Tuesday, March 15, 2016

Syafii Maarif dan Etos Intelektual Humanis


Oleh Arif Saifudin Yudistira

Buya Syafii Maarif kini tak lagi muda. Usianya sudah 80 tahun lebih, tepatnya pada tanggal 31 Mei 2015 lalu. Tapi kiprah dan perannya dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan seperti tak pernah surut. Sebagai sosok yang telah uzur, ia bak bapak, sekaligus guru bangsa. Sosoknya yang ramah terhadap siapa saja dan akrab dengan berbagai kalangan membuatnya dikenal sebagai intelektual negeri ini maupun mancanegara.

Buah karya dan pemikirannya ikut serta mewarnai khazanah pemikiran di negeri kita dalam aspek keislaman, kebangsaan dan keindonesiaan. Sebagai sosok yang pernah memimpin organisasi islam terbesar kedua di Indonesia, Buya tak henti-hentinya menjadi muazin atau penyeru terhadap moralitas bangsa ini. Ia selalu lantang, tegas dan keras menyampaikan kritiknya terhadap pelbagai persoalan yang ada di bangsa ini.

Melalui organisasi Muhammadiyah yang dia pimpin, ia berkiprah dalam pelbagai aspek baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Ia konsen pada isu-isu kemanusiaan universal, tak pernah lelah menyerukan seruan nasionalisme, kebangsaan dan keindonesiaan. Suara dan pembelaannya terhadap kaum miskin, kaum terpinggirkan terus ia gelorakan sampai hari ini.

Buku Muazin dari Makkah Darat (2015) ini adalah apresiasi terhadap kiprah dan pemikiran serta kontribusinya selama ini yang konsisten dan merdeka dalam menyuarakan kritik dan pemikirannya untuk bangsa ini.

Mun’im Sirry misalnya menganggap bahwa pemikiran Buya Syafii didasarkan pada perhatiannya yang mendalam terhadap pesan-pesan Al-qur’an (h.44). Sebagai sosok yang mengenali islam dari dini, baik dari lingkungan sosialnya yakni di tanah Minang, sampai ketika ia melanjutkan di Muallimin Yogyakarta. Tempaan dan bimbingan semasa kecilnya hingga di Muallimin membawa buya memahami islam yang moderat dan toleran.

Terlebih selama ia belajar dalam bimbingan gurunya di Chicago, Amerika Serikat. Ia banyak terpengaruh dari gurunya Fazlur Rahman. Pemikirannya lebih mengembangkan kepada pesan-pesan Al-qur’an yang membawa rahmah bagi seluruh alam.

Noorhaidi Hasan misalnya menilai, bahwa Buya memiliki dinamika pemikiran yang brilliant. Bila sebelumnya di buku biografinya (Titik-titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif, 2006) ia menuliskan pandangannya terhadap negara islam, saat ini ia kini berubah dari fundamentalisme ke pluralism, dari syariat oriented menjadi seorang pembela demokrasi dan Pancasila (h.81).

Syafii Maarif adalah seorang pemikir yang kita punya yang tetap konsisten menyuarakan nilai-nilai pancasila, kebhinnekaan dan semangat kebangsaan. Meski demikian, ia tetap berdasarkan kepada spirit islam sebagai rahmah.

Karena itulah, semangat islam yang dibawa yang begitu inklusif, ramah dan toleran yang dibawanya membawanya memperoleh pengakuan dari dunia internasional yakni Raymond Magsasay Award di tahun 2008 dalam kategori Peace and International Understanding. Ia berulangkali menyerukan bahwa persoalan kemiskinan, persoalan kebodohan itulah yang mesti diberantas dan menjadi pekerjaan rumah semua agama.
Pembela Kaum Pinggiran

Bila Gus Dur begitu popular karena dianggap sebagai pelindung dan pengayom kaum minoritas, maka buya pun demikian halnya. Ia getol dan gencar untuk menyuarakan isu-isu feminisme, isu ateisme dan juga menolak diskriminasi terhadap kaum minoritas. Kiprahnya membela kaum atheis misalnya ditunjukkan melalui pernyataan dan suaranya terhadap sesama manusia.

Sumanto misalnya di buku ini mengutip bagaimana Syafii Maarif menanggapi komentar mengenai kaum Atheis. “Kita dan mereka harus dilihat dalam perspektif kemanusiaan yang bulat dan utuh bukan kemanusiaan yang lonjong dan terbelah. Seluruh suku bangsa, pemeluk agama, atau yang kurang hirau dengan agama harus merasa aman dan nyaman hidup di Indonesia, karena keadilan memang dijadikan acuan utama dalam strategi dan pola pembangunan yang masih menjadi harapan. Pilar kemanusiaan hanya bisa tegak dengan kuat jika prinsip keadilan tidak dipermainkan dengan bereaneka alasan dan kilah. Kegaduhan perjalanan sejarah modern Indonesia, terutama berakar pada sikap ketidakpedulian kita,khususnya para elite, terhadap masalah keadilan ini yang masih saja dibiarkan melayang di awan tinggi, belum dibawa turun ke bumi dengan sikap penuh kesungguhan” (h.313-314).

Buya juga seringkali melontarkan suara dan kritik pedas kepada pemimpin dan dewan kita yang ia sebut sebagai seorang yang tuna nurani dan tuna moral. Sikapnya dalam menyuarakan prinsip monogami menjadi suara tersendiri dan dinilai oleh Neng Dara Affiah sebagai buah dari didikan Muhammadiyah yang sudah dikembangkan oleh Aisyiyah dan Muhammadiyah semenjak dulu.

Pada akhirnya pemikiran Buya Syafii Maarif bisa dilihat sebagai buah pemikiran yang dinamis semenjak ia ditempat di lingkungan dan sekolah Muhammadiyah hingga ia memperoleh pendidikan di tingkat internasional. Buya tetap mengutamakan sikap beragama yang toleran, inklusif dan menyejukkan. Melalui sikap dan pemikirannya itulah, kita bisa belajar dari sosok yang berintegritas dan memiliki kontribusi besar dalam pelbagai masalah kemanusiaan.

*) Penulis adalah Pegiat BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK Kartasura

http://bukuonlinestore.com/syafii-maarif-dan-etos-intelektual-humanis/

No comments:

Post a Comment