In Maarif, Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan: Sebuah refleksi sejarah. Bandung: Mizan. Pp. 229-231.
Muhammadiyah punya hak dan kewajiban untuk merumuskan filsafat pendidikan Islam berdasarkan pemahaman yang cerdas dan kreatif terhadap AL-Qur’an. Secara umum dapat saya kemukakan bahwa filsafat pendidikan yang dimaksud haruslah mampu mengawinkan antara tuntutan otak dan tuntutan hati. Tidak seperti yang berkembang dalam dunia modern sekarang. Barat terlalu sibuk dengan urusan otak dan teknik, sementara dunia Timur sebagian masih saja tenggelam dalam spiritualisme dan ilmu tenung. Dalam isyarat Al-Qur’an, system pendidikan yang mampu menyatukan kekuatan fikr dan dzikr yang ujungnya akan melahirkan kelompok ulu al-albab, sosok manusia yang otak dan jantungnya hidup secara dinamis-kreatif dalam memahami dan merasakan kehadiran Sumber segala yang ada dalam pengembangan dan pengembaraan intelektual dan spiritualnya (p. 229).
… Dunia modern yang bertumpu pada doktrin cogito ergo sum (saya tahu, oleh sebab itu saya ada) yang terlalu mengandalkan capaian otak, telah lama sepi dari kultur kearifan. Menurut Al-Qur’an, kelompok ulu al-albab adalah mereka yang sarat dengan muatan kebajikan dan kearifan itu…
Sejalan dan senapas dengan apa yang terurai di atas, dimensi penting lainnya yang harus menjadi muatan filsafat pendidikan Muhammadiyah ialah perlunya mempertegas hubungan segitiga antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sesama…
No comments:
Post a Comment