Kaum Modernis tentang Pluralisme Agama
Potret Pergeseran Wacana Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah*
“Relative to many other countries, what is remarkable about the Indonesia case is that, at the moment, so many prominent Muslim leaders support the pluralist understanding of religion rather that the establishmentarian view. In
part, I suspect, this reflects the rich heritage of pluralism within Indonesian Islam” (Robert Hefner).[i]
“Religious pluralism as a framework for inter-religious dialogue and peaceful co-existence is a recent phenomenon, inspired by modern secular humanism rather than theologies of the major religious tradition” (Mahmoud M. Ayoub).[ii]
Wacana pluralisme dan toleransi di Indonesia bukankah fenomena baru, setidaknya pada masa awal Orde Baru, gagasan ini telah didengungkan sebagai agenda resmi pemerintah dalam rangka menciptakan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Demikian pula halnya, pluralisme dan toleransi telah cukup lama menjadi wacana akademis yang dilansir oleh sebagian besar kaum akademisi dan elit intelektual yang berada di dunia kampus. Bahkan jauh sebelum itu, pluralisme telah menjadi bagian dari peradaban manusia. Oleh karena itu, membincangkan pluralisme ibarat menawarkan tema lama melalui kemasan baru. Isu pluralisme dan toleransi dalam relasi kehidupan sosial keagamaan akan senantiasa kontekstual. Sebab, ia senantiasa berada dalam ruang pergulatan manusia yang dinamis.
Setelah cukup lama terlebur dalam aktivitas berorganisasi, dinamika pemikiran keagamaan di Muhammadiyah mulai menampakkan geliatnya, setidaknya hal itu terlihat pasca-Muktamar Muhammadiyah ke-43 yang diselenggarakan di Banda Aceh pada tahun 1995. Perubahan yang dianggap cukup mendasar saat itu adalah dengan ditransformasikannya Majelis Tarjih Muhammadiyah menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Dampak dari perubahan itu agaknya membawa beberapa dampak dan perubahan di Muhammadiyah, baik itu dampak yang bersifat sosiologis, politis, dan spiritual.
Meski sudah lebih dahulu dikenal orang sebagai gerakan pembaru, di kalangan Muhammadiyah sendiri hasrat untuk mengembangan wacana baru nampaknya terus berkembang. Hal itu utamanya dimotori oleh beberapa kalangan akademisi yang memiliki latar belakang akademis di bidang studi keislaman. Dalam perjalanan sejarahnya, peran Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah Islam di Indonesia dan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan tidak jarang mengalami pergulatan intern dalam menyikapi berbagai persolaan keagamaan. Namun demikian, wacana pluralisme agama dapat dikatakan merupakan persoalan yang belum mendapat perhatian tersendiri dalam rentang waktu yang cukup lama. Begitu wacana ini bergulir, seiring dengan beberapa isu lainnya di Indonesia, ketegangan intelektual pun tak terhindari. Tokoh Muhammadiyah mau tidak mau akhirnya memperdebatkan wacana ini, salah satunya terlihat dari kontroversi saat diluncurkannya buku “Tafsir Tematik Alquran Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama”[iii] sebagai satu-satunya “buku tafisr” yang secara utuh ditulis oleh orang Muhammadiyah dan diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam beberapa tahun silam.
Kontroversi terus bergulir, Muhammadiyah sendiri secara kelembagaan terus melakukan reproduksi wacana keagamaan. Prinsip gerak dan ijtihad yang diusung Muhammadiyah selama ini mulai dipertanyakan dan direorientasikan. Apakah pembaruan itu akan bertendensi lebih puritanistik ataukah sebaliknya, menjadi lebih dinamis. Sementara itu, “generasi baru” Muhammadiyah, termasuk “generasi Muda” yang terpetakan dalam berbagai Ortom, memberikan respons yang cukup dinamis. Di luar wacana pluralisme dan toleransi, isuisu keislaman kontemporer, seperti, rekonstruksi spiritualitas, kalam dan tasawuf, gender dan pemberdayaan kaum perempuan, multikulturalisme, dan persoalan budaya lokal terus bergulir dan menggelnding dan menjadi sebuah bola salju yang memberikan getaran yang cukup terasa dalam tubuh organisasi ini.
* Judul asli: “Post-Puritanisme Muhammadiyah: Studi Pergulatan Wacana Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah ( 1995-2002),” Tanwir: Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban, Edisi 2, vol. 1, no. 2 (Juli 2003), 43-102.
[i]Robert Hefner, “Modernity and the Challenge of Pluralism: Some Indonesian Lessons,” dalam Studia Islamika: Indonesia Journal of Islamic Studies, Volume 2, Number 4 1995, hlm. 41
[ii]Mahmoud Ayoub, Islam and Pluralism,” dalam Th Sumartana et al (ed.) Commitment of Faith: Identity, Plurality and Gender, (Yogyakarta: Interfidei, 2002)
[iii]Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Tafsir Tematik Alquran Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000).
No comments:
Post a Comment