Membaca Shofan, Membaca Masa Depan Muhammadiyah
(Kata Pengantar dalam buku 'Menegakkan Pluralisme Fundamentalisme Konservatif di Muhammadiyah)
Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo
Buku yang ditulis oleh Moh. Shofan dkk, ini adalah merupakan suatu kumpulan karangan yang ditulisnya sejak ia mengalami peristiwa pemecatan dirinya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Buku ini menarik karena mencerminkan perkembangan terakhir di lingkungan Muhammadiyah yang menyangkut isu mengenai pluralisme dan kemerdekaan berfikir di lingkungan suatu organisasi terbesar di Indonesia yang konon disebut sebagai mewakili pandangan Islam Indonesia yang moderat.
Dalam suatu keterangannya yang dimuat di Majalah Tabligh terbitan Muhammadiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik menyatakan bahwa pemikiran semacam Shofan ini tidak bisa ditolerir karena merupakan refleksi dari pandangan yang disebutnya paham sipilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Suatu plesetan yang bertujuan untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap pemikiran Islam liberal.
Saya adalah orang yang mengetahui secara dekat latar belakang penulisan tentang artikel yang menyebabkan pemecatan tersebut. Pada suatu hari, saya mendapatkan telepon dari seseorang yang belum saya kenal yang menyebut dirinya Moh. Shofan. Dia menyatakan baru saja dipecat sebagai dosen dari Universitas Muhammadiyah Gresik akibat sebuah tulisannya mengenai pluralisme. Dia ingin bertemu dengan saya untuk menceritakan kasusnya tersebut. Saya bersedia bertemu dengan dia, kemudian dia datang ke kantor LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang saya pimpin.
Di situ saya bertanya, “Lho, anda dipecat kok hanya karena sebuah tulisan, coba saya ingin lihat tulisan anda itu seperti apa sih?” Kemudian dia membacakan artikelnya yang dimuat di koran Surya. Setelah saya mendengar pembacaan tulisan itu sampai akhir, saya sangat terkesan sekali dengan tulisan itu karena dia dengan bagus sekali mencerminkan suatu pandangan pluralis di lingkungan Islam, khususnya mengenai sikapnya terhadap ucapan natal yang diharamkan oleh Majelis Ulama. Karena itu, maka saya langsung bersimpati kepadanya. Hemat saya, dia orang yang pantas dibela karena kebebasan berpikirnya diberangus di lingkungan Muhammadiyah.
Peristiwa ini mirip dengan peristiwa yang saya alami sendiri karena saya dikabarkan di media masa telah dipecat dari Muhammadiyah, karena sikap saya dan pandangan-pandangan saya mengenai kelompok-kelompok atau aliran-aliran Islam khususnya Ahmadiyah, Salamullah dan juga mengenai masalah penutupan gereja-gereja oleh sekelompok umat Islam yang berpandangan ekstrim. Tapi, keterangan ini dibantah oleh Din Syamsudin. Dia mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak memecat Dawam Rahardjo, tetapi Dawam Rahardjo telah memecat dirinya sendiri. Suatu keterangan yang tidak bisa saya pahami, karena menurut hemat saya, memecat diri sendiri berarti pernyataan keluar dari Muhammadiyah, sedangkan saya tidak pernah menyatakan keluar dari Muhammadiyah. Bahkan, saya mengatakan sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno.
Din Syamsudin, juga mengatakan bahwa saya dipecat bukan karena sikap saya yang membela Ahmadiyah, pluralisme dan sebagainya, tetapi karena saya dianggap tidak amanah saat memegang Koordinator Badan Ekonomi di PP. Muhammadiyah yang hal itu juga tidak mempunyai dasar sama sekali. Ini menunjukkan bahwa PP. Muhammadiyah itu tidak bertanggung jawab terhadap sikap-sikap dan tindakannya dan berusaha untuk mencari kambing hitam terhadap apa yang dilakukan. Saya berpendapat bahwa seandainya pun saya itu bersalah maka semestinya PP. Muhammadiyah mengambil alih tanggung jawab, karena saya di sini bertindak sebagai anak buah PP. Muhammadiyah. Tetapi, hal ini tidak pernah dilakukan oleh PP. Muhammadiyah. Jadi, yang salah bukan saya, tetapi pimpinan Muhammadiyah yang hanya mencari kambing hitam. Bagi saya, ini sebuah kedzaliman.
Saya sendiri percaya bahwa Muhammadiyah anti pluralisme dan saya juga tidak keberatan Muhammadiyah anti pluralisme karena itu haknya. Kendati demikian, maka hendaknya Muhammadiyah bersikap terus terang, jangan bersikap mendua dan kemudian memberikan argumen-argumen yang tidak masuk akal sebagaimana yang disampaikan oleh ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin.
Saya pernah membaca satu berita di koran Solopos, yang memberitakan ucapan Din Syamsudin, tentang pembelaannya terhadap gerakan Islam radikal. Sikap inilah yang sama sekali tidak saya hargai. Seharusnya Muhammadiyah mempunyai sikap yang jelas, tegas, terus terang, tidak sembunyi-sembunyi mengenai apa yang dipandangnya, sekalipun sikap itu adalah sikap konservatif. Kalau memang Muhammadiyah itu berhaluan konservatif dengan suatu alasan-alasan tertentu, misalnya mempertahankan Islam atau membela Islam Indonesia, katakan demikian saja. Jangan di tempat yang lain mengatakan yang sebaliknya yaitu misalnya bersikap liberal dan pluralis dan sebagainya.
