Harian Pelita, 24 Oktober 2010
Judul : Muhammadiyah dan Pluralitas Agama di Indonesia
Penulis : Syarif Hidayatullah, M.Ag., MA.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Edisi : Cetakan I, 2010
Tebal : xxiv + 237 halaman
Dengan memahami konsep yang ditawarkan oleh Knitter berupa replacement sebagai proses becoming, barangkali kita tak akan sesegera mungkin menjatuhkan klaim kepada apa pun secara telak. Karena dalam perjalanan “menjadi” itu, segala sesuatu akan menempuh kediriannya sendiri dalam menentukan corak dan langgam yang bakal dipegang. Begitu pun dalam memahami perjalanan panjang organisasi besar seperti Muhammadiyah, kita tak cukup menilainya dari kacamata yang terpotong. Melainkan dengan meneruskannya sesuai dialektika ruang dan waktu yang melingkupi.
Dalam rekam jejak organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini tercatat bagaimana titik pijak Muhammadiyah dalam merespon tantangan peradaban. Bagi Syarif Hidayatullah, modernisme yang didapatkan Muhammadiyah saat ini tak bisa lepas dari pesan Muktamar yang digelar di Banda Aceh pada 1995. Hajat akbar saat itu menandai progresivitas Muhammadiyah dalam merespon tiga isu utama kala itu yang terumuskan dalam singkatan “TBC”; Tahayul, Bid’ah dan Churafat.
Buku ini cukup sabar merawat data menjadi neraca pertimbangan dalam menilai organisasi ini. Berawal dari sikap Muhammadiyah dalam menindaklanjuti gerakan anti misi Kristen di Indonesia, mengawal pemikiran Muhammadiyah, dan yang terakhir respon dan peran Muhammadiyah dalam mengawal isu pluralisme di Indonesia. Itu semua dilakukan dengan cukup teliti dan terjabar dalam pelbagai narasi.
Ketidaktergesaan itu terbaca tatkala penulisnya melakukan pendialogan atas pelbagai opini yang berkembang di masyarakat. Syarif mencoba membenturkan bermacam argumen dan menelurkan perspektif. Simpulan Syarif tertuju pada pernyataan bahwa dakwah yang dilakukan Muhammadiyah akan mampu memberikan apresiasi potensi dan beragam kecenderungan sebagai makhluk berbudaya dan memaksimalkan kebudayaan agar bisa menunjang kemajuan dan pencerahan manusia, dengan penekanan pada penolakan terhadap hal-hal berbau syirik, bid’ah, takhayul, dan khurafat (hal. 119).
Kesadaran terhadap dinamisasi peradaban menuntut Muhammadiyah melakukan perombakan dalam hal memerankan lakon untuk merawat bangsa. Keutuhan negara-bangsa, dengan demikian, merupakan kunci utama dalam memainkan peran tersebut. Pancasila sebagai rumusan utama, disebut penulis buku ini sebagai acuan bagi Muhammadiyah masa lalu dalam menimbang kebijakan. Dialektika dalam tubuh Muhammadiyah bisa dibaca dari pelbagai penerimaan terhadap sesuatu yang baru.
Permasalahan pelik yang menyejarahi perjalanan bangsa ini bukan lain adalah ihwal pluralitas. Pluralitas jadi isu terseksi untuk menimbun kerja sama dan membangun loyalitas. Dalam rumusan pluralisme, manusia Indonesia menyejajarkan diri pada konsep kesetaraan. Dan itu direspon dengan sangat bagus oleh Muhammadiyah. Pemaduan berbagai macam teori dan anutan tradisi menjadi pertimbangan signifikan dalam melakukan proses dialektisasi antarperadaban, golongan, dan agama.
Sikap Muhammadiyah dalam memandang urgensitas Pancasila bisa dikatakan sebagai ujung tombak dalam penghargaan terhadap isu pluralisme. Seorang Jepang Mitsuo Nakamura menilai kontribusi Muhammadiyah bagi Indonesia adalah kesigapannya menciptakan kesatuan bangsa dan kesatuan politik (hal.140). Kontribusi yang tak boleh dilupakan, barangkali, adalah penerbitan buku Tafsir Tematik al-Qur'an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama. Ini menandai episode penting inklusivitas terhadap wacana pluralisme, yang bersandarkan pada Kitab Suci.
Rumusan awal itu membawa pada epistemologi baru tentang teologi. Teologi toleransi, itulah wajah baru yang ditawarkan (hal. 150). Di sini wajah Islam tidak galak seperti yang dilakukan oleh minoritas organisasi keagamaan di Indonesia. Dengan teologi toleransi diharapkan akan muncul “Islam Pluralis”. Dari sana, akan muncul sinergi di antara kekuatan umat beragama dalam merespon masalah.
Hadirnya buku ini di tengah sidang pembaca kian menegaskan bahwa pluralisme, sebagai sebuah wacana, akan terus berdengung dan mendendangkan diri di mana dan ke mana pun kaki dipijakkan. Bukan hanya pada takaran yang sangat minimalis, sebaliknya ia menerpa isu gagasan pengarusutamaan bangsa. Kesadaran akan adanya pluralitas di negeri ini, bagaimana pun, akan memberi penyadaran kultural yang tak boleh terlewatkan. Meski pada kenyataannya, sesuai catatan Syarif, paham pluralisme agama dilahirkan pada awal Abad ke-20 oleh Ernst Troeltch, seorang teolog Kristen Jerman. Tapi, apa yang salah dengan pluralisme?
(Ahmad Khotim Muzakka, Peneliti pada IDEA STUDIES Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang)
Thursday, October 14, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment