Wednesday, October 20, 2010

Kala MUI Mengharamkan Pluralisme

Koran Tempo, Senin, 01 Agustus 2005 | 10:52 WIB

TEMPO Interaktif, : Dalam Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia yang berakhir pada Jumat (29/7), MUI telah mengeluarkan 11 fatwa. Dijelaskan juga bahwa belum pernah Munas MUI mengeluarkan fatwa sebanyak itu sebelumnya.

Di antara fatwa-fatwa itu, yang boleh dikatakan mencerminkan pandangan elite keagamaan Islam Indonesia, Munas MUI kurang-lebih telah mengharamkan umat Islam untuk mengikuti tiga paham kontemporer, yaitu sekularisme, liberalisme, dan pluralisme.

Fatwa ini bisa diartikan sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berkeyakinan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Kita bisa berpendapat yang isinya menolak suatu paham. Namun, jika kita melarang masyarakat menganut suatu paham, itu namanya mengingkari kemerdekaan berpikir dan berpendapat.

Latar belakang pengharaman itu agaknya adalah timbulnya aliran Islam Liberal yang dikembangkan oleh generasi muda, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah, dengan tokohnya yang paling vokal Ulil Abshar-Abdalla.

Unsur-unsur liberal dalam kedua organisasi itu memang dianggap membahayakan akidah dan syariat, tapi didukung pula oleh beberapa tokoh senior dari dalam organisasi itu sendiri, bahkan menduduki posisi pemimpin.

Aliran ini, berkat kepemimpinan yang dinamis dari tokoh-tokohnya, makin menarik perhatian masyarakat, bahkan dinilai telah mempengaruhi cara berpikir dalam organisasi formal. Gejala inilah yang menimbulkan kegelisahan kalangan MUI yang secara informal bertindak sebagai "polisi akidah" atau "menjaga kemurnian akidah" menurut imbauan Presiden Yudhoyono ketika membuka musyawarah nasional itu. Padahal wacana yang mereka lontarkan selalu bersifat pencerahan.

Fatwa MUI kali ini telah menimbulkan tanda tanya: bagaimana penjelasannya hingga timbul gejala itu? Mengapa gejala itu baru muncul sekarang yang, antara lain, ditandai oleh gerakan penyerbuan terhadap Kampus Mubarak, kantor pusat Jemaah Ahmadiyah?

Mau tidak mau gejala itu dikaitkan dengan merebaknya terorisme yang bersumber dari kalangan umat Islam. Apakah ini merupakan gejala radikalisasi gerakan Islam yang dilatarbelakangi upaya-upaya untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta baru-baru ini (2002)?

Pertanyaan-pertanyaan itu pada gilirannya menimbulkan keresahan di kalangan kelompok Islam moderat, yang umumnya berpandangan liberal dan progresif.

Menurut Bassam Tibi, seorang intelektual muslim Jerman kelahiran Suriah, umat Islam dewasa ini telah kejangkitan sikap mental defensif karena "serbuan" modernisasi dan pembaratan (westernisasi), yang merupakan buah peradaban dominan dewasa ini dan menyebar lewat arus deras globalisasi. Budaya defensif itu terutama ditandai oleh sikap curiga dan menolak pengaruh asing, khususnya lewat simbol pembaratan, yang sebenarnya merupakan cerminan dari rasa rendah diri.

Lebih dari itu, pembaratan dicurigai dilatarbelakangi peradaban Yudeo-Kristiani, khususnya yang dimanifestasikan dalam gerakan kristenisasi. Dengan latar belakang itu, lahir wacana-wacana sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Sebenarnya tema-tema itu dulu diusung juga oleh gerakan modernisasi, hingga gerakan modernisasi yang dicanangkan oleh Nurcholish Madjid ditolak oleh kebanyakan organisasi dan tokoh Islam.

Dalam kenyataan, wacana sekularisme, liberalisme, dan pluralisme memang diusung oleh Jaringan Islam Liberal yang sebenarnya lebih dulu dipelopori oleh Paramadina.

Di kalangan NU, timbul wacana tentang Pascatradisionalisme, Islam Emansipatoris, dan Islam Progresif yang diwadahi, antara lain, dalam organisasi Perhimpunan untuk Pengembangan Pondok Pesantren dan Masyarakat (P3M), yang dulu dibentuk oleh LP3ES dan Lembaga Studi Islam dan Sosial (LKIS).

Di kalangan Muhammadiyah, timbul gerakan kalangan muda yang diwadahi dalam Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Dalam fatwa MUI, liberalisme atau jelasnya aliran "Islam Liberal" dimaksudkan sebagai "pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandasi agama".

Yang menjadi masalah: apakah penggunaan pikiran manusia dalam pemikiran Islam itu bisa dicegah? Jika dicegah melalui hukum, hal itu sama dengan pemberangusan kebebasan berpikir. Selain itu, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang intinya mengantisipasi dijumpainya persoalan-persoalan yang tidak ada petunjuknya, baik dalam Al-Quran maupun sunah. Dalam kasus yang demikian, Nabi SAW mengizinkan penggunaan akal bebas, yang disebut ijtihad.

Misalnya masalah pemilihan kepala negara dan suksesi kepemimpinan. Jika pemikiran yang menggunakan akal bebas itu tidak diakui, sementara penggunaan akal bebas tidak bisa dicegah, bahkan merupakan keharusan dalam hal tidak ada landasan Al-Quran dan sunah, karena masalah itu merupakan persoalan dunia dan bukan agama, justru akan timbul sekularisme, yang memisahkan masalah agama dan dunia atau agama dan negara.

Fatwa yang cukup merisaukan adalah dilarangnya doa bersama, khususnya doa yang dipimpin oleh orang nonmuslim. Gejala itu sebenarnya sudah sangat lumrah: seorang pastor atau pendeta mengucapkan doa, padahal doa bersama yang diucapkan dalam bahasa Indonesia atau Jawa itu isinya sama saja dengan doa orang Islam, misalnya meminta keselamatan atau memohon agar para pemimpin bisa menghentikan pertengkaran di antara mereka.

Dengan perkataan lain, doa bersama itu bersifat universal, bisa diucapkan dan diamini oleh semua orang dari berbagai agama. Mengapa doa bersama itu, yang maksudnya jelas baik dan merupakan kebiasaan yang baik pula, yaitu memohon kepada Tuhan, Tuhan seluruh umat manusia, diharamkan oleh MUI? Bukankah ini adalah pemberangusan terhadap kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing?

Fatwa MUI juga menolak asas pluralisme beragama, tapi bisa menerima pluralitas karena merupakan realitas. MUI agaknya membedakan pluralitas dan pluralisme, yang memang berbeda. Yang satu pemikiran dan yang lain adalah realitas yang tak bisa ditolak. Namun, keduanya berkaitan satu sama lain.

Asas pluralisme dianut karena berdasarkan realitas, yaitu realitas masyarakat yang majemuk. Dalam masyarakat yang majemuk itu, otoritas, yaitu negara atau MUI, tidak berhak menyatakan bahwa agama yang satu benar dan agama yang lain salah atau "sesat dan menyesatkan" seperti yang dituduhkan kepada Ahmadiyah.

Artinya, semua agama harus dianggap benar, yaitu benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing. Sebab, prinsip ini merupakan landasan bagi keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antarumat beragama. Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi.

Demikian juga, tanpa pluralisme, di mana keyakinan masyarakat didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan para ulama MUI, kebebasan beragama akan terberangus dari bumi Indonesia.

Padahal yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam istilah "bhinneka tunggal ika". Pluralisme, lewat Pancasila, adalah infrastruktur budaya dari persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial yang berdasarkan ketuhanan yang mahaesa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

M. Dawam Rahardjo
Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dan mantan Rektor Universitas Islam 45 Bekasi

No comments:

Post a Comment