Catatan dari Kolokium Nasional Pemikiran Islam
Pluralisme Bukan Sekadar Toleransi
Didit Majalolo -
Din Syamsuddin
Para peserta sedang menyimak pendapat para pembicara dalam Kolokium Nasional Pemikiran Islam.
Diskusi yang semula dirancang bertajuk muktamar, namun kemudian diubah menjadi Kolokium Nasional Pemikiran Islam yang digelar Pusat Studi Ilmu Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang (PSIF-UMM) bekerja sama dengan Al Maun Institute Jakarta, menurut Rektor UMM, Muhadjir Effendy, mengundang banyak kontroversi dari kalangan elite Muhammadiyah, di tingkat cabang, wilayah dan bahkan pengurus pusat.
Namun yang membuat hati Muhadjir ketar-ketir, gelisah dan bahkan membuatnya sulit tidur, adalah masuknya satu pesan atau short message service (SMS) dari tokoh elite Muhammadiyah ke ponsel 'Presiden' Pengurus Pusat Muhammadiyah (PPM) yang kemudian di forward ke ponsel miliknya. Dalam SMS itu berisi kecaman keras atas dukungan Rektor UMM terhadap penyelenggaraan kolokium di kampus yang pernah menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar ke-45 Muhammadiyah, beberapa tahun silam.
Terus terang, kata Muhadjir, begitu Ketua Umum PPM Din Syamsuddin, berkenan hadir membuka kolokium, Senin, 11 Februari 2008 lalu, yang dihadiri pula Direktur Al Maun Instritute Jakarta, Moeslim Abdurrahman dan Kepala PSIF UMM Syamsul Arifin itu, membuat hatinya plong. Ia menyadari, bahwa belum semua elite Muhammadiyah bersedia mendengar (apalagi menerima) atas munculnya keanekaragaman pemikiran kaum muda (Muhammadiyah) sesuai tantangan zaman di era global. Kaum muda yang gandrung dengan kekinian, yang kemudian lebih dikenal dengan kaum progresif, buru-buru oleh kaum elite Muhammadiyah yang lebih tua (dilabelisasi sebagai kaum konservatif), dicap sebagai kelompok radikal dan atau liberal.
"Terus terang, dengan kesediaan ketua umum PPM membuka dan memberikan kata sambutan pada kolokium yang diikuti sekitar 250 intelektual muda Muhammadiyah se-Indonesia, paling tidak ini dapat diisyaratkan sebagai legalitas (penyelenggaraan dialog oleh kaum progresif) dari pucuk pimpinan kelembagaan PPM," kata Muhadjir sambil menyebutkan adanya tiga kasta atau ordo dalam perserikatan (Muhammadiyah), yakni; ordo agamawan, ordo cendekiawan dan ordo pelayan. Yang kemudian oleh Din Syamsuddin ditambah dengan ordo keempat, yakni ordo penggembira.
Bukan Din Syamsuddin jika harus menunda tanggapan atas anggapan rektor UMM. "Saya kira, saya datang ke sini (acara kolokium) bukan untuk memberi legalitas, apalagi yang bersifat organisatoris. Kalaupun kehadiran saya secara fisik ini dianggap sebagai legalitas, mungkin legalitas etis semata karena pertemuan semacam ini merupakan bagian dari etika itu sendiri," ujar Din Syamsuddin. Namun Din kemudian buru-buru menyatakan sangat mendukung dan menyukai kegiatan tersebut karena ia secara pribadi pernah menggagas dan menyampaikan kepada kawan-kawan lain agar segera dilakukan dialog pemikiran dari kalangan pemikir Muhammadiyah di berbagai mazhab pemikiran, school of thought, baik atas pengaruh almamater mau pun pengaruh tempat tinggal, daerah, lokalitas, termasuk dua mazhab besar (kaum liberal dan kaum konservatif) yang muncul pascamuktamar ke 45 Muhammadiyah di UMM beberapa tahun silam.
Semua ini, kata Din Syamsuddin, dapat dilihat secara santai sebagai sebuah proses terapi yang kalau "diseriusi" kemungkinan bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan. Kalau interaksi di antara keduanya (progresif dan konservatif) lebih mengedepankan dialektika pemikiran (diposisikan berhadap-hadapan) daripada dialog pemikiran (mencari titik-titik yang dianggap sama), maka yang terjadi justru benturan-benturan yang tidak akan pernah selesai, apalagi saling mendekat.
Dialog pemikiran yang sejuk guna menemukan wujud yang inovatif dan kreatif, menurut Din diperlukan dengan menjunjung tinggi budaya toleransi yang penuh kearifan. Masih rendahnya budaya toleransi atau kearifan (dalam kemajemukan umat itu sendiri), pada akhirnya tidak hanya melahirkan perbedaan-perbedaan semata, namun juga tidak menutup kemungkinan akan melahirkan dikotomi-dikotomi baru yang tidak perlu dan menguras banyak energi. "Saya kira disini penting untuk bersikap proporsional antara puritanisme dan modernisme," ujar Din.
Keagamaan yang Eksklusif
Sama dengan Muhadjir Effendy (dan mungkin pula sama dengan Direktur Al Maun Institute Jakarta, Moeslim Abdurrahman), maka Biyanto, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya menyebutkan, tema pluralisme merupakan salah satu wacana yang banyak dibicarakan dalam kaitan hubungan sosial internal dan eksternal antarumat beragama. Pluralisme merupakan tantangan utama yang dihadapi agama-agama, kendati sejujurnya setiap agama muncul dari lingkungan kagamaan dan kultural yang plural, tetapi dalam rentang sejarah perkembangannya memunculkan sikap dan wawasan keagamaan yang eksklusif, bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme itu sendiri.
Sebagaimana laporan dari pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum lama ini, selama rentang 2004-2007 terdapat 108 kasus penutupan, penyerangan, dan penyegelan gereja, tempat peribadatan kaum Kristinai. Daerah-daerah yang mengalami peristiwa penistaan itu di antaranya yang paling sering terjadi ada di kawasan Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah (Poso), dan Bengkulu.
Berbicara tentang pluralisme, menurut Biyanto yang paling banyak menyedot perhatian kaum (intelektual) muda Muhammadiyah direspon dengan sikap yang beragam, sejalan dengan luasnya wawasan dan pemahaman (faktor sosial) yang ikut membentuk karakter pandangan masing-masing. Sama dengan Din Syamsuddin, maka variasi respon terhadap pluralisme terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok setuju (pluralisme) yang diberi label kelompok progresif atau liberal dan kelompok yang tidak setuju yang dicap sebagai kelompok konservatif. Karena faktor sosial itulah, menurut Biyanto yang kemudian dijadikan perspektif dalam mengamati fenomena pluralis pandangan kaum muda Muhammadiyah.
Sejarah tentang pluralisme, menurut Biyanto dipergunakan para sarjana ekonomi dan politik seperti H J Boeke dan G S Furnivall untuk melihat fenomena kemajemukan masyarakat. Dalam perkembangannya, istilah pluralisme juga dipergunakan untuk memotret masyarakat yang multi agama. Masalah pluralisme menyeruak di benua Eropa dengan munculnya gerakan Protestanisme yang dipelopori Martin Luther yang mendobrak otoritas gereja Katolik Roma.
Sejak itu, Eropa menyadari bahwa agama sebagai kekuatan sosial memiliki kontribusi terhadap konflik sosial, sehingga sejak abad ke 17, Eropa memberikan pengakuan terhadap kemajemukan agama dalam masyarakat. Di Indonesia pun menunjukkan pengalaman fenomena yang relatif sama. Menyitir pendapat Budhy Munawar Rahman yang menggaribawahi, bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban, yang berarti terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan sehingga terwujud keselamatan bagi umat manusia.
Biyanto menyitir lagi pendapat Diana L.Eck, yang menyebutkan, bahwa pluralisme bukanlah diversitas tetapi merupakan perjanjian yang penuh semangat dalam keragaman; pluralisme bukan sekadar toleransi melainkan usaha aktif untuk saling memahami perbedaan lintas batas; pluralisme tidak sama dengan relativisme tetapi merupakan pertemuan dari beberapa komitmen; serta pluralisme didasarkan pada dialog. Khusus dengan karakter dialog itu sendiri (seperti diinginkan Din Syamsuddin), maka dialog adalah bertemu, membahas secara mendalam, memberi dan menerima dengan penuh kearifan, kritis, termasuk kritis terhadap paham dan keyakinan masing-masing.
Studi dari Harold Coward menegaskan, bahwa pluralisme keagamaan dapat ditemukan dalam tradisi agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Islam. Dalam agama Islam, prinsip pluralisme tampak lebih tegas dikarenakan agama ini mengajarkan doktrin mengenai ahli kitab, sekalipun penafsirannya sangat bervariasi. Dalam doktrin Islam ahli kitab mencakup kaum Yahudi dan Nasrani. Meski pluralisme dapat diketemukan dalam semua tradisi keagamaan, namun harus diakui bahwa pluralisme hanya mendapatkan tkanan yang kecil dibanding visi dan paham yang menekankan keunggulan satu agama trhadap agama yang lain.
Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi tidak kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman, harus dapat hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi tertentu mendominasi masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan menganggapnya sebagai fenomena sektarian.
Dialektika Pemikiran
Penolak pluralisme menurut Biyanto seringkali memposisikan wacana itu sebagai bagian dari sekularisme dan liberalisme, sehingga lahir istilah Sipilis, kependekan dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor: 1/Munas VII/MUI/2005 tanggal 29 Juli 2005 sendiri, ketiga paham (Sipilis) itu telah divonis sesat.
Pluralisme agama yang difatwakan sesat oleh MUI itu merupakan paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama yang karenanya kebenaran setiap agama dinilai relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Di sini (pluralisme) juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralisme dalam pengertian inilah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sementara berkaitan dengan fenomena pluralitas agama, MUI menganggap sebagai kenyataan bahwa di negara (atau daerah) tertentu memang terdapat berbagai pemeluk agama yang harus hidup secara berdampingan.
Biyanto sengaja mengemukakan definisi MUI karena menurut pendapat Adian Husaini, pengertian pluralisme yang divonis sesat MUI sering dimanipulasi oleh para penentangnya. Adian mencontohkan pendapat Syafi'i Anwar yang menyatakan pluralisme agama bukan berarti menyamakan semua agama melaikan lebih pada mutual respect dan semangat saling menghormati. Juga Ulil Abshar Abdallah, menyatakan bahwa pluralisme berarti sikap positif dalam menghadapi perbedaan, yakni sikap ingin belajar dari kelompok lain yang berbeda
Pendapat Syafi'i Anwar dan Ulil Abshar Abdallah menurut Adian Husaini sangat berbeda dengan makna akademis dan teologis mengenai pluralisme. Bagi Ardian, pluralisme merupakan paham yang khas dalam teologi dan bertujuan mempersamakan agama. Pluralisme tidak dapat didefinisikan seenaknya. Walau pun secara redaksional memberikan pernyataan yang berbeda, namun substansi pendapat Ulil Abshar Abdallah, Sumanto al Qurtuby, Budhy Munawar Rahman dan Ahmad Wahid, jelas-jelas menyamakan Islam dengan semua agama dan menolak kebenaran ekslusif akidah Islam. Lebih lanjut Adian menegaskan, bahwa pluralisme agama sebagai paham sirik.