Jadi, saya mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah ini tidak mau berterus terang, karena di satu pihak Din Syamsudin menyatakan dirinya sebagai orang yang berpandangan liberal dan pluralis. Dia beberapa kali terlibat dalam diskusi dan seminar termasuk seminar internasional mengenai pluralisme, tetapi di lain pihak dia memposisikan seolah-olah melindungi dan membela kelompok-kelompok Islam yang bertindak ekstrem melakukan sejumlah kekerasan, karena perbedaan keyakinan dan perbedaan pandangan seperti halnya yang terjadi dengan Ahmadiyah dan kelompok-kelompok lain. Jadi, menurut hemat saya, ini merupakan suatu sikap yang munafik.
Seperti diketahui oleh banyak orang, bahwa saya adalah orang yang pertama kali menentang fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) mengenai pengharaman pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Dan saya mereaksi itu dengan suara yang lantang untuk membela dan mengatakan bahwa tiga trilogi (pluralisme, liberalisme, sekulerisme) inilah yang sebenarnya merupakan kunci bagi pemecahan krisis di lingkungan umat Islam.
Di sini, saya mengembangkan argumen-argumen, mengapa trilogi ini merupakan satu panacea terhadap penyakit umat Islam yang dihadapi dewasa ini yang mengalami stagnasi dan bahkan makin lama makin terpojokkan. Saya tidak menginginkan bahwa nanti terjadi suatu revolusi atau tindakan seperti yang terjadi di Turki yang secara radikal menyingkirkan agama dari wacana publik. Saya berpendapat bahwa justru trilogi itulah yang akan memberikan peluang atau kesempatan bagi Islam untuk melakukan wacana publik, tetapi wacana yang dilakukan secara bebas, terbuka dan demokratis. Terserah bagaimana tanggapan masyarakat umum.
Saya kira tanggapan masyarakat umum akan lebih positif, karena sebetulnya, masyarakat Indonesia pada umumnya itu cinta kepada agama, cenderung taat pada agama, cenderung untuk bersikap religius dan ini menurut hemat saya harus dipertahankan, dipelihara yaitu dengan cara memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk berkeyakinan dan beragama. Sehingga karena itu jika ada perbedaan-perbedaan paham dan perbedaan aliran dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan juga sebagai sesuatu yang baik, karena ini merupakan suatu reaksi positif terhadap perkembangan zaman. Islam memang harus berinteraksi dengan perubahan-perubahan dan perkembangan zaman.
Saya sebenarnya tidak berkeberatan terhadap tulisan-tulisan yang menentang gagasan pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Karena tulisan-tulisan itu memang mencerminkan kondisi pemikiran umat Islam dewasa ini, sehingga karena itu, saya berpendapat bahwa, jika umat Islam dewasa ini mengalami krisis peradaban yang sangat berat, sebagaimana pernah saya tulis dan ceramahkan dalam suatu orasi kebudayan di Universitas Paramadina, maka reaksi-reaksi ini memberikan suatu bukti betapa gerakan Islam makin lama makin bersifat konservatif. Oleh karena itu, saya menganggap tulisan-tulisan seperti Adian Husaini, Hartono Ahmad Jaiz dan lainnya, sebagai sesuatu yang memberikan informasi dan konfirmasi mengenai kondisi intelektual dan pemikiran Islam dewasa ini yang menurut hemat saya mengalami stagnasi dan krisis. Cuma, yang saya sayangkan adalah bahwa tulisan-tulisan itu umumnya miskin etika dan miskin moral. Sebagai contoh adalah tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh media dakwah. Saya sendiri misalnya, pernah dituduh atau dikatakan mengangkangi Warda Hafidz. Ini kan suatu statemen yang jorok dan sangat menyinggung, tetapi inilah yang dilakukan oleh majalah yang menamakan diri sebagai media dakwah Islam.
Dalam jurnal Kebudayan dan Ulumul Qur’an, jurnalis dan ahli komunikasi, Ade Armando pernah membuat tulisan mengenai penampilan majalah media dakwah dengan kritis. Salah satu yang diungkapkannya adalah bahwa Media Dakwah–sebuah majalah Islam yang membawa misi dakwah–tidak memiliki etika dan moral sebagaimana yang seharusnya dicerminkan oleh sebuah majalah Islam, apalagi majalah Islam yang membawa misi dakwah. Hal yang sama juga diulang oleh Majalah Tabligh, penerbitan resmi PP. Muhammadiyah yang dikenal sebagai sarang konservatisme di lingkungan Muhammadiyah yang ide-idenya bertolak belakang dengan generasi muda Muhammadiyah yang berpandangan liberal.
Menurut cerita yang disampaikan oleh Moh. Shofan, ia pada suatu hari ditelepon oleh seorang reporter majalah Tabligh yang mengatakan bahwa majalah itu akan melakukan wawancara mengenai pluralisme. Sudah tentu, Moh. Shofan menerima permintaan itu dan akhirnya dilakukanlah wawancara. Singkat cerita, setelah dilakukan wawancara mengenai pluralisme itu panjang lebar, reporter majalah tersebut malah mengajukan tema wawancara lain, yaitu wawancara tambahan mengenai kasus pemecatannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Selanjutnya, selang beberapa waktu Moh Shofan pun menunggu-nunggu penerbitan majalah itu. Tetapi apa hasil? Alangkah terkejut dan kecewanya dia, karena wawancara mengenai pemikiran pluralismenya tidak jadi dimuat. Justru yang dimuat adalah wawancaranya mengenai kasus pemecatan dirinya di Universitas Muhammadiyah Gresik.
Di lain pihak, majalah tersebut juga menyiapkan wawancara dengan dua orang, yaitu pertama dari PDM Gresik dan kedua dari Rektor UMG. Dua orang itu menyerang pemikiran-pemikiran Moh. Shofan yang disebutnya ”sipilis”. Dalam surat edaran yang dibuat oleh PDM yang ditujukan kepada Rektor UMG, menyatakan bahwa pandangan-pandangan Shofan dianggap berbahaya dan tidak sesuai dengan akidah Muhammadiyah. Sikap keberatan PDM Gresik, terhadap pandangan-pandangan Moh. Shofan itu dinilai bertentangan dengan AD/ART, Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah dan keputusan P.P Muhammadiyah nomor: 149/KEP/1.0/B/2006, tentang Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai konsolidasi organisasi dan amal usaha Muhammadiyah.
Mereka juga menuduh Moh. Shofan telah menyebarkan paham-paham sesat (baca: liberal) melalui proses perkuliahan di kelas, penerbitan buku dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya, seperti seminar dan bedah buku. Bahkan, acara bedah buku dalam rangka ‘Nurcholish Madjid Memorial Lecter’ yang sejatinya dilaksanakan di UMG bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta, secara mendadak dibatalkan oleh Rektor UMG dengan alasan menyebarkan paham sesat.
Nah, dari keterangan di atas, menjadi jelas kiranya bahwa, Moh Shofan itu dipecat dari Universitas Muhammadiyah Gresik karena pandangan-pandangannya. Itu menunjukkan bahwa di lingkungan Muhammadiyah sudah tidak ada lagi kemerdekaan berpikir. Ini adalah merupakan bentuk kecil-kecilan dari inkuisisi yang selalu dikritikkan ke alamat orang-orang Kristen pada zaman abad tengah yang memang memberangus atau tidak memberikan kesempatan kemerdekaan berpikir, sehingga menimbulkan perang agama. Agama pada waktu itu menjadi bencana bukan menjadi rahmat dan setelah mengalami perang selama 80 tahun akhirnya diperoleh perundingan dan kesepakatan yang merupakan awal dari sekularisme yaitu pemisahan antara agama dan politik, dan seterusnya seperti yang terjadi di Eropa.
Umat Islam pada umumnya bersikap mendua. Kalau sekularisme di lingkungan Kristen mereka menyetujui dan ajaran Kristen dianggap salah dan patut disekularisasikan, tetapi kalau sudah menyangkut umat Islam mereka menolak penyamaan Islam dengan Kristen. Padahal yang terjadi itu sama saja, baik yang terjadi di lingkungan umat Islam dewasa ini maupun yang terjadi di lingkungan Kristen pada masa abad pertengahan. Hanya saja, umat Islam mengalami keterlambatan. Sehingga, menurut hemat saya, umat Islam sekarang ini memasuki zaman gelap dan menunggu datangnya masa pencerahan melalui trilogi; liberalisme, pluralisme dan sekularisme. Itu yang sekarang saya perjuangkan dan diperjuangkan oleh penulis dan pemikir muda Moh Shofan.
Moh Shofan ini ternyata seorang penulis yang produktif. Dalam beberapa tulisannya yang tercecer di berbagai media–yang diterbitkan dalam buku kumpulan karangan ini–pikiran-pikirannya banyak membuat kalangan Islam yang tidak sejalan dengannya kerap menuduhnya sebagai orang yang berpikiran sesat sebagaimana yang dituduhkan Majalah Tabligh. Pernah dalam salah satu opininya yang diterbitkan oleh Media Indonesia mendapat tanggapan serius dari kalangan Muhammadiyah seperti misalnya Abd. Rahim Ghazali. Dalam tanggapannya, di Media Indonesia, Abd. Rahim Ghazali, memutar balikkan persoalan yang menurut hemat saya tidak ilmiah dan bersifat fitnah yang harus dijawab, untung seorang penulis muda yaitu Asep Gunawan telah membantah habis-habisan apa yang di tulis oleh Abdul Rahim Ghazali itu. Jadi, masalahnya sekarang sudah clear.
Kasus pemecatan Moh Shofan ini telah menjadi bahan di dalam tesis yang ditulis oleh Pradana Boy ZTF. Dalam penelitiannya yang berjudul ‘In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah’, Boy dengan tegas dan berani menggambarkan bahwa ada pertarungan antara kubu konservatisme dan kubu progresifisme di Muhammadiyah. Boy juga meng-highlight tragedi pemecatan Moh. Shofan dari UMG dan pemecatan Dawam Rahardjo sebagai gejala konservatisme yang berbahaya bagi masa depan Muhammadiyah. Bukti empirik lainnya yang menggambarkan konservatisme Muhammadiyah adalah Muktamirin di Malang yang sangat kritis terhadap isu-isu kontemporer seperti pluralisme, liberalisme dan gender. ‘Terlemparnya’ para intelektual liberal dari kepengurusan Muhammadiyah seperti M. Dawam Rahardjo, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman dan Amin Abdullah serta terpilihnya Din Syamsuddin sebagai Ketua PP Muhammadiyah sebagai kemenangan kubu konservatif.
Penelitian Pradana Boy ini akan menjadi saksi sejarah tentang apa yang sebenarnya terjadi di Muhammadiyah dan merupakan pembongkaran terhadap segala sesuatu yang selama ini tersembunyi, karena Muhammadiyah selama ini merasa terbuai oleh berbagai macam pujian, baik di dalam buku-buku, tesis, disertasi dan sebagainya. Tetapi kali ini mulai muncul penelitian yang melontarkan kritik terhadap Muhammadiyah dan kekhawatiran terhadap salah satu organisasi terbesar di Indonesia ini.
Kesimpulan yang saya tarik adalah Muhammadiyah meluncur menjadi gerakan yang konservatif. Sekarang ini Muhammadiyah bergerak dari konservatisme menjadi fundamentalisme dengan masuknya beberapa tokoh seperti Adian Husaini, Yunahar Ilyas dan juga Godwill Zubair yang merupakan tokoh pentolan dari paham fundamentalisme.
Perkembangan yang terjadi di Muhammadiyah ini menarik karena hal ini memang sudah pernah disinyalir oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang mengatakan bahwa Muhammadiyah telah berhenti menjadi organisasi pembaharu, sedangkan rekannya yaitu NU justru telah mengalami pembaharuan, walaupun pada waktu tulisan Cak Nur itu dibuat atau diterbitkan, gerakan pembaharuan itu belum kentara, tetapi sekarang ini sudah makin kentara. Saya melihat bahwa NU berbeda jurusan dengan Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah sekarang meluncur ke arah konservatisme dan fundamentalisme, maka di NU, justru mengalami liberalisasi pemikiran dan lebih mencerminkan satu pemikiran Islam yang modern dan moderat serta bersatu dengan gerakan kebangsaan di Indonesia. NU sekarang ini berkembang sebagai gerakan pembaharu Islam karena ada tokoh semacam Abdurrahman Wahid yang dengan kepemimpinannya yang pasti dan jelas melindungi pemikiran-pemikiran dan menfasilitasi pemikiran-pemikiran liberal. Kalau di lingkungan Muhammadiyah unsur-unsur muda progresif itu disingkirkan paling tidak diwaspadai untuk ditegur. Tapi di lingkungan NU, seliberal apapun pemikirannya–seperti yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla– walaupun dulu diusulkan untuk dilarang, tetapi NU tidak mengambil sikap untuk melarang gerakan tersebut.
Memang, di lingkungan Muhammadiyah sendiri ada juga gejala-gejala liberalisasi pemikiran dengan munculnya kelompok JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan juga PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban). Demikian juga, saat Muhammadiyah dibawah kepengurusan Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang telah tampil sebagai orang yang dianggap liberal bersama dengan pengurus pusat lainnya, seperti Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, Moeslim Abdurrahman dan juga saya sendiri. Tetapi, dalam kepengurusan Din Syamsudin, orang-orang itu telah tersingkir. Tokoh-tokoh itu konon dianggap sudah sepantasnya dikeluarkan dari Muhammadiyah karena berpikiran liberalis, pluralis dan sekuralis.
Hal ini sekali lagi memberikan bukti bahwa Muhammadiyah telah ditinggalkan oleh orang-orang yang berpandangan liberal, sehingga Muhammadiyah mengalami kemunduran lantaran sikap konservatisme dan fundamentalismenya. Hari depan Muhammadiyah dengan demikian adalah hari depan yang suram karena tidak lagi mewakili pemikiran yang moderat dan modern di Indonesia. Padahal semestinya, Muhammadiyah harus digantikan oleh anak-anak muda progresif, berpandangan liberal dan pluralis.
Saya merasa bersyukur sudah keluar dari lingkungan Muhammadiyah, sehingga saya merasa bebas untuk menulis mengenai apa yang saya yakini. Saya akan tetap berjuang untuk memperjuangkan trilogi yang diharamkan oleh MUI, karena saya mempunyai keyakinan, bahwa inilah jalan menuju pencerahan umat Islam dan hanya melalui pencerahanlah umat Islam akan bangkit kembali dan diterima oleh dunia modern. Sehingga umat Islam mengalami kemajuan secara internal dan memberikan sumbangan-sumbangan yang positif di dalam apa yang disebut public religion atau agama publik dengan sumbangan-sumbangan pemikiran keagamaan yang dibutuhkan sekali oleh bangsa kita dewasa ini.
Akhirnya, bagi mereka yang memiliki buku ini saya ucapkan selamat membaca. Dalam buku ini disertakan tulisan-tulisan tanggapan dari penulis lain seperti misalnya Budhy Munawar-Rachman, Zuhairi Misrawi, Martin Lukito Sinaga, Pradana Boy ZTF, Masdar Hilmi, Hasibullah Satrawi dan lain-lain yang melengkapi buku ini dalam bentuk dialog yang lebih menarik. Saya berharap bahwa buku ini tidak saja dibaca oleh kalangan umum yang bersimpati terhadap gerakan liberalisasi pemikiran Islam, tetapi dibaca juga oleh kalangan Muhammadiyah. Dan saya juga berharap bahwa buku ini akan mendapat reaksi yang sangat keras dari lingkungan Muhammadiyah sendiri karena Muhammadiyah memang sekarang berkembang menjadi gerakan konservatif dan reaksioner.
http://mohshofan.blogspot.com/2008/11/membaca-shofan-membaca-masa-depan.html
Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo
Buku yang ditulis oleh Moh. Shofan dkk, ini adalah merupakan suatu kumpulan karangan yang ditulisnya sejak ia mengalami peristiwa pemecatan dirinya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Buku ini menarik karena mencerminkan perkembangan terakhir di lingkungan Muhammadiyah yang menyangkut isu mengenai pluralisme dan kemerdekaan berfikir di lingkungan suatu organisasi terbesar di Indonesia yang konon disebut sebagai mewakili pandangan Islam Indonesia yang moderat.
Dalam suatu keterangannya yang dimuat di Majalah Tabligh terbitan Muhammadiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik menyatakan bahwa pemikiran semacam Shofan ini tidak bisa ditolerir karena merupakan refleksi dari pandangan yang disebutnya paham sipilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Suatu plesetan yang bertujuan untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap pemikiran Islam liberal.
Saya adalah orang yang mengetahui secara dekat latar belakang penulisan tentang artikel yang menyebabkan pemecatan tersebut. Pada suatu hari, saya mendapatkan telepon dari seseorang yang belum saya kenal yang menyebut dirinya Moh. Shofan. Dia menyatakan baru saja dipecat sebagai dosen dari Universitas Muhammadiyah Gresik akibat sebuah tulisannya mengenai pluralisme. Dia ingin bertemu dengan saya untuk menceritakan kasusnya tersebut. Saya bersedia bertemu dengan dia, kemudian dia datang ke kantor LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang saya pimpin.
Di situ saya bertanya, “Lho, anda dipecat kok hanya karena sebuah tulisan, coba saya ingin lihat tulisan anda itu seperti apa sih?” Kemudian dia membacakan artikelnya yang dimuat di koran Surya. Setelah saya mendengar pembacaan tulisan itu sampai akhir, saya sangat terkesan sekali dengan tulisan itu karena dia dengan bagus sekali mencerminkan suatu pandangan pluralis di lingkungan Islam, khususnya mengenai sikapnya terhadap ucapan natal yang diharamkan oleh Majelis Ulama. Karena itu, maka saya langsung bersimpati kepadanya. Hemat saya, dia orang yang pantas dibela karena kebebasan berpikirnya diberangus di lingkungan Muhammadiyah.
Peristiwa ini mirip dengan peristiwa yang saya alami sendiri karena saya dikabarkan di media masa telah dipecat dari Muhammadiyah, karena sikap saya dan pandangan-pandangan saya mengenai kelompok-kelompok atau aliran-aliran Islam khususnya Ahmadiyah, Salamullah dan juga mengenai masalah penutupan gereja-gereja oleh sekelompok umat Islam yang berpandangan ekstrim. Tapi, keterangan ini dibantah oleh Din Syamsudin. Dia mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak memecat Dawam Rahardjo, tetapi Dawam Rahardjo telah memecat dirinya sendiri. Suatu keterangan yang tidak bisa saya pahami, karena menurut hemat saya, memecat diri sendiri berarti pernyataan keluar dari Muhammadiyah, sedangkan saya tidak pernah menyatakan keluar dari Muhammadiyah. Bahkan, saya mengatakan sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno.
Din Syamsudin, juga mengatakan bahwa saya dipecat bukan karena sikap saya yang membela Ahmadiyah, pluralisme dan sebagainya, tetapi karena saya dianggap tidak amanah saat memegang Koordinator Badan Ekonomi di PP. Muhammadiyah yang hal itu juga tidak mempunyai dasar sama sekali. Ini menunjukkan bahwa PP. Muhammadiyah itu tidak bertanggung jawab terhadap sikap-sikap dan tindakannya dan berusaha untuk mencari kambing hitam terhadap apa yang dilakukan. Saya berpendapat bahwa seandainya pun saya itu bersalah maka semestinya PP. Muhammadiyah mengambil alih tanggung jawab, karena saya di sini bertindak sebagai anak buah PP. Muhammadiyah. Tetapi, hal ini tidak pernah dilakukan oleh PP. Muhammadiyah. Jadi, yang salah bukan saya, tetapi pimpinan Muhammadiyah yang hanya mencari kambing hitam. Bagi saya, ini sebuah kedzaliman.
Saya sendiri percaya bahwa Muhammadiyah anti pluralisme dan saya juga tidak keberatan Muhammadiyah anti pluralisme karena itu haknya. Kendati demikian, maka hendaknya Muhammadiyah bersikap terus terang, jangan bersikap mendua dan kemudian memberikan argumen-argumen yang tidak masuk akal sebagaimana yang disampaikan oleh ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin.
Saya pernah membaca satu berita di koran Solopos, yang memberitakan ucapan Din Syamsudin, tentang pembelaannya terhadap gerakan Islam radikal. Sikap inilah yang sama sekali tidak saya hargai. Seharusnya Muhammadiyah mempunyai sikap yang jelas, tegas, terus terang, tidak sembunyi-sembunyi mengenai apa yang dipandangnya, sekalipun sikap itu adalah sikap konservatif. Kalau memang Muhammadiyah itu berhaluan konservatif dengan suatu alasan-alasan tertentu, misalnya mempertahankan Islam atau membela Islam Indonesia, katakan demikian saja. Jangan di tempat yang lain mengatakan yang sebaliknya yaitu misalnya bersikap liberal dan pluralis dan sebagainya.
Jadi, saya mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah ini tidak mau berterus terang, karena di satu pihak Din Syamsudin menyatakan dirinya sebagai orang yang berpandangan liberal dan pluralis. Dia beberapa kali terlibat dalam diskusi dan seminar termasuk seminar internasional mengenai pluralisme, tetapi di lain pihak dia memposisikan seolah-olah melindungi dan membela kelompok-kelompok Islam yang bertindak ekstrem melakukan sejumlah kekerasan, karena perbedaan keyakinan dan perbedaan pandangan seperti halnya yang terjadi dengan Ahmadiyah dan kelompok-kelompok lain. Jadi, menurut hemat saya, ini merupakan suatu sikap yang munafik.
Seperti diketahui oleh banyak orang, bahwa saya adalah orang yang pertama kali menentang fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) mengenai pengharaman pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Dan saya mereaksi itu dengan suara yang lantang untuk membela dan mengatakan bahwa tiga trilogi (pluralisme, liberalisme, sekulerisme) inilah yang sebenarnya merupakan kunci bagi pemecahan krisis di lingkungan umat Islam.
Di sini, saya mengembangkan argumen-argumen, mengapa trilogi ini merupakan satu panacea terhadap penyakit umat Islam yang dihadapi dewasa ini yang mengalami stagnasi dan bahkan makin lama makin terpojokkan. Saya tidak menginginkan bahwa nanti terjadi suatu revolusi atau tindakan seperti yang terjadi di Turki yang secara radikal menyingkirkan agama dari wacana publik. Saya berpendapat bahwa justru trilogi itulah yang akan memberikan peluang atau kesempatan bagi Islam untuk melakukan wacana publik, tetapi wacana yang dilakukan secara bebas, terbuka dan demokratis. Terserah bagaimana tanggapan masyarakat umum.
Saya kira tanggapan masyarakat umum akan lebih positif, karena sebetulnya, masyarakat Indonesia pada umumnya itu cinta kepada agama, cenderung taat pada agama, cenderung untuk bersikap religius dan ini menurut hemat saya harus dipertahankan, dipelihara yaitu dengan cara memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk berkeyakinan dan beragama. Sehingga karena itu jika ada perbedaan-perbedaan paham dan perbedaan aliran dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan juga sebagai sesuatu yang baik, karena ini merupakan suatu reaksi positif terhadap perkembangan zaman. Islam memang harus berinteraksi dengan perubahan-perubahan dan perkembangan zaman.
Saya sebenarnya tidak berkeberatan terhadap tulisan-tulisan yang menentang gagasan pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Karena tulisan-tulisan itu memang mencerminkan kondisi pemikiran umat Islam dewasa ini, sehingga karena itu, saya berpendapat bahwa, jika umat Islam dewasa ini mengalami krisis peradaban yang sangat berat, sebagaimana pernah saya tulis dan ceramahkan dalam suatu orasi kebudayan di Universitas Paramadina, maka reaksi-reaksi ini memberikan suatu bukti betapa gerakan Islam makin lama makin bersifat konservatif. Oleh karena itu, saya menganggap tulisan-tulisan seperti Adian Husaini, Hartono Ahmad Jaiz dan lainnya, sebagai sesuatu yang memberikan informasi dan konfirmasi mengenai kondisi intelektual dan pemikiran Islam dewasa ini yang menurut hemat saya mengalami stagnasi dan krisis. Cuma, yang saya sayangkan adalah bahwa tulisan-tulisan itu umumnya miskin etika dan miskin moral. Sebagai contoh adalah tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh media dakwah. Saya sendiri misalnya, pernah dituduh atau dikatakan mengangkangi Warda Hafidz. Ini kan suatu statemen yang jorok dan sangat menyinggung, tetapi inilah yang dilakukan oleh majalah yang menamakan diri sebagai media dakwah Islam.
Dalam jurnal Kebudayan dan Ulumul Qur’an, jurnalis dan ahli komunikasi, Ade Armando pernah membuat tulisan mengenai penampilan majalah media dakwah dengan kritis. Salah satu yang diungkapkannya adalah bahwa Media Dakwah–sebuah majalah Islam yang membawa misi dakwah–tidak memiliki etika dan moral sebagaimana yang seharusnya dicerminkan oleh sebuah majalah Islam, apalagi majalah Islam yang membawa misi dakwah. Hal yang sama juga diulang oleh Majalah Tabligh, penerbitan resmi PP. Muhammadiyah yang dikenal sebagai sarang konservatisme di lingkungan Muhammadiyah yang ide-idenya bertolak belakang dengan generasi muda Muhammadiyah yang berpandangan liberal.
Menurut cerita yang disampaikan oleh Moh. Shofan, ia pada suatu hari ditelepon oleh seorang reporter majalah Tabligh yang mengatakan bahwa majalah itu akan melakukan wawancara mengenai pluralisme. Sudah tentu, Moh. Shofan menerima permintaan itu dan akhirnya dilakukanlah wawancara. Singkat cerita, setelah dilakukan wawancara mengenai pluralisme itu panjang lebar, reporter majalah tersebut malah mengajukan tema wawancara lain, yaitu wawancara tambahan mengenai kasus pemecatannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Selanjutnya, selang beberapa waktu Moh Shofan pun menunggu-nunggu penerbitan majalah itu. Tetapi apa hasil? Alangkah terkejut dan kecewanya dia, karena wawancara mengenai pemikiran pluralismenya tidak jadi dimuat. Justru yang dimuat adalah wawancaranya mengenai kasus pemecatan dirinya di Universitas Muhammadiyah Gresik.
Di lain pihak, majalah tersebut juga menyiapkan wawancara dengan dua orang, yaitu pertama dari PDM Gresik dan kedua dari Rektor UMG. Dua orang itu menyerang pemikiran-pemikiran Moh. Shofan yang disebutnya ”sipilis”. Dalam surat edaran yang dibuat oleh PDM yang ditujukan kepada Rektor UMG, menyatakan bahwa pandangan-pandangan Shofan dianggap berbahaya dan tidak sesuai dengan akidah Muhammadiyah. Sikap keberatan PDM Gresik, terhadap pandangan-pandangan Moh. Shofan itu dinilai bertentangan dengan AD/ART, Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah dan keputusan P.P Muhammadiyah nomor: 149/KEP/1.0/B/2006, tentang Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai konsolidasi organisasi dan amal usaha Muhammadiyah.
Mereka juga menuduh Moh. Shofan telah menyebarkan paham-paham sesat (baca: liberal) melalui proses perkuliahan di kelas, penerbitan buku dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya, seperti seminar dan bedah buku. Bahkan, acara bedah buku dalam rangka ‘Nurcholish Madjid Memorial Lecter’ yang sejatinya dilaksanakan di UMG bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta, secara mendadak dibatalkan oleh Rektor UMG dengan alasan menyebarkan paham sesat.
Nah, dari keterangan di atas, menjadi jelas kiranya bahwa, Moh Shofan itu dipecat dari Universitas Muhammadiyah Gresik karena pandangan-pandangannya. Itu menunjukkan bahwa di lingkungan Muhammadiyah sudah tidak ada lagi kemerdekaan berpikir. Ini adalah merupakan bentuk kecil-kecilan dari inkuisisi yang selalu dikritikkan ke alamat orang-orang Kristen pada zaman abad tengah yang memang memberangus atau tidak memberikan kesempatan kemerdekaan berpikir, sehingga menimbulkan perang agama. Agama pada waktu itu menjadi bencana bukan menjadi rahmat dan setelah mengalami perang selama 80 tahun akhirnya diperoleh perundingan dan kesepakatan yang merupakan awal dari sekularisme yaitu pemisahan antara agama dan politik, dan seterusnya seperti yang terjadi di Eropa.
Umat Islam pada umumnya bersikap mendua. Kalau sekularisme di lingkungan Kristen mereka menyetujui dan ajaran Kristen dianggap salah dan patut disekularisasikan, tetapi kalau sudah menyangkut umat Islam mereka menolak penyamaan Islam dengan Kristen. Padahal yang terjadi itu sama saja, baik yang terjadi di lingkungan umat Islam dewasa ini maupun yang terjadi di lingkungan Kristen pada masa abad pertengahan. Hanya saja, umat Islam mengalami keterlambatan. Sehingga, menurut hemat saya, umat Islam sekarang ini memasuki zaman gelap dan menunggu datangnya masa pencerahan melalui trilogi; liberalisme, pluralisme dan sekularisme. Itu yang sekarang saya perjuangkan dan diperjuangkan oleh penulis dan pemikir muda Moh Shofan.
Moh Shofan ini ternyata seorang penulis yang produktif. Dalam beberapa tulisannya yang tercecer di berbagai media–yang diterbitkan dalam buku kumpulan karangan ini–pikiran-pikirannya banyak membuat kalangan Islam yang tidak sejalan dengannya kerap menuduhnya sebagai orang yang berpikiran sesat sebagaimana yang dituduhkan Majalah Tabligh. Pernah dalam salah satu opininya yang diterbitkan oleh Media Indonesia mendapat tanggapan serius dari kalangan Muhammadiyah seperti misalnya Abd. Rahim Ghazali. Dalam tanggapannya, di Media Indonesia, Abd. Rahim Ghazali, memutar balikkan persoalan yang menurut hemat saya tidak ilmiah dan bersifat fitnah yang harus dijawab, untung seorang penulis muda yaitu Asep Gunawan telah membantah habis-habisan apa yang di tulis oleh Abdul Rahim Ghazali itu. Jadi, masalahnya sekarang sudah clear.
Kasus pemecatan Moh Shofan ini telah menjadi bahan di dalam tesis yang ditulis oleh Pradana Boy ZTF. Dalam penelitiannya yang berjudul ‘In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah’, Boy dengan tegas dan berani menggambarkan bahwa ada pertarungan antara kubu konservatisme dan kubu progresifisme di Muhammadiyah. Boy juga meng-highlight tragedi pemecatan Moh. Shofan dari UMG dan pemecatan Dawam Rahardjo sebagai gejala konservatisme yang berbahaya bagi masa depan Muhammadiyah. Bukti empirik lainnya yang menggambarkan konservatisme Muhammadiyah adalah Muktamirin di Malang yang sangat kritis terhadap isu-isu kontemporer seperti pluralisme, liberalisme dan gender. ‘Terlemparnya’ para intelektual liberal dari kepengurusan Muhammadiyah seperti M. Dawam Rahardjo, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman dan Amin Abdullah serta terpilihnya Din Syamsuddin sebagai Ketua PP Muhammadiyah sebagai kemenangan kubu konservatif.
Penelitian Pradana Boy ini akan menjadi saksi sejarah tentang apa yang sebenarnya terjadi di Muhammadiyah dan merupakan pembongkaran terhadap segala sesuatu yang selama ini tersembunyi, karena Muhammadiyah selama ini merasa terbuai oleh berbagai macam pujian, baik di dalam buku-buku, tesis, disertasi dan sebagainya. Tetapi kali ini mulai muncul penelitian yang melontarkan kritik terhadap Muhammadiyah dan kekhawatiran terhadap salah satu organisasi terbesar di Indonesia ini.
Kesimpulan yang saya tarik adalah Muhammadiyah meluncur menjadi gerakan yang konservatif. Sekarang ini Muhammadiyah bergerak dari konservatisme menjadi fundamentalisme dengan masuknya beberapa tokoh seperti Adian Husaini, Yunahar Ilyas dan juga Godwill Zubair yang merupakan tokoh pentolan dari paham fundamentalisme.
Perkembangan yang terjadi di Muhammadiyah ini menarik karena hal ini memang sudah pernah disinyalir oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang mengatakan bahwa Muhammadiyah telah berhenti menjadi organisasi pembaharu, sedangkan rekannya yaitu NU justru telah mengalami pembaharuan, walaupun pada waktu tulisan Cak Nur itu dibuat atau diterbitkan, gerakan pembaharuan itu belum kentara, tetapi sekarang ini sudah makin kentara. Saya melihat bahwa NU berbeda jurusan dengan Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah sekarang meluncur ke arah konservatisme dan fundamentalisme, maka di NU, justru mengalami liberalisasi pemikiran dan lebih mencerminkan satu pemikiran Islam yang modern dan moderat serta bersatu dengan gerakan kebangsaan di Indonesia. NU sekarang ini berkembang sebagai gerakan pembaharu Islam karena ada tokoh semacam Abdurrahman Wahid yang dengan kepemimpinannya yang pasti dan jelas melindungi pemikiran-pemikiran dan menfasilitasi pemikiran-pemikiran liberal. Kalau di lingkungan Muhammadiyah unsur-unsur muda progresif itu disingkirkan paling tidak diwaspadai untuk ditegur. Tapi di lingkungan NU, seliberal apapun pemikirannya–seperti yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla– walaupun dulu diusulkan untuk dilarang, tetapi NU tidak mengambil sikap untuk melarang gerakan tersebut.
Memang, di lingkungan Muhammadiyah sendiri ada juga gejala-gejala liberalisasi pemikiran dengan munculnya kelompok JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan juga PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban). Demikian juga, saat Muhammadiyah dibawah kepengurusan Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang telah tampil sebagai orang yang dianggap liberal bersama dengan pengurus pusat lainnya, seperti Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, Moeslim Abdurrahman dan juga saya sendiri. Tetapi, dalam kepengurusan Din Syamsudin, orang-orang itu telah tersingkir. Tokoh-tokoh itu konon dianggap sudah sepantasnya dikeluarkan dari Muhammadiyah karena berpikiran liberalis, pluralis dan sekuralis.
Hal ini sekali lagi memberikan bukti bahwa Muhammadiyah telah ditinggalkan oleh orang-orang yang berpandangan liberal, sehingga Muhammadiyah mengalami kemunduran lantaran sikap konservatisme dan fundamentalismenya. Hari depan Muhammadiyah dengan demikian adalah hari depan yang suram karena tidak lagi mewakili pemikiran yang moderat dan modern di Indonesia. Padahal semestinya, Muhammadiyah harus digantikan oleh anak-anak muda progresif, berpandangan liberal dan pluralis.
Saya merasa bersyukur sudah keluar dari lingkungan Muhammadiyah, sehingga saya merasa bebas untuk menulis mengenai apa yang saya yakini. Saya akan tetap berjuang untuk memperjuangkan trilogi yang diharamkan oleh MUI, karena saya mempunyai keyakinan, bahwa inilah jalan menuju pencerahan umat Islam dan hanya melalui pencerahanlah umat Islam akan bangkit kembali dan diterima oleh dunia modern. Sehingga umat Islam mengalami kemajuan secara internal dan memberikan sumbangan-sumbangan yang positif di dalam apa yang disebut public religion atau agama publik dengan sumbangan-sumbangan pemikiran keagamaan yang dibutuhkan sekali oleh bangsa kita dewasa ini.
Akhirnya, bagi mereka yang memiliki buku ini saya ucapkan selamat membaca. Dalam buku ini disertakan tulisan-tulisan tanggapan dari penulis lain seperti misalnya Budhy Munawar-Rachman, Zuhairi Misrawi, Martin Lukito Sinaga, Pradana Boy ZTF, Masdar Hilmi, Hasibullah Satrawi dan lain-lain yang melengkapi buku ini dalam bentuk dialog yang lebih menarik. Saya berharap bahwa buku ini tidak saja dibaca oleh kalangan umum yang bersimpati terhadap gerakan liberalisasi pemikiran Islam, tetapi dibaca juga oleh kalangan Muhammadiyah. Dan saya juga berharap bahwa buku ini akan mendapat reaksi yang sangat keras dari lingkungan Muhammadiyah sendiri karena Muhammadiyah memang sekarang berkembang menjadi gerakan konservatif dan reaksioner.
http://mohshofan.blogspot.com/2008/11/membaca-shofan-membaca-masa-depan.html
No comments:
Post a Comment