Kompas, Jumat, 6 Juli 2001
Mempersempit Jarak Muhammadiyah-NU
Oleh Zuly Qodir
MUHAMMADIYAH dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di negeri ini. Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa di tengah masyarakat, meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Orang-orang yang pernah terlibat dalam kedua ormas keagamaan ini juga sudah sangat lazim, baik yang duduk dalam birokrasi pemerintahan maupun yang aktif dalam dunia pendidikan (formal maupun nonformal). Dengan tingkat popularitas yang demikian tinggi, tidak heran bila sampai sekarang kedua organisasi keagamaan ini tetapi menjadi semacam "tempat bernaung" orang-orang Islam yang ingin terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan (dakwah amar ma'ruf nahi munkar) sebagai bagian tak terpisahkan dari seluruh aktivitas keagamaan.
Sebagai organisasi terbesar di negeri ini, ternyata antara Muhammadiyah-NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, bukan dalam teologi atau visi politik, tetapi perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastuktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia kurang berimbang. Tulisan ini tidak bermaksud mengurai perbedaan-perbedaan teologis, maupun politis, tetapi difokuskan pada perbedaan yang bersifat sosial (umum) namun berkait pada hal-hal yang bersifat khusus dan berkepanjangan (paling tidak sampai sekarang) saat Abdurrahman Wahid, mantan Ketua PB NU, menjadi orang nomor satu.
Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi Islam terbesar jaraknya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
Beberapa jarak perbedaan Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912 di Yogyakarta, sejak awal menjadi organisasi Islam bercorak modern, dalam arti dikelola secara manejemen modern. Karena itu, hampir bisa dipastikan lebih mengutamakan cara-cara rasional, perhitungan kualitas ketimbang kuantitas, beranggotakan orang-orang di perkotaan, mungkin lebih tepat dikatakan kelas menengah Muslim kota, para birokrat, pengusaha, dan pegawai negeri (sipil maupun militer).
Penelitian banyak mengemukakan, Muhammadiyah identik organisasi Islam yang mencontoh gerakan misi dan zending Barat (James Peacock, 1981; Mitsuo Nakamura, 1980; Lance Castles, 1982; Alfian, 1984). Berhubung Muhammadiyah mencontoh gerakan misi dan zending Barat. Maka menurut para pengamat, gerakan-gerakan yang dilakukan merupakan gerakan bercorak Barat, seperti mendirikan sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit.
Meski penelitian itu telah berlangsung lama, namun beberapa identifikasi yang dilakukan tidak seluruhnya salah. Untuk beberapa contoh masih cukup relevan dan signifikan, seperti dalam gerakan pendidikan, pembangunan rumah sakit, dan pembangunan panti asuhan bagi orang jompo dan anak-anak yatim. Hal ini juga yang menyebabkan Muhammadiyah pernah dikatakan sebagai organisasi duplikasi dari protestantisme karena mengambil spirit etika Protestan.
Sebagai organisasi yang dikelola secara modern, Muhammadiyah terlihat dan mencerminkan ada keteraturan dalam administrasi. Hal ini diwujudkan dalam pemberlakuan Nomor Baku Muhammadiyah (disingkat NBM dari tingkat Ranting sampai Pusat), pendataan seluruh amal usaha seperti sekolah, dari SD sampai perguruan tinggi yang menurut data terakhir berjumlah sekitar 15.000 perguruan/lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah, pembangunan rumah sakit dan panti asuhan.
Pendataan yang rapi menjadikan Muhammadiyah terlihat jelas berapa "kekayaan" yang dimiliki organisasi, bukan perorangan. Dengan pendataan yang rapi, memudahkan organisasi saat mengontrol ketidakjelasan sepak terjang pengelolanya.
Bermodal pendataan yang ketat, membuat organisasi ini amat "kaku" dan formalistik karena hampir seluruh urusan harus melalui birokrasi cukup rumit dan melelahkan karena harus ada kesepakatan dari tingkat ranting sampai pusat. Hal seperti ini kadang mengakibatkan transformasi pemikiran dari orang-orang yang amat kritis dalam wacana keagamaan (seperti M Amin Abdullah, A Syafii Maarif, dan A Munir Mulkhan) menjadi terhambat. Akibatnya, orang-orang ini akhirnya "bergerak" di luar jalur Muhammadiyah karena jika memakai jalur Muhammadiyah akan ditolak.
