Endy M. Bayuni
Maarif, vol. 5, No. 1 – Juni 2010. Pp. 54-60
The most radical revolutionary will become a conservative the day after the revolution. (Revolusioner yang paling radikal akan menjadi konservatif sehari setelah revolusi selesai)
---Hannah Arendt---
Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah berhasil mengantar kaum Muslim Indonesia menjalankan perubahan yang dahsyat, dari masyarakat yang tradisional menjadi yang lebih modern, agraris menjadi industrial, pedesaan menjadi perkotaan, feodalistik menjadi lebih egaliter… apakah ppredikat “pembaruan” masih relevan bagi Muhammadiyah, mengingat transformasi kea rah masyarakat modern sudah berjalan cukup jauh, atau malah oleh beberapa kalangan dianggap sudah selesai.
Menggunakan kacamata sekarang, kita melihat semacam paradox yang dihadapi Muhammadiyah saat itu. Bagaimana sebuah gerakan yang mengemban misi pembaruan dan modernisasi masyarakat dapat melakukannya dengan kemasan niali dan ajaran agama yang lahir 13 abad sebelumnya. Paradoks ini mungkin tidak terlalu dirasakan di awal abad ke-20 ketika masyarakat masih hidup dengan nilai-nilai yang sangat tradisional…
Paradoks yang dihadapi Muhammadiyah lebih terasa di kemudian hari… Pada saat ancaman sekularisme semakin menjadi besar, organisasi masyarakat yang berdasarkan agama seperti Muhammadyah yang awalnya mengemban nilai progresif pun berubah menjadi kelompok konservatif, yang berusaha mempertahankan nilai-nilai, perilaku dan pandangan hidup masyarakat dari arus sekularisme yang sangat kuat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment