Saturday, October 9, 2010

Menyegarkan (Nalar) Muhammadiyah

Surya, 8 Oktober 2010

Sufyanto
Kandidat Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya

Satu abad usia Muhammadiyah, Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur memaknainya lewat Musyawarah Wilayah (Muswil) yang akan berlangsung pada 9 hingga 10 Oktober 2010 di Universitas Muhammadiyah Jember.

Muswil merupakan tonggak sejarah penting bagi Muhammadiyah Jawa Timur (Jatim) ke depan, yang diharapkan menjadi salah satu pilar strategis merumuskan pembebasan bangsa dari belenggu nalar kekerasan, kemiskinan, koruptif, dan kompleksitas perkara sosial yang menyebabkan ketidakpastian hidup. Karena itu, pilihan yang harus diwujudkan pada Muswil kali ini adalah menyegarkan kembali nalar Muhammadiyah.

Nalar Muhammadiyah ialah teologi al-Maa’uun yang berpihak pada anak yatim dan orang miskin. Seperti fakta sosial apa adanya, maupun realitas sosial menjadi yatim maupun miskin akibat beroperasinya penindasan kekuasaan. Niscaya konteks keberpihakan di era KH Ahmad Dahlan dengan era sekarang tentu berbeda. Maka, penulis menyebutnya sebagai penyegaran nalar pencerahan yang disandingkan dengan realitas sosial kekinian.

Moeslim Abdurrahman (2003), menegaskan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid kalau ternyata menjadi jumud, karena Muhammadiyah tak lagi mampu menjadi kesadaran Islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai bahwa dakwah tak identik dengan propaganda iman. Dakwah sesungguhnya adalah setiap kerja religius untuk peradaban dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah harus mampu merumuskan jawaban-jawaban kontemporer terhadap masalah sosial dan kemanusiaan.

Mengingat Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang memiliki ribuan amal usaha di Jatim, tentu bersinggungan langsung dengan konsep profesionalisme dan akumulasi kapital di arus pasar global. Kenyataan ini tak mungkin dihindari, sehingga mengantarkan lembaga pendidikan, rumah sakit dan amal usaha lain yang dimiliki Muhammadiyah menjadi tak terjangkau masyarakat.

Hal ini mendorong otokritik tajam pada Muhammadiyah, bahwa sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah bukan untuk orang miskin. Karena, yang mampu bersekolah dan berobat, di lembaga pendidikan dan rumah sakit Muhammadiyah hanya mereka yang berduit.

Di sisi lain, banyak orang menjadi kaya secara finansial karena bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Atau menjadi politisi kaya dengan mendulang suara konstituen dari warga Muhammadiyah. Namun, tak sedikit, keberadaan janda dan anak-anak yatim menjadi miskin, karena ditinggal ayah-bundanya yang aktivis Muhammadiyah, yang selama hidupnya sibuk memikirkan keberlangsungan roda persyarekatan, sampai terabaikan kesejahteraannya.

Metodologi Pencerahan

Kenyataan bahwa bersekolah dan berobat di Muhammadiyah mahal, tentu akan terjadi pengingkaran pada teologi gerakan yang diamanatkan KH Ahmad Dahlan. Lalu di mana keberpihakan Muhammadiyah terhadap janda-janda miskin dan anak-anak yatim? Terlebih lagi dari kalangan aktivis Muhammadiyah sendiri. Bila ini dibiarkan, implikasi lain tentu Muhammadiyah akan kehilangan generasi karena putusnya kaderisasi dari dalam.

Potret bopeng persyarekatan ini tentu bertolak belakang dengan tujuan KH Ahmad Dahlan saat mendirikan Muhammadiyah, yang berporos pada teologi al-Maa’uun. Sebuah gerakan yang berpihak pada anak yatim dan orang miskin, yang selalu tertindas oleh zaman arus besar sistem sosial. Teologi al-Maa’uun tak berpihak pada kapital dan pasar yang mendewakan akumulasi modal yang menempatkan laba menjadi pertimbangan utama.

Muswil seharusnya menjadi penegas mengukuhkan metodologi pencerahan. Meski warga Muhammadiyah dapat dikelompokkan dalam masyarakat rasional dan perkotaan. Perlu ditilik spirit sejarah pendirian Muhammadiyah di Kampung Kauman, Jogjakarta (1912). Yaitu, firman Allah, yang berbunyi “Tahukah kamu yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Maa’uun/107: 1-3). Secara tersirat sesungguhnya spirit ini sebagai sarana pembebasan atas ketertindasan anak yatim, orang miskin, dan seluruh kaum mustadlafiin.

Mengartikulasi menyegarkan nalar Muhammadiyah, tentu butuh perangkat, sebab zaman terus bergerak dan tantangan terus menghadang laju roda persyarekatan. Sebagaimana gagasan yang lebih general diajukan oleh Mohamed Arkoun (1994) dalam Rethinking Islam. Konsep Rethingking Islam (Prancis: Pencer l’Islam; Arab; Kaifa na’qil al-Islam) yakni mendorong penggunaan nalar secara bebas menuju elaborasi pandangan baru dan koheren, dengan memasukkan situasi-situasi baru yang dihadapi masyarakat dan unsur-unsur hidup tradisi umat Islam. Bahwa Islam memiliki makna historis, tapi pada saat yang sama pemahaman kita tentang fenomena ini, kurang memadai.

Begitu halnya dengan Muhammadiyah juga memiliki makna historisnya sendiri, termasuk di Muhammadiyah Jatim yang lahir untuk menembus benteng tradisi yang beraneka ragam, seperti tradisi abangan, priyayi, dan santri. Karena inilah Muhammadiyah Jatim melahirkan karya ribuan amal usaha sebagai amal saleh usaha pembebasan manusia.

Tak ada yang salah bila amal usaha Muhammadiyah dengan arus pasar global kemudian juga menyebabkan ongkos yang mahal. Persoalannya karena Muhammadiyah sejak awal didirikan berkomitmen pada kerja sosial, maka harus ada prioritas komitmen dan tetap harus berpihak pada anak yatim dan orang miskin dari seluruh perspektifnya. Selamat bermuswil….n

No comments:

Post a Comment