Selain Adian, menurut Biyanto, penolakan terhadap gagasan pluralisme juga dikemukakan Syamsul Hidayat, Nuim Hidayat, Masyhud, dan Fakhrurrozi Reno Sutan. Muhammadiyah, disebutkan Syamsul Hidayat tidak menganut pluralisme karena paham ini mengajarkan kemusyrikan. Namun demikian, Muhammadiyah dapat memahami dan menerima pluralitas agama sehingga membuka diri untuk hidup berdampingan dan bekerja sama dengan siapa pun dalam masalah kebangsaan dan kemasyarakatan. [SP/Aries Sudiono]
Namun yang membuat hati Muhadjir ketar-ketir, gelisah dan bahkan membuatnya sulit tidur, adalah masuknya satu pesan atau short message service (SMS) dari tokoh elite Muhammadiyah ke ponsel 'Presiden' Pengurus Pusat Muhammadiyah (PPM) yang kemudian di forward ke ponsel miliknya. Dalam SMS itu berisi kecaman keras atas dukungan Rektor UMM terhadap penyelenggaraan kolokium di kampus yang pernah menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar ke-45 Muhammadiyah, beberapa tahun silam.
Terus terang, kata Muhadjir, begitu Ketua Umum PPM Din Syamsuddin, berkenan hadir membuka kolokium, Senin, 11 Februari 2008 lalu, yang dihadiri pula Direktur Al Maun Instritute Jakarta, Moeslim Abdurrahman dan Kepala PSIF UMM Syamsul Arifin itu, membuat hatinya plong. Ia menyadari, bahwa belum semua elite Muhammadiyah bersedia mendengar (apalagi menerima) atas munculnya keanekaragaman pemikiran kaum muda (Muhammadiyah) sesuai tantangan zaman di era global. Kaum muda yang gandrung dengan kekinian, yang kemudian lebih dikenal dengan kaum progresif, buru-buru oleh kaum elite Muhammadiyah yang lebih tua (dilabelisasi sebagai kaum konservatif), dicap sebagai kelompok radikal dan atau liberal.
"Terus terang, dengan kesediaan ketua umum PPM membuka dan memberikan kata sambutan pada kolokium yang diikuti sekitar 250 intelektual muda Muhammadiyah se-Indonesia, paling tidak ini dapat diisyaratkan sebagai legalitas (penyelenggaraan dialog oleh kaum progresif) dari pucuk pimpinan kelembagaan PPM," kata Muhadjir sambil menyebutkan adanya tiga kasta atau ordo dalam perserikatan (Muhammadiyah), yakni; ordo agamawan, ordo cendekiawan dan ordo pelayan. Yang kemudian oleh Din Syamsuddin ditambah dengan ordo keempat, yakni ordo penggembira.
Bukan Din Syamsuddin jika harus menunda tanggapan atas anggapan rektor UMM. "Saya kira, saya datang ke sini (acara kolokium) bukan untuk memberi legalitas, apalagi yang bersifat organisatoris. Kalaupun kehadiran saya secara fisik ini dianggap sebagai legalitas, mungkin legalitas etis semata karena pertemuan semacam ini merupakan bagian dari etika itu sendiri," ujar Din Syamsuddin. Namun Din kemudian buru-buru menyatakan sangat mendukung dan menyukai kegiatan tersebut karena ia secara pribadi pernah menggagas dan menyampaikan kepada kawan-kawan lain agar segera dilakukan dialog pemikiran dari kalangan pemikir Muhammadiyah di berbagai mazhab pemikiran, school of thought, baik atas pengaruh almamater mau pun pengaruh tempat tinggal, daerah, lokalitas, termasuk dua mazhab besar (kaum liberal dan kaum konservatif) yang muncul pascamuktamar ke 45 Muhammadiyah di UMM beberapa tahun silam.
Semua ini, kata Din Syamsuddin, dapat dilihat secara santai sebagai sebuah proses terapi yang kalau "diseriusi" kemungkinan bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan. Kalau interaksi di antara keduanya (progresif dan konservatif) lebih mengedepankan dialektika pemikiran (diposisikan berhadap-hadapan) daripada dialog pemikiran (mencari titik-titik yang dianggap sama), maka yang terjadi justru benturan-benturan yang tidak akan pernah selesai, apalagi saling mendekat.
Dialog pemikiran yang sejuk guna menemukan wujud yang inovatif dan kreatif, menurut Din diperlukan dengan menjunjung tinggi budaya toleransi yang penuh kearifan. Masih rendahnya budaya toleransi atau kearifan (dalam kemajemukan umat itu sendiri), pada akhirnya tidak hanya melahirkan perbedaan-perbedaan semata, namun juga tidak menutup kemungkinan akan melahirkan dikotomi-dikotomi baru yang tidak perlu dan menguras banyak energi. "Saya kira disini penting untuk bersikap proporsional antara puritanisme dan modernisme," ujar Din.
Keagamaan yang Eksklusif
Sama dengan Muhadjir Effendy (dan mungkin pula sama dengan Direktur Al Maun Institute Jakarta, Moeslim Abdurrahman), maka Biyanto, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya menyebutkan, tema pluralisme merupakan salah satu wacana yang banyak dibicarakan dalam kaitan hubungan sosial internal dan eksternal antarumat beragama. Pluralisme merupakan tantangan utama yang dihadapi agama-agama, kendati sejujurnya setiap agama muncul dari lingkungan kagamaan dan kultural yang plural, tetapi dalam rentang sejarah perkembangannya memunculkan sikap dan wawasan keagamaan yang eksklusif, bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme itu sendiri.
Sebagaimana laporan dari pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum lama ini, selama rentang 2004-2007 terdapat 108 kasus penutupan, penyerangan, dan penyegelan gereja, tempat peribadatan kaum Kristinai. Daerah-daerah yang mengalami peristiwa penistaan itu di antaranya yang paling sering terjadi ada di kawasan Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah (Poso), dan Bengkulu.
Berbicara tentang pluralisme, menurut Biyanto yang paling banyak menyedot perhatian kaum (intelektual) muda Muhammadiyah direspon dengan sikap yang beragam, sejalan dengan luasnya wawasan dan pemahaman (faktor sosial) yang ikut membentuk karakter pandangan masing-masing. Sama dengan Din Syamsuddin, maka variasi respon terhadap pluralisme terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok setuju (pluralisme) yang diberi label kelompok progresif atau liberal dan kelompok yang tidak setuju yang dicap sebagai kelompok konservatif. Karena faktor sosial itulah, menurut Biyanto yang kemudian dijadikan perspektif dalam mengamati fenomena pluralis pandangan kaum muda Muhammadiyah.
Sejarah tentang pluralisme, menurut Biyanto dipergunakan para sarjana ekonomi dan politik seperti H J Boeke dan G S Furnivall untuk melihat fenomena kemajemukan masyarakat. Dalam perkembangannya, istilah pluralisme juga dipergunakan untuk memotret masyarakat yang multi agama. Masalah pluralisme menyeruak di benua Eropa dengan munculnya gerakan Protestanisme yang dipelopori Martin Luther yang mendobrak otoritas gereja Katolik Roma.
Sejak itu, Eropa menyadari bahwa agama sebagai kekuatan sosial memiliki kontribusi terhadap konflik sosial, sehingga sejak abad ke 17, Eropa memberikan pengakuan terhadap kemajemukan agama dalam masyarakat. Di Indonesia pun menunjukkan pengalaman fenomena yang relatif sama. Menyitir pendapat Budhy Munawar Rahman yang menggaribawahi, bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban, yang berarti terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan sehingga terwujud keselamatan bagi umat manusia.
Biyanto menyitir lagi pendapat Diana L.Eck, yang menyebutkan, bahwa pluralisme bukanlah diversitas tetapi merupakan perjanjian yang penuh semangat dalam keragaman; pluralisme bukan sekadar toleransi melainkan usaha aktif untuk saling memahami perbedaan lintas batas; pluralisme tidak sama dengan relativisme tetapi merupakan pertemuan dari beberapa komitmen; serta pluralisme didasarkan pada dialog. Khusus dengan karakter dialog itu sendiri (seperti diinginkan Din Syamsuddin), maka dialog adalah bertemu, membahas secara mendalam, memberi dan menerima dengan penuh kearifan, kritis, termasuk kritis terhadap paham dan keyakinan masing-masing.
Studi dari Harold Coward menegaskan, bahwa pluralisme keagamaan dapat ditemukan dalam tradisi agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Islam. Dalam agama Islam, prinsip pluralisme tampak lebih tegas dikarenakan agama ini mengajarkan doktrin mengenai ahli kitab, sekalipun penafsirannya sangat bervariasi. Dalam doktrin Islam ahli kitab mencakup kaum Yahudi dan Nasrani. Meski pluralisme dapat diketemukan dalam semua tradisi keagamaan, namun harus diakui bahwa pluralisme hanya mendapatkan tkanan yang kecil dibanding visi dan paham yang menekankan keunggulan satu agama trhadap agama yang lain.
Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi tidak kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman, harus dapat hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi tertentu mendominasi masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan menganggapnya sebagai fenomena sektarian.
Dialektika Pemikiran
Penolak pluralisme menurut Biyanto seringkali memposisikan wacana itu sebagai bagian dari sekularisme dan liberalisme, sehingga lahir istilah Sipilis, kependekan dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor: 1/Munas VII/MUI/2005 tanggal 29 Juli 2005 sendiri, ketiga paham (Sipilis) itu telah divonis sesat.
Pluralisme agama yang difatwakan sesat oleh MUI itu merupakan paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama yang karenanya kebenaran setiap agama dinilai relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Di sini (pluralisme) juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralisme dalam pengertian inilah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sementara berkaitan dengan fenomena pluralitas agama, MUI menganggap sebagai kenyataan bahwa di negara (atau daerah) tertentu memang terdapat berbagai pemeluk agama yang harus hidup secara berdampingan.
Biyanto sengaja mengemukakan definisi MUI karena menurut pendapat Adian Husaini, pengertian pluralisme yang divonis sesat MUI sering dimanipulasi oleh para penentangnya. Adian mencontohkan pendapat Syafi'i Anwar yang menyatakan pluralisme agama bukan berarti menyamakan semua agama melaikan lebih pada mutual respect dan semangat saling menghormati. Juga Ulil Abshar Abdallah, menyatakan bahwa pluralisme berarti sikap positif dalam menghadapi perbedaan, yakni sikap ingin belajar dari kelompok lain yang berbeda
Pendapat Syafi'i Anwar dan Ulil Abshar Abdallah menurut Adian Husaini sangat berbeda dengan makna akademis dan teologis mengenai pluralisme. Bagi Ardian, pluralisme merupakan paham yang khas dalam teologi dan bertujuan mempersamakan agama. Pluralisme tidak dapat didefinisikan seenaknya. Walau pun secara redaksional memberikan pernyataan yang berbeda, namun substansi pendapat Ulil Abshar Abdallah, Sumanto al Qurtuby, Budhy Munawar Rahman dan Ahmad Wahid, jelas-jelas menyamakan Islam dengan semua agama dan menolak kebenaran ekslusif akidah Islam. Lebih lanjut Adian menegaskan, bahwa pluralisme agama sebagai paham sirik.
Selain Adian, menurut Biyanto, penolakan terhadap gagasan pluralisme juga dikemukakan Syamsul Hidayat, Nuim Hidayat, Masyhud, dan Fakhrurrozi Reno Sutan. Muhammadiyah, disebutkan Syamsul Hidayat tidak menganut pluralisme karena paham ini mengajarkan kemusyrikan. Namun demikian, Muhammadiyah dapat memahami dan menerima pluralitas agama sehingga membuka diri untuk hidup berdampingan dan bekerja sama dengan siapa pun dalam masalah kebangsaan dan kemasyarakatan. [SP/Aries Sudiono]
No comments:
Post a Comment