Berubah
Anggota Muhammadiyah dulu pernah didominasi birokrat dan penguasa. Kategori ini bisa dibenarkan untuk dekade 1980-an sampai 1990-an. Namun, untuk dekade pertengahan tahun 1990-an sampai sekarang, telah ada banyak perubahan. Akibatnya, kategorisasi pengikut Muhammadiyah adalah pengusaha dan birokrat, tidak lagi signifikan. Dalam hal ini, A Munir Mulkhan dan Musa Asy'arie pernah menyatakan, keanggotaan Muhammadiyah kini telah bercampur, tidak lagi pengusaha, birokrat, maupun pegawai negeri. Hal ini karena Muhammadiyah telah merambah desa-desa terpencil, petani menjadi penduduk mayoritas dan aktif sebagai pengurus. Sedangkan pegawai negeri di desa-desa langka. Kalaupun ada, mereka tidak banyak tertarik Muhammadiyah. Pendek kata, anggota Muhammadiyah telah mengalami perubahan dari birokrat dan pengusaha ke petani. (Mulkhan, 2000; Asy'arie, 1998)
Mengingat Muhammadiyah amat concern dengan pendidikan (formal), tidak heran jika banyak anggotanya mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Ini terjadi bukan hanya di lingkungan Muhammadiyah, tetapi non-Muhammadiyah, bahkan di luar negeri. Imbas yang didapat dari sini, Muhammadiyah akhirnya memiliki banyak "intelektual" yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan Muhammadiyah seperti A Syafii Maarif, M Amin Abdullah, A Munir Mulkhan (ahli ilmu-ilmu keagamaan). Sedangkan orang seperti Amien Rais, A Yahya Muhaimin, Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, M Syafii Anwar ahli dalam ilmu politik. M Dawam Rahardjo, M Amin Aziz, pakar ekonomi, sedangkan A Malik Fadjar ahli dalam manajemen dan keagamaan. Toha Muhaimin, Sugiat adalah dokter.
Tradisional
Sementara itu, sejak didirikan KH Hasyim Asy'ari tahun 1926, NU dikategorikan banyak pengamat sebagai gerakan Islam "tradisional", memiliki jamaah di desa-desa, berprofesi sebagai petani, berpendidikan rendah, "sarungan" sebagai pakaian khas, dan tidak dikelola secara modern.
Sebagai organisasi Islam yang dikesankan "tradisional", NU mau tidak mau harus menerima semacam "penghakiman" bila warga nahdliyin itu ndeso, bodoh, kumal, acak-acakan, tidak aturan serta serba mistis. Mengapa warga nahdliyin condong lebih menyukai hal-hal mistik? Hal ini karena tidak secara maksimal menggunakan rasio, dalam mengamati terjadinya perubahan-perubahan di dunia. Warga nahdliyin cenderung menyerahkan pada hal-hal gaib, seperti percaya pada wangsit, wahyu, barakah, dan karamah. Hal-hal semacam itu, di kalangan Muhammadiyah, nyaris diharamkan.
Mengingat tidak dikelola secara modern, NU bukan saja mengalami kebangkrutan dalam manajemen, tetapi sistem organisasinya tidak tertata maksimal. Tidak ada pendataan rapi tentang jumlah amal usaha yang dimiliki, seperti sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Ditambah lagi tidak terdeteksinya jumlah dan siapa "intelektual" dari nahdliyin yang mereka miliki. Memang, belakangan muncul intelektual-intelektual dari NU yang amat progresif, terutama dalam wacana keagamaan, baik dari kalangan muda maupun tua. Beberapa orang bisa disebutkan, seperti Masdar F Mas'udi, Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Baso, Syafiq Hasyim, M Fajrul Falaakh, yang bisa dibilang merepresentasikan generasi muda. Sementara orang seperti Said Agil Hussein Al Munawar, Said Agil Siradj, Hasyim Muzadi, M Ali Haedar, Masykuri Abdillah, dan Machasin merupakan representasi generasi tua.
Memang, NU tidak banyak memiliki sekolah (formal) sebagaimana Muhammadiyah karena tampaknya lebih berkosentrasi dalam dunia pesantren, terutama pesantren salafiyah, sebuah pesantren yang mengikuti tradisi-tradisi yang sangat lama (era sahabat Nabi), dengan pengkhususan dalam hal ilmu-ilmu agama, seperti Al Quran, bahasa Arab, dan fikih. Dalam hal ini, NU bisa dibilang "gudangnya" para winasis agama.
Dalam wilayah birokrasi, NU jauh "tertinggal" dibanding Muhammadiyah. Jika Muhammadiyah memiliki "orang" hampir di seluruh jajaran birokrasi pemerintahan (sampai era Habibie), maka "orang" NU bisa dihitung dengan jari tangan, itu pun tidak tinggi-tinggi, dan tidak bisa menularkan "rembesan" kepada warganya. Seorang ilmuwan NU, Machasin, pernah menyatakan, di kalangan NU tidak terjadi "pemerataan" kue kekuasaan karena jika ada birokrasi dari kalangan NU, dia tidak terbiasa memberikan "aliran rizki" kepada sesamanya, tetapi hanya untuk kepentingan sendiri dan keluarganya, meski sebenarnya organisasi membutuhkan bantuannya. Berbeda, dengan Muhammadiyah. Di kalangan Muhammadiyah, semangat solidaritas organisasi amat tinggi dan berjalan baik, sehingga jika ada orang Muhammadiyah menjadi birokrat, maka dia akan mencari dulu orang Muhammadiyah, tidak harus dari keluarganya, tetapi yang penting satu organisasi. Dari sana berakibat adanya pemerataan jabatan atau "aliran rizki" yang didapat dari kekuasaannya.
Mempersempit jarak
Dari perbandingan itu, untuk mempersempit jarak Muhammadiyah-NU, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan.
Pertama, bagaimana pada saat ini, saat Abdurrahman Wahid sebagai presiden, warga NU menyadari untuk "memanfaatkan" kesempatan mengorganisir kembali NU sehingga mengarah pada organisasi modern, minimal merapatkan barisan agar sama dengan Muhammadiyah pada saat awal berdirinya. Warga NU tidak perlu tergesa-gesa menyaingi Muhammadiyah, dengan penampilan mewah, tetapi sesaat dan sekarang.
Kedua, warga NU yang telah lama terlibat kekuasaan, birokrasi, maupun jabatan-jabatan penting lain, secara suka rela "mengulurkan tangannya" kepada sesama jamaah NU yang benar-benar membutuhkan, bukan hanya di lingkaran keluarga, atau saudara-saudaranya.
Ketiga, jika pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid bertahan hingga 2004, maka bila kiai-kiai mendapat sumbangan dana pemerintah, janganlah dimanfaatkan untuk inner ciycle keluarga kiai dan gus-gus saja, tetapi diserahkan kepada pesantren dan lembaga-lembaga NU lainnya dalam rangka peningkatan SDM di masa datang. Tetapi, bila Presiden Wahid harus turun sebelum 2004, warga nahdliyin tidak perlu berkecil hati untuk mendapat bantuan pemerintah.
Keempat, warga NU harus sabar dan konsisten melakukan kritik ke dalam, sebagai upaya perbaikan banyak hal (baca: manajemen, pendidikan, ekonomi, dan amal usaha) sehingga dapat tampil lebih perfect dan self confidence.
Sementara itu, warga Muhammadiyah juga harus berlaku sabar dan adil terhadap warga nahdliyin untuk bebenah diri, jangan senantiasa diolok-olok, dicaci, apalagi dikuyo-kuyo, seperti para elite politik saling menelikung sesama. Perlakuan terhadap Abdurrahman Wahid oleh DPR/ MPR tidak boleh terjadi antara warga Muhammadiyah terhadap NU. Di sinilah, sebenarnya rekonsiliasi dua ormas Islam terbesar di Indonesia telah dimulai dengan sesungguhnya.
* Zuly Qodir, alumnus PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta; anggota Muhammadiyah Cabang Banjarnegara; peneliti institut Interfidei DIAN/Interfidei Yogyakarta.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment