik yang antidemokrasi.
Harus diakui, banyak kalangan (baik secara institusional maupun individual) yang mengklaim diri sebagai pejuang pluralisme namun pada saat yang sama tidak mentoleransi kalangan lain (baik secara institusional maupun individual) yang dianggap tidak sejalan dengan dirinya. Itu artinya, memperjuangkan pluralisme seraya mengabaikan prinsip pluralisme yang meniscayakan keanekaragaman.
Memang benar bahwa dalam perjuangan menegakkan pluralisme berarti juga melawan kelompok yang menolak pluralisme. Namun, menurut saya, jika kita berpegang pada pluralisme yang sejati, seyogianya tak ada satu pun kelompok yang harus kita tolak. Karena pluralisme pada dasarnya tidak mengenal “hitam-putih”. Adanya kelompok antipluralisme justeru akan memperkuat pluralisme itu sendiri.
Lantas bagaimana sikap kita terhadap mereka yang antipluralisme? Ada baiknya kita mempertimbangkan mekanisme demokrasi. Apakah mereka harus dibubarkan atau dibiarkan hidup, biarkanlah demokrasi yang memvonisnya. (Media Indonesia, 29/6/2007)
Juli 2nd, 2007
Categories: Artikel, Uncategorized . Author: Rohim Ghazali
Monday, October 11, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment