Kompas, Jumat, 6 Juli 2001
Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah
(Tanggapan Balik untuk Mutohharun Jinan)
Oleh Zuhairi Misrawi
MEMBACA tanggapan Mutohharun Jinan, Arus Balik Aktivis NU dan Muhammadiyah (Kompas, 29/6/ 2001) atas artikel saya, Sudut Pandang NU Kultural (Kompas, 15/6/2001) memberikan harapan sekaligus tantangan yang akan menjemput gerakan kultural di masa mendatang, baik dalam ranah NU maupun Muhammadiyah. Setidaknya, Mutohharun Jinan (staf pengajar Lembaga Studi Islam, Universitas Muhammadiyah, Surakarta) menyambut positif seruan untuk membangun wacana dalam mendekatkan hubungan NU dan Muhammadiyah, khususnya dalam aras kultural.
Namun, nasib gerakan kultural pun tidak akan berjalan mulus, tidak semudah membalikkan kedua belah tangan. Pemandangan buruk yang mengemuka dalam layar politik nasional, seperti pembakaran sekolah-sekolah Muhammadiyah dan penganiayaan warga Muhammadiyah di beberapa daerah, telah menegaskan tumbuhnya kembali komunalisme dan hilangnya kearifan dalam berbangsa dan bernegara. Ini menandakan bahwa konflik laten NU-Muhammadiyah belum terselesaikan dan bisa jadi akan mencapai eskalasi yang sulit dibendung tatkala political mainstream lebih menonjol daripada cultural mainstream. Indikasinya, pertemuan antarpimpinan ormas kerapkali digelar, namun tetap saja massa di level grass root menabuh gendang perlawanan dan perseteruan yang akan mengganggu kedamaian di tengah-tengah masyarakat.
Secara eksplisit, Jinan memberikan apresiasi terhadap NU politik sebagai sebuah proses sejarah yang wajar, karenanya NU kultural tidak seharusnya memandang sebelah mata dan menganggap NU politik telah berkhianat terhadap khittah. Ini bukan hanya gejala NU, akan tetapi gejala Islam politik secara umum. Tentu saja, apresiasi Jinan merupakan upaya "pemutihan" terhadap lemahnya peran partai dalam memainkan peran konsolidasi, sosialisasi, dan komunikasi politik. Jinan melihat gejala politik secara fatalistik dan generalistik. Padahal problem terbesar dalam mewujudkan demokrasi di Tanah Air, tatkala partai tidak melakukan proses pemberdayaan politik masyarakat (empowerment political society). Jajak pendapat Kompas, 2 Juli 2001 membuktikan bahwa 46,5 persen dari responden kecewa terhadap kiprah partai politik yang terlalu berlebihan dalam mengurusi persoalan kekuasaan kepresidenan.
Yang dilakukan partai politik hanya sekadar "jual-beli massa" untuk tujuan politik kekuasaan, bukan pemberdayaan politik yang akan membangun kesadaran politik dan sistem ketatanegaraan yang akan memperkukuh negara-bangsa (nation-state). Maka dari itu, NU kultural mempunyai kepentingan untuk mengkritisi dan mengontrol NU politik agar tidak terjebak dalam politik kekuasaan dalam rangka menyongsong episode baru politik NU. Bahkan sejatinya, menurut NU Kultural, PKB harus memperluas konstituensnya di luar NU sebagai sebuah partai yang ingin mengusung gagasan kebangsaan dan inklusivitas, sehingga tidak hanya tergantung pada warga NU. Di sinilah, Muhammadiyah sedikit lebih terselamatkan dari politik tatkala mengambil garis tegas dengan PAN yang dipimpin Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah.
Sekali lagi, tanpa basa-basi, NU politik belum melakukan peran pemberdayaan secara maksimal. Indikasinya, perseteruan elite politik kerapkali melahirkan konflik horizontal dan gerakan massif yang cenderung anarkis dan tidak menggunakan cara-cara yang santun. Jika ini tidak diantisipasi, tak ayal, NU dan Muhammadiyah sebagai aset Civil Islam-meminjam istilah Robert W Hefner-akan berakibat buruk terhadap masa depan demokrasi yang meniscayakan adanya institusi yang semestinya mendorong terciptanya keadilan, kesetaraan, keadaban dan kesantunan dalam berpolitik.
Jabir al-Anshari, sosiolog asal Suriah, menegaskan bahwa dalam rangka membangun masyarakat madani harus mengelola perilaku nomaden (al-badawah), seperti kekerasan, anti-dialog, dan kecenderungan konflik, menuju keadaban dan peradaban yang tinggi (al-madaniyah al-mutsla). Kegagalan Islam Politik secara sosiologis dapat dibaca dalam runtuhnya keadaban dan peradaban dalam berpolitik, dan sebaliknya perilaku nomaden menjadi alternatifnya (1999:117). Hal serupa disinyalir Erich Fromm, bahwa dalam menciptakan masyarakat yang sehat (the sane society) harus dilakukan transformasi politik yang tidak hanya dimaknai unggulnya mayoritas terhadap minoritas, akan tetapi keinginan untuk menciptakan partisipasi yang elegan dan santun (1995:385).
Maka dari itu, demokrasi dalam tataran wacana belaka tidak cukup, akan tetapi harus dilengkapi dengan perangkat nalar praksis yang kritis dan reflektif, sehingga tercipta dialektika yang dinamis. Selama politik harus menggunakan cara-cara anarkis, bangsa ini akan semakin jauh dari cita-cita demokrasi dan rentan pada munculnya militerisme sipil dan komunalisme. Karena itu, NU Kultural akan memerankan sebagai aktor yang senantiasa kritis terhadap hal-hal yang akan mereduksi terhadap demokratisasi.
Jalur kultural dan upaya konvergensi
Tidaklah berlebihan, apabila yang tersisa dari khazanah NU dan Muhammadiyah yaitu aktivis yang dikenal dengan barisan kultural. Yaitu komunitas yang selama ini intens pada aras pemikiran, kebudayaan, dan pemberdayaan masyarakat sipil. Kalangan ini, meminjam istilah Muhammad Arkoun sebagai hal-hal yang tidak dipikirkan (ma lam yufakkar fihi). Padahal khazanah tersebut membentang luas dan tersebar di tengah-tengah NU dan Muhammadiyah. Kurangnya perhatian terhadap kalangan kultural, menyebabkan mereka berada di periferi secara politik, karena yang mengemuka hanya aspirasi barisan politik.
Jinan di akhir tulisannya secara genuine melihat perkembangan yang cukup fenomenal, yaitu adanya arus balik yang meniscayakan perlawanan dari kalangan kultural terhadap barisan politik. Hal tersebut merupakan buah dari kecenderungan aktivis kultural yang ingin melakukan lompatan pemikiran. Karena pemberdayaan masyarakat tidak hanya melalui perubahan struktur, akan tetapi harus dilengkapi dengan perangkat pemikiran yang akan menopang perubahan secara stuktural dan kultural.
NU Kultural mencoba untuk mengkritisi tradisionalisme dengan perangkat nalar keagamaan kritis yang berkembang di dunia Islam lainnya, seperti Mesir, Suriah, Maroko, Sudan, Tunisia, Iran, dan Lebanon. Yang menjadi rujukan tidak hanya kitab kuning yang membahas masalah-masalah ritual keagamaan, akan tetapi kitab kuning yang mengupas masalah-masalah sosial-kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat sipil yang diperkuat dengan metodologi posmo, seperti Michel Foucalt, Derrida, dan Habermas. Maka dari itu yang berkembang yaitu Post-Tradisionalism Islam sebagai antitesis terhadap tradisionalisme yang selama ini telah memantapkan transendensi, eksploitasi, dan mistifikasi. (Lihat pembahasan tentang Post Tradisionalism Islam di Jurnal Tashwirul Afkar edisi 10, Juli 2001)
Begitu halnya di Muhammadiyah muncul aktivis-aktivis yang menghendaki lompatan pemahaman keagamaan yang inklusif, pluralis dan transformatif, sebagaimana direpresentasikan oleh Sukidi dalam buku Teologi Inklusif Cak Nur dan New Age: Wisata Spiritualitas Lintas Agama dan Ahmad Najib Burhani dalam buku Islam Dinamis. Selain kedua intelektual muda tersebut, Jurnal Inovasi yang diterbitkan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta telah memainkan peran tumbuhnya aktivis yang menyemangati pemahaman keagamaan liberal dan progresif.
Prof Dr Amin Abdullah dapat dikategorikan sebagai lokomotif gerakan kultural di Muhammadiyah. Dalam buku Dinamika Islam Kultural; Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, ia menegaskan bahwa pemekaran dan pengembangan wawasan pemikiran keislaman -dalam NU dan Muhammadiyah-tidak sekadar mencapai target perubahan, tetapi perubahan yang didasarkan atas pertimbangan religius-filosofis yang lebih kukuh untuk membangun platform yang lebih kondusif dan favourable untuk memasuki era pluralisme keagamaan dan budaya, serta era globalisasi ilmu pengetahuan (2000;111). Hal tersebut menjadi kenyataan yang cukup menggembirakan tatkala anak muda NU dan Muhammadiyah memainkan jurus-jurus pemikiran keagamaan yang cukup signifikan dalam menyongsong fajar demokrasi yang ditunggu-tunggu masyarakat luas.
Maka dari itu, perbedaan pemikiran aktivis NU dan Muhammadiyah semakin tipis. Kekhawatiran Jinan terhadap arus balik pemikiran yang seakan antagonistik, antara NU yang liberal dan Muhammadiyah yang spiritualis, secara gamblang bukanlah persoalan yang serius. Karena secara subtantif, kedua aktivis ormas terbesar itu mempunyai titik temu dalam aras mengusung wacana baru yang menyemangati transformasi, inklusivitas, dan progresivitas.
Hanya saja, yang menjadi kendala utama, tatkala emosi politik menyelusup dalam gerakan kultural. Konsekuensinya perbedaan dan perseteruan akan muncul kembali. Sejarah membuktikan, perseteruan politik kerapkali meruntuhkan singgasana kultural yang mempunyai komitmen untuk membangun civil society. Hal tersebut dapat dilihat dari retaknya hubungan Gus Dur (tokoh NU) dan Amien Rais (Tokoh Muhammadiyah), karena keduanya sedang bertarung dalam domain politik yang implikasinya sangat besar terhadap bangunan kultural yang berkecambah dalam kedua ormas tersebut. Oleh karena itu, harapan besar berada di atas pundak aktivis muda NU dan Muhammadiyah untuk mewujudkan hubungan yang sinergis. Di sinilah gerakan kultural dalam kedua ormas ini dipertaruhkan.
* Zuhairi Misrawi, Koordinator Kajian dan Peneliti Lakpesdam NU, Alumnus Departemen Akidah-Filsafat, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Kini menempuh Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment