Kompas, Jumat, 6 Juli 2001
Muhammadiyah dan NU dalam Kompetisi Makna "Civil Society"
Oleh Pramono U Tanthowi
KEBERADAAN Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam sejarah Indonesia Modern memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai kooperasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekadar contoh, sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Sarekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan (Bruinessen, 1994).
Dialektika Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai organisasi Islam. Kompetisi dan kontestasi kedua tradisi Islam ini, sepanjang Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba), tampak dari rivalitas keduanya dalam Masyumi sepanjang 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 1973-1984, respons terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap rezim Orba (Feillard: 1999). Belum lagi, persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan politik. Karena itu, dapat dimengerti jika persaingan ini pada akhirnya juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.
Paling tidak ada dua aspek yang membedakan konsep civil society dalam perspektif Muhammadiyah dan NU, yakni yang menyangkut motivasi dan pendekatan, sehingga pada akhirnya mempengaruhi perbedaan hasil akhir dan daya tahan masing-masing konstruk civil society.
Mungkin betul, wacana civil society dalam Muhammadiyah relatif terlambat, jika dibanding NU. Pada awalnya, konstruk civil society dalam Muhammadiyah diformulasikan dengan istilah "masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" (Islamic society). Baru sejak Muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985, formulasi tujuan Muhammadiyah diubah menjadi masyarakat utama, sebagai bagian respons atas UU Keormasan.
Motivasi dan pendekatan
Antagonisme politik yang terjadi antara Islam modernis dengan pemerintah yang berlangsung sejak tahun 1960 (ketika Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh Soekarno), membuat kalangan modernis mencoba mencari landasan teologis baru guna berpartisipasi dalam "developmentalisme" Orba. Tahun 1971, dalam Muktamar di Ujung Pandang, Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi terhadap salah satu partai politik manapun. Hal ini hampir bersamaan dengan wacana yang dikembangkan generasi baru intelektual Islam, yang sejak awal dasawarsa 1970-an berusaha mengembangkan format politik baru yang lebih menekankan aspek substansial. Dari sini, muncullah slogan Cak Nur yang terkenal, "Islam, Yes. Partai Islam, No!" Terobosan pemikiran seperti ini berimplikasi pada kebijakan pemerintah Orba yang melunak dan mengakomodasi beberapa aspirasi kalangan Islam (modernis), baik yang bersifat politik, ekonomi, maupun hukum.
Motivasi kalangan modernis agar bisa terakomodasi dalam proses pembangunan Orba seperti ini menyebabkan mereka mengembangkan civil society dengan pendekatan Hegelian, yang memiliki ciri (1) lebih menekankan fungsi komplemantatif dan suplementatif. Dengan ciri seperti ini, civil society berfungsi melaksanakan sebagian peran-peran negara. Sehingga, Muhammadiyah sejak awal mengembangkan bidang pendidikan, lembaga sosial, serta pelayanan kesehatan secara massif. (2) Menekankan pentingnya kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang sedikit banyak bergantung kepada state. Karena sebagaimana lazimnya negara dunia ketiga yang sedang berkembang, state memegang peran penting dalam seluruh sektor kehidupan.
Dengan ciri seperti ini, civil society yang dikembangkan Muhammadiyah (dan kalangan modernis secara umum) menghasilkan: (1) kemandirian dalam berbagai bidang, terutama bidang pendidikan, sosial, serta pelayanan kesehatan. Untuk sekadar menyebut, Muhammadiyah sampai tahun 2000 memiliki lebih dari 9.000 lembaga pendidikan dasar dan menengah, 190 lembaga pendidikan tinggi, 241 lembaga kesehatan, dan 322 lembaga sosial; dan (2) kelas menengah yang berkembang bukan terutama karena perannya di bidang ekonomi dan dunia usaha, tetapi berkat tangga naik di bidang pendidikan. Kelas menengah seperti ini, dalam istilah Reinhard Bendix disebut bildungburgertum, yang banyak bergerak pada sektor pendidikan dan birokrasi negara. Maka bisa dilihat, kebanyakan pendukung utama Muhammadiyah berprofesi sebagai pendidik, intelektual kampus, dan birokrat negara.
Dengan demikian, konstruk civil society versi Muhammadiyah memiliki wajah yang dualistik. Di satu sisi, memiliki independensi yang amat tinggi di berbagai bidang, di sisi lain menghasilkan kelas menengah yang dependen. Dualisme wajah Muhammadiyah ini menyebabkan sikap politiknya kadang amat mengejutkan. Misalnya, sejak awal dasawarsa 1990-an, Amien Rais bergabung ICMI, namun pada akhir dasawarsa itu juga ia melakukan perlawanan luar biasa terhadap rezim Orba, sehingga secara sukarela harus keluar dari ICMI.
Pendekatan Hegelian seperti diadopsi Muhammadiyah ini, mendapat kritik tajam dari Alexis de Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran Hegel, posisi negara dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah, hanya pada dataran negaralah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga posisi dominan negara bermakna positif. Dengan demikian civil society akan kehilangan dimensi politik dan tergantung manipulasi dan intervensi negara.
Pendekatan Tocquevillian yang diadopsi NU, menekankan fungsi civil society sebagai counterbalancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan pencangkokan civic culture untuk membangun budaya demokratis.
Pendekatan Tocquevellian ini digunakan karena sepanjang dua dasawarsa awal Orba, NU tidak memperoleh tempat layak dalam proses-proses politik. Marginalisasi politik ini, disebabkan karena rezim Orba hanya mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung modernisasi, dan itu didapat dari kalangan modernis yang sudah lebih dulu melakukan pembaruan pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu saja, akibat rivalitas dengan kalangan modernis yang menjadi kelompok dominan di PPP. Dengan demikian, dapat dimengerti jika sejak Muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari PPP.
Dengan motivasi seperti itu, maka sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivitas NU banyak diarahkan pada penciptaan free public sphere, tempat di mana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah, dan penguatan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka meyakini, civil society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki kemandirian dalam arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi dan kooptasi negara.
Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah NU sejak awal dasawarsa 1990-an. Ketika kalangan Islam modernis terakomodasi dalam state (ICMI), Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red) mendirikan Forum Demokrasi, dan aktivitas NU secara umum diarahkan untuk menciptakan ruang publik di luar state dengan banyak bergerak dalam LSM-LSM dan kelompok-kelompok studi. Inilah peran Gus Dur dan NU sebagai kekuatan penyeimbang dan berhadapan vis-a-vis negara. Mereka ini pada awalnya menjadikan Islam modernis yang terakomodasi dalam state sebagai lahan kritik (Hikam: 1999). Bagi mereka, modernisme tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber gagasan kemajuan dan dipuja sebagai dewa penyelamat bagi peradaban manusia. Karena modernisme sendiri terbukti tidak mampu memenuhi janji-janji kemajuannya. Bahkan, dalam beberapa hal, modernisme meninggalkan banyak petaka.
Dengan pendekatan seperti itu, hasil akhir konstruk civil society versi NU dapat dilihat dengan tumbuhnya gelombang besar generasi muda NU di jalur kultural sejak pertengahan 1990-an, yang sering disebut "kultur hibrida" (Salim & Ridwan: 1999). Generasi baru ini, sebagian besar berprofesi sebagai aktivis LSM, intelektual independen (nonkampus), dan wartawan. Mereka ini, oleh kalangan NU, diyakini akan mampu menjalankan fungsi hakikinya: motor perubahan.
Dari paparan itu, tampak jelas perbedaan civil society versi Muhammadiyah dan NU (sebelum era reformasi). Perbedaan konstruk yang disebabkan perbedaan motivasi dan pendekatan itu, dapat diungkapkan secara sederhana, Muhammadiyah menggunakan strategi demokratisasi dari atas, NU dari bawah. Atau dalam konteks perjuangan Islam, meminjam istilah Gilles Kepel, (1994), Muhammadiyah melakukan reislamization from above, NU melakukan reislamization from below.
Daya tahan
Persoalannya kemudian, bagaimana menjelaskan perubahan posisi politik Muhammadiyah dan NU pasca runtuhnya Orba, saat NU secara tidak terduga (unintentioned), telah menjadi state, sedangkan Muhammadiyah ada di luar. Apakah konstruk civil society kedua tradisi Islam ini masih menemukan relevansinya? Menurut saya, perbedaan motivasi dan pendekatan yang menjadi landasan dalam membangun civil society seperti yang sudah dijelaskan di atas, besar sekali pengaruhnya terhadap daya tahan masing-masing dalam menghadapi perubahan politik yang demikian deras.
Berdirinya PAN diakui sempat menyedot energi dan konsentrasi warga Muhammadiyah, tetapi tidak berlangsung lama. Akhir Desember 1999, PP Muhammadiyah mengeluarkan edaran larangan jabatan rangkap dengan partai politik, dan larangan penggunaan fasilitas Muhammadiyah oleh partai politik mana pun. Dengan demikian, Muhammadiyah yang tidak pernah menjadi partai politik (karena sebatas menjadi anggota istimewa Masyumi), tidak terlalu terpengaruh eforia reformasi.
Kemandirian lembaga-lembaga pendidikan, sosial, dan kesehatan cukup kuat untuk tidak terimbas hiruk-pikuk aktivitas politik. Paling jauh, mungkin hanya sebatas kelas menengah terdidik Muhammadiyah saja yang banyak menjadi pendukung utama PAN. Sejauh ini, perdebatan yang pernah muncul hanya menyangkut relasi antara Muhammadiyah dan PAN. Dengan demikian, relasi antara Muhammadiyah dan politik tidak pernah menjadi isu yang problematik.
Sementara itu, era reformasi saat ini membawa perubahan amat besar bagi perilaku politik NU, yang sering dikatakan memiliki (maaf) "syahwat" politik yang tinggi. Perilaku politik NU demikian itu, memunculkan beberapa otokritik, yang dapat dipilah menjadi dua. Pertama, kritik NU telah melanggar khitah 1926. Dua, kritik bahwa bangunan civil society yang selama ini diusung NU terancam runtuh. Dua macam otokritik ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan kalangan NU sendiri, seperti Salahuddin Wahid (Kompas, 23/3/ 2001), dan beberapa generasi muda NU, seperti Ahmad Baso (Detak, 21-27/2/2001), serta Zuhairi Misrawi (Gamma, 21-27/3/2001).
Karena itu, bila saat ini Presiden Abdurrahman Wahid telah menjadi state, maka seharusnya tidak lagi dilihat sebagai NU, tetapi sebagai state. Dan NU, tetap ada di luar state sebagai-dalam bahasa NU-jam'iyyah dan jama'ah diniyah (organisasi dan komunitas keagamaan). Untuk tetap menggunakan pendekatan Tocquevillian, maka NU harus tetap memerankan fungsi counterbalance terhadap state, yang kini adalah Presiden Abdurrahman Wahid. Mampukah? Sejarah akan membuktikan, dan tetap menjadi saksi atas kompetisi makna dua tradisi besar ini. Bukankah di sini letak keindahannya?
* Pramono U Tanthowi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Agama dan Peradaban [PSAP] PP Muhammadiyah.
Sunday, November 7, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment