M. Dawam Rahardjo
dalam Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaruan. Penyunting: Taufik Hidayat & Iqbal Hasanuddin. Jakarta: Paramadina & LSAF, 2010. pp. 2-16
Menurut bacaan yang saya peroleh, berdirinya Muhammadiyah itu dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran pembaruan. Yang pertama adalah pemikiran dari Muhammad Abdul Wahab—yang kemudian berkembang menjadi aliran Wahabisme—yang berorientasi kepada pemurnian ajaran-ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh budaya lokal, yang melahirkan TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat).
Kedua, Muhammadiyah, seperti dikatakan oleh Hamka, diilhami oleh pemikiran pembaruan Islam yang dilancarkan oleh Muhammad Abduh, yang lebih menekankan modernisasi pemikiran dan pendidikan, terutama pada penerimaan terhadap ilmu pengetahuan Barat yang kemudian dikembangkan melalui jalur pendidikan. Sejak itu Muhammadiyah berkembang menjadi lembaga pendidikan yang sangat luas. Ketiga, menurut catatan saya, sebetulnya Muhammadiyah itu berkembang bertolak dari pandangan teologis dari KH. Ahmad Dahlan sendiri, yaitu penafsiran dari surat Al-Ma’un yang mengandung masalah tanggung jawab sosial. Pandangan KH. Ahmad Dahlan mengenai tauhid, adalah Tauhid Sosial, meminjam Amin Rais, bermula dari seringnya beliau melakukan suatu pengajian tafsir yang membahas tidak lebih dari 17 ayat saja yang kesemuanya dipandang sentral berkaitan dengan tauhid.
Pembaruan teologi tauhid inilah inilah, yang menurut hemat saya berbeda dengan tauhid Wahabisme yang bersiofat fundamantalis-puritan. Dengan tauhios social, maka ajaran tauhid bisa menjadi suatu landasan moral, sebagaimana kedudukam Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila yang tgidak secara apriori menolak ajaran agama lain yang tidak bertentangan dengan hakekat tauhid yang mutni. Pambaharuan yang bertolak dari gagasan K.H. Ahmad Dahlan inilah menurut hemat saya harus menjadi jati diri gerakan Muhammadiyah, karena akan berjalan seiring dengan faham kebangsaan dan tradisi budaya local yang disikapi secara akrab oleh Nahdhatul Ulama (pp. 2-3).
NU dengan latar belakang pemikiran tradisional dan ortodoks yang berorientasi pada fiqh dan tasawuf, namun dalam kenyataannya sekarang telah menjadi kekuatan pendobrak dalam pembaruan di lingkungan Islam. Sementara Muhammadiyah sekarang ini berada di persimpangan jalan antara menjadi lembaga pembaru yang liberal atau lembaga yang konservatif, puritan dan fundamentalis (p. 13).
Perkembangan yang terjadi di Muhammadiyah ini menarik karena hal ini memang sudah pernah disinyalir oleh Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa Muhammadiyah telah berhenti menjadi organisasi pembaharu, sedangkan rekannya yaitu NU justru telah mengalami pembaharuan, walaupun pada waktu tulisan itu dibuat atau diterbitkan, gerakan pembaharuan itu belum kentara, tetapi sekarang ini sudah makin kentara. Saya melihat bahwa NU berbeda jurusan dengan Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah sekarang meluncur ke arah konservatisme dan fundamentalisme, maka di NU, justru mengalami liberalisasi pemikiran dan lebih mencerminkan satu pemikiran Islam yang modern dan moderat serta bersatu dengan gerakan kebangsaan di Indonesia.
Muhammadiyah mengalami kemunduran lantaran sikap konservatisme dan fundamentalismenya. Hari depan Muhammadiyah dengan demikian adalah hari depan yang suram karena tidak lagi mewakili pemikiran yang moderat dan modern di Indonesia. Padahal semestinya, Muhammadiyah harus digantikan oleh anak-anak muda progresif, berpandangan liberal dan pluralis.
Muhammadiyah dewasa ini setengahnya masih hidup dalam paradigma jahiliyah tetapi jahiliyah modern—meminjam istilah Sayyid Qutub dengan makna yang lain. Amat sangat disayangkan, Muhammadiyah tidak punya nyali untuk melakukan pembaharuan sosial ini, karena disandera oleh anggota-anggotanya dan kader-kadernya sendiri yang telah menjadi komunitas konservatif tradisional (pp. 15-16).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment