Monday, March 21, 2016

Pola “Muhammadiyah-Jawa” = “Teteh Melody-JKT48”: Apa Melody harus masuk IMM? (2)


Hubungan Muhammadiyah-Jawa
Melalui Muhammadiyah Jawa, A. Najib Burhani ingin menjelaskan dan menelusuri berbagai dokumen pada rentang waktu 1912 hingga 1930, yang membuktikan bahwa Muhammadiyah juga merupakan representasi dari Islam varian Jawa. Sebab selama ini, banyak kalangan—termasuk anggota Muhammadiyah—yang menganggap bahwa Nahdhatul ‘Ulama’-lah satu-satunya representasi Islam Jawa, terlihat secara kasar bahwa NU lebih dekat dengan tradisi Jawa, melalui tahlilan, slametan, dan mauludan, dibanding Muhammadiyah yang rasanya kurang memberikan apresiasi terhadap tradisi/budaya Jawa. Latar belakang penulisan buku mas Najib ini terkait dengan persoalan bahwa Muahammadiyah, yang dicirikan dengan gerakan puritan Islam, seolah-olah akan merubah semua budaya Jawa yang dianggap sinkretis. Sehingga, tidak bisa dipungkiri pandangan semacam inilah yang sekarang ini menyebar dan parahnya banyak kalangan menerima kenyataan itu taken for granted; apa adanya, tanpa kritik. Yang lebih menguatirkan lagi, fakta berupa dokumen serta berita resmi Muhammadiyah menunjukkan bahwa Muhammadiyah pada masa awal beridirnya sangat erat sekali dengan budaya Jawa, tidak hanya pada Keraton tapi juga Boedi Oetomo (BO) yang dahulu merupakan organisasi priyayi-Jawa, tidak ketahui sebagian besar orang, sehingga pandangan yang terlanjur menyebar tidak bisa dibendung. Sudah banyak kajian para sarjana menegenai hubungan Muhammadiyah dengan Jawa, tetapi belum ada kajian mengenai hubungan keduanya yang terjalin pada masa awal beridirnya. Nah, mas Najib melalui buku ini ingin bersikap kritis terhadap pandangan yang terlanjur mengakar dan diterima apa adanya,  dengan menutup kekosongan kajian tentang Muhammadiyah dalam hubungannya dengan budaya Jawa pada awal berdirinya.

Fokus pertama dari buku mas Najib ini adalah pada hubungan antara Islam dan Jawa. Jawa, sebagaimana juga budaya lain mempunyai apa yang disebut sebagai budaya dalam (deep culture). Budaya dalam ini sifatnya tidak terlihat secara kasat mata. Sedangkan budaya permukaan (surface culture) sebaliknya, bisa dilihat secara kasat mata, yang tercermin melalui bahasa, seni, pakaian, hari besar, makanan dsb. Budaya permukaan Jawa terlihat dari bahasa jawa, yang terdiri dari bahasa ngoko biasa dipakai untuk percapakan non-formal dan ditujukan untuk mereka yang umurnya sebaya, madya (semi-formal) dan kromo yang digunakan untuk percapakan formal, digunakan untuk percakapan dengan orang tua. Dari segi perayaan hari besar, Jawa memiliki beberapa hari besar, seperti grebeg Suro, Mauludan (Maulid Nabi), riyaya (Hari raya ‘idhul fitri dan idhul adha). Pakaian orang Jawa seperti blangkon, tapih untuk perempuan, beskap juga merupakan aspek dari budaya permukaan Jawa. Begitu juga dalam masalah makanan seperti sego tumpeng, bubur abang-putih biasanya untuk acara mithoni (acara peringatan tujuh bulanan kehamilan) dst, dibuat sesuai dengan maksud tertentu. Terakhir, seni Jawa klasik, yang dikenal banyak kalangan dengan jathilan, wayang wong, dan ludruk (h. 18-23). Buku mas Najib ini menekankan pada aspek budaya permukaan (surface culture) dalam memahami dan membaca sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa.

Sarjana barat yang mengkaji hubungan Islan dengan Jawa bisa dibedakan ke dalam dua pandangan ekstrem: Pandangan Orientalis-Lama dan Pandangan yang berpusat pada Islam. Pertama, disebut oleh mas Najib sebagai Paradigma Orientalis Lama, bahasa keren-nya Old-Orientalist Paradigm yang berpandangan bahwa dalam mengkaji Jawa, sebaiknya para sarjana tidak mengfokuskan diri pada Islam sebagai faktor utama, karena Islam hanya bagian dari berbagai elemen budaya yang tersebar di Jawa, seperti pra-Hindu, Hindu, Budha, dan Kristen. Sehingga, dalam paradigma ini, menempakan Islam sebagai bagian kecil dari budaya Jawa. Para tokoh berparadigma orientalis-lama diwakili oleh Thomas Raffles, Clifford Geertz, dan James L. Peacock.

Pembagian masyarakat Jawa menjadi putihan dan abangan, pada mulanya ditemukan dalam tulisan Carel Poensen, sebagaimana dikutip dalam buku (cat. nomor 21, h. 25). Putihan ialah sebutan untuk orang Jawa yang Islam lahir-batin; tidak hanya sebatas pada status formal saja tetapi juga secara batiniyyah meyakini ajaran Islam. Sedangkan abangan sebutan untuk orang Jawa yang beragama Islam hanya sebatas status-formal saja, tetapi jauh di dalam batinnya masih mengimani agama Jawa (Jawanisme). Pemerintah Belanda juga akhirnya memakai istilah ini untuk membagi masyarakat Jawa sebagau usaha untuk menceraikan antara Islam dan adat (Jawa). Proyek ini dijalankan oleh Snouck Hurgronje dan Cornelis Van Vollenhoven untuk menerapkan adat sebagai system hukum di Indonesia pada waktu itu. Hal ini tidak lain hanya untuk semakin menjauhkan nuansa Islam; singkatnya mengadu domba Islam dan budaya. Namun hal tersebut tidak berjalan sesuai rencana, ternyata Islamisasi di Jawa melalui kerajaan/istana bahkan tumbuh dengan massif. Karenanya, pemerintah colonial mengubah strategi. Strategi yang diambil selanjutnya dengan usaha untuk membaratkan Jawa. Proyek pembaratan Jawa ini target utamanya adalah para prirayi, sebab mereka (priyayi) mempunyai kekuatan dan otoritas untuk mempengaruhi rakyat biasa dan mereka mempunyai akses pengetahuan yang lebih terbuka pada Barat daripada masyarakat biasa. Akhirnya, banyak kalangan priyayi yang sebelumnya dekat dengan Islam, harus terpisah bahkan semakin jauh dari Islam. Terjadilah trikotomi santri-abangan-priyayi yang dipopuleran Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java (1976). Sehingga, bisa dikatakan pertentangan yang terjadi antara Islam dan budaya (adat) tidak bisa dilepaskan dari peranan pemerintah colonial yang tidak menginginkan hubungan harmonis antara keduanya.

Geertz, yang berpandangan dengan gaya orientalis lama, membuat garis demarkasi yang ketat antara Islam dan adat (Jawa). Baginya, Islam hanyalah bagian dari budaya Jawa, yang bahkan pengaruhnya amat kecil dibandingkan dengan elemen lain yang datang sebelum Islam seperti animism, dan Hindu-Budha. Filosofi Jawa seperti andap-asor; alus-kasar; semuanya didasari pada pemikiran filosofi Hindu dan Budha. Sopan-santun serta andap-asor  merupakan turunan dari konsep kasta dalam Hindu, yang digunakan dalam berhubungan sosial dengan orang yang lebih tinggi status sosialnya. Konsep alus-kasar, dalam bidang seni, menggambarkan pemikiran Hindu juga, istilah seni alus untuk kasta Brahma-Ksatria, dan kasar untuk masyarakat biasa (Weisya). Semua sarjana yang disebut dalam kelompok ini berpadangan bahwa Islam bukanlah faktor utama, karenanya Islam menjadi inferior. Pandangan tersebut tentu saja sejalan dengan pandangan orientalis Barat dalam melihat Islam (h. 24-34).

Pandangan kedua, pandangan yang berpusat pada Islam, atau Islam-centered. Sarjana barat yang sependapat dengan pandangan ini diwakili oleh Mark R. Woodward, Marshall G.S Hodgson dan Willliam R. Roff. Pandangan ini bertolak belakang dari pandangan Orientalis-lama. Pandangan ini menyatakan bahwa Islam lah faktor yang dominan dalam membentuk masyarakat Jawa, bukan Hindu-Budha seperti disebut oleh orintalis lama. Mas Najib mendasarkan argument pandangan ini dari Mark Woodward, yang juga turut hadir dalam acara Diskusi Majelis DIKTI waktu lalu. Dalam berbagai penelitian dan berbagai temuan Woodward dalam Islam in Java (1989), agama di Jawa tidaklah punya akar Hindu-Budha. Tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa Hindu-Budha punya pengaruh pada agama masyarakat Jawa. Misalnya saja, dalam budaya grebeg mulud (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW), Woodward tidak menemukan lagi unsur-unsur Hindu-Budha dalam acara tersebut, tidak ada lagi epic Mahabharata dalam setiap detail acaranya. Islam telah menjadi agama resmi, dimana etika dan tata krama perbuatan juga bersandar kepadanya. Karena pola Islamisasi di Jawa berlangsung dari atas ke bawah (top-down) sehingga ketika Islam telah menjadi agama resmi istana, maka hal itu pula secara perlahan akan meresap dan diparaktikkan oleh masyarakat biasa yang berada di luar istana. Woodward menambahkan bahwa Hindu-Budha tidak lagi menjadi pondasi dasar budaya Jawa. Sebab Islam sudah beradaptasi dengan budaya pra-Islam, kemudian memunculkan tradisi baru yang justru sarat akan nilai-nilai Islam. Singkatnya, Islam telah merasuk begitu dalam pada budaya Jawa (h. 39-44).

Fokus kedua  dari buku ini menjelaskan tentang lingkungan sosial dimana Muhammadiyah didirikan, serta sikap Muhammadiyah dalam merespon budaya Jawa. Tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan serta konteks sosial dimana Muhammadiyah bediri, berkaitan erat dengan budaya Jawa. Muhammadiyah berdiri di Kauman, sebuah tempat yang sangat dekat dengan Keraton; pusat budaya Jawa Jogja. Keraton kasultanan Ngayogyakarta merupakan warisan dari Mataram Islam. Selain Keraton Jogja, pecahan Mataram Islam dibagi menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Pembangunan arsitektur keraton Jogja, menurut Woodward, merupakan data kongkret-komprehensif bahwa Islam telah mengakar di lingkungan Keraton. Bahkan dalam desain arsitekturnya, keraton dibangun berdasar pada konsep tasawwuf Islam yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah.

Selain itu, aspek yang tak kalah penting untuk menjelaskan lingkungan yang melingkupi pendirian organisasi Islam tertua ini adalah, bahwa Ahmad Dahlan merupakan seorang abdi dalem Keraton. Dalam wawancaranya bersama Gusti Joyo, mas Najib menemukan informasi bahwa julukan Ahmad Dahlan adalah Raden Ngabehi (R. Ng.), bukan Mas sebagaimana dijelaskan para sejarawan. Jika dilihat dari garis keturunannya, Ahmad Dahlan termasuk dalam keturunan Kyai-priyayi. Ayahnya, KH Abu Bakar bin Kyai Mas Sulaiman merupakan seoarang ketib dan abdi dalem yang menangani urusan keagamaan. Seteah kematian ayahnya, Ahmad Dahlan ditunjuk untuk menjadi ketib amin sehingga ia juga menjabat posisi resmi di Keraton. Salah satu tugasnya ialah memimpin grebeg, yang terdiri grebeg Mulud (peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad) dan  grebeg Besar (peringatan riyaya) serta acara keagamaan lain. Dalam posisi seperti ini, semakin meneguhkan bahwa sesungguhnya Ahmad Dahlan sangat menghormati tradisi Jawa. Sehingga terlihat jelas bahwa Muhammadiyah melakukan proses adaptasi terhadap budaya Jawa dengan cara yang baik, santun dan damai.

Ahmad Dahlan tidak saja menjadi abdi dalem tetapi ia juga menjadi anggota dari salah satu organisasi kebudayaan Jawa modern, Boedi Oetomo (BO), yang aggotanya terbatas pada kalangan priyayi saja. Pada tahun 1909, ia masuk menjadi anggota Boedi Oetomo setelah diperkenalkan oleh Mas Djojosumarto. Organisasi ini membuat Ahmad Dahlan menjadi anggota aktif sampai wafatnya pada 1923.

Hubungan yang terjalin antara BO dan Ahmad Dahlan semakin erat dengan pembentukan Muhammadiyah. Pada awal gagasan pendirian Muhammadiyah, Ahmad Dahlan banyak dibantu oleh BO. Diskusi mengenai aturan administrasi pendirian organisasi baru juga banyak dilakukan Ahmad Dahlan bersama pengurus Boedi Oetomo. Pada masa itu, pemerintah Belanda tidak mudah mengizinkan berdirinya organisasi baru, karena itu pada proses kelengkapan administrasi BO juga melakukan supervisi langsung. Masuknya tujuh (7) anggota Muhammadiyah ke BO merupakan saran dari BO agar bisa memudahkan persyaratan administrasi perizinan pendirian organisasi secara resmi, merupakan salah satu contohnya. Tidak hanya itu, setelah berdirinya Muhammadiyah, hubungan kedua organisasi ini pun berlangsung harmonis. Beberapa guru dari sekolah BO mengajar di sekolah Muhammadiyah begitu juga sebaliknya, guru-guru agama Muhammadiyah diperkenankan mengajar di sekolah pemerintah seperti H.K.S Purowerjo dan OSVIA di Magelang, Jawa Tengah. Inilah kiranya jalan Muhammadiyah dalam merasionalisasi dan modernisasi masyarakat Kauman khususnya kala itu, yaitu dengan jalan pendidikan. Sedangkan dalam upayanya membendung proyek kristenisasi di Jawa yang didudukung oleh pemerintah Belanda kala itu, Muhammadiyah mulai mendirikan rumah sakit sebagaimana dilakukan oleh Kristen (h. 72-6).

Dalam konteks sosial seperti dijelaskan diatas, Muhammadiyah tidak akan bisa dilepaskan dari budaya Jawa. Alih-alih mengutuk budaya Jawa, Ahmad Dahlan beserta para anggota Muhammadiyah awal sangat mengapresiasi tradisi Jawa. Tradisi Kauman dimana Muhammadiyah lahir didukung dengan sebagian besar anggota Muhammadiyah awal merupakan abdi dalem, termasuk sang pendiri Ahmad Dahlan menjadikan organisasi Islam ini tidak bisa keluar dari tradisi/budaya Jawa. Tercatat tujuh dari Sembilan pendiri Muhammadiyah pada perijinan resmi kepada pemerintah adalah abdi dalem, dua yang lain juga masih keturunan priyayi serta keturunan abdi dalem pamethakan (pejabat urusan agama keraton) (h. 82-4). Apalagi kedekatan Ahmad Dahlan kepada Boedi Oetomo semakin menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah untuk belajar dari organisasi kebudayaan (Jawa) ini. Sehingga hampir seluruh dokumen yang digunakan mas Najib memberikan gambaran bahwa sikap Muhammadiyah pada budaya Jawa bisa dilihat terutama kali pada budaya permukaan: dari aspek perilaku, bahasa, busana, dan nama.

Dalam berperilaku, Ahmad Dahlan (dan Muhammadiyah) tidak pernah melanggar aturan, unggah-ungguh budaya Jawa (Keraton). Bahkan, ia sebagai ketib amin berhubungan baik dengan Sultan (Raja). Selain itu, anggota Muhammadiyah lain, yang juga merupakan abdi dalem keraton juga turut serta dalam mengapresiasi tata cara perilaku Jawa. tidak hanya itu, sebagai ketib amin, Ahmad Dahlan menjalankan tugas untuk mengurus acara besar kegamaan Keraton yang selalu rutin diadakan, seperti grebeg Mulud yang dilaksanakan sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, grebeg Besar dilaksanakan ketika hari raya kurban hingga Sekaten. Dari sini terlihat sikap jelas Muhammadiyah dalam memberikan apresiasi terhadap budaya Jawa. hingga saat ini, Muhammadiyah tidak mengecam grebeg (h. 95-101).

Tidak hanya dalam aturan perilaku Muhamamdiyah mengapresiasi budaya Jawa. Dari sisi bahasa, Muhammadiyah di masa awal juga menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa penerjemahan al-Qurān. Inilah pandangan Muhammadiyah, yang membolehkan penerjemahan al-Qurān dengan bahasa selain bahasa Arab (a’jami). Selain itu, dalam hal  penerbitan Muhammadiyah juga menggunakan bahasa Jawa dan Melayu. Dari sisi ibadah, Ahmad Dahlan bahkan membolehkan orang yang belum mampu sholat dengan bahasa Arab, supaya belajar dahulu menggunakan bahasa Jawa. Hingga dalam penyampaian khutbah Jum’at, yang pada saat itu sebagian besar disampaikan menggunakan bahasa Arab, Muhammadiyah memulai penggunaan bahasa Jawa, dengan alasan supaya mudah dipahami dan dimengerti jama’ah.

Beskap, belangkon, kuluk, atela merupakan pakaian yang sering digunakan oleh anggota Muhammadiyah. Inilah bentuk kecintaan pada budaya Jawa. hampir semua foto-foto dokumen lama menunjukkan jelas bahwa sebagian besar memakai baju khas Jawa. Apalagi perihal nama, banyak nama Jawa dalam anggota (juga pendiri) Muhammadiyah, dengan berbagai sebutan seperti Mas, Raden, dan Haji. (h. 102-17).

Focus Ketiga dari buku ini yaitu pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa.  Pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak pernah menentang budaya Jawa bahkan dalam banyak hal mengapresiasi. Namun seiring berjalan waktu, banyak perubahan serta pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap budaya. Mas Najib memberikan pemetaan sebab pergeseran itu menjadi faktor internal dan ekternal. Faktor internal banyak dipengaruhi oleh keadaan dalam intern Muhammadiyah. Penyebab pertama pergeseran sikap dari dalam (internal) adalah pengaruh anggota Muhammadiyah dari Minangkabau. Satu tokoh Muhammadiyah yang banyak mempengaruhi pemahaman agama yang keras serta menentang tradisi adalah Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), dikenal dengan Haji Rasul; Ayah dari Buya Hamka. Haji Rasul, yang merupakan pendiri Muhammadiyah di Minangkabau, dalam setiap dakwahnya sering mengktirik berbagai tradisi adat, sehingga terjadi pertentangan antara ulama tradisional, Kaum Tua dengan Kaum Adat. Karakter pemahaman agama Haji Rasul bercorak revivalis-putiran.

Selain dari pengaruh anggota Minangkabau, pendirian Majelis Tarjih juga merupakan faktor lain yang turut berkontribusi menggeser sikap Muhammadiyah pada budaya. Majelis ini didirikan resmi pada tahun 1928 di Kongres Muhammadiyah ketujuh di Yogyakarta. Pendirian majelis ini awalnya bertujuan untuk menaganai permasalahan khilāfiyyah, terutama dalam masalah yang berkaitan dengan hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Tetapi setelah berjalan, Majelis ini mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang malah menghambat adanya inovasi, karena khawatir akan bid’ah. Pendirian majelis ini juga terkesan kontradiktif, karena pemahaman Muhammadiyah akan Islam tidak mengikuti (terikat) madzhab tertentu, sehingga pendirian Majelis ini dianggap sebagai madzhabnya Muhammadiyah. Hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah terlalu sibuk dengan persoalan ibadah dalam makna yang sempit, dari pada mengurus persoalan sosial yang dahulu menjadi ciri utama gerakan Al-Maun. Ini yang disebut dalam buku sebagai Paradigma ber-orientasi Syari’at (Syariah-oriented). Dalam keterkaitannya dengan budaya Jawa, nama-nama Jawa juga berkurang dan banyak bermunculan nama Arab, itu bukan permasalahan tetapi menjadi persoalan ketika nama Arab dianggap lebih mulia dari nama Jawa. Muhammadiyah saat itu tampil sebagai gerakan purifikasi daripada gerakan sosial serta modernisasi (h. 130-43).

Sedangkan dari faktor eksternal, kemenangan Wahabi di Mekkah, menguatnya Nasionalisme dan pendirian Nahdhatul ‘Ulama merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran sikap di Muhammadiyah. Pada tahun 1924 Wahabi yang berhasil menaklukkan Mekkah, bertekad memurnikan ajaran-ajaran agama. Gerakan ini secara eksternal turut mempengaruhi pergeseran Muhammadiyah menjadi sangat puritan. Aspek nasionalisme, juga turut memberikan andil dalam perubahan sikap terutama kali jika dilihat dari aspek bahasa. Bahasa Jawa yang sebelumya menjadi bahasa resmi dalam penerbitan maupun dakwahnya perlahan diganti menjadi bahasa Indonesia, terutama setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Lahirnya NU pada 1926, dengan cirinya yang erat dengan budaya/tradisi Jawa, semakin meneguhkan posisi Muhammadiyah sebagai ‘lawan’-nya, karena Muhammadiyah pada saat itu cenderung kepada gerakan purifikasi. Sehingga tergambar citra bahwa Muhammadiyah lebih dekat dengan Wahabi dan NU dekat dengan budaya Jawa (h. 144-6).

Pada saat itulah kiranya pertama kali lahir pandangan yang selalu mempertentangkan Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama. Pandangan itu yang senantiasa diulang-ulang, direpoduksi sehingga secara tidak sadar mengakar kuat dalam benak dan alam bawah sadar kita. Dari titik inilah sebetulnya, perpecahan pandangan yang banyak menghubungkan Muhammadiyah dengan ideology Wahhabi bisa dijelaskan dengan bijak. Karena bagaiamanapun juga, kelahiran Muhammadiyah tidak akan pernah bisa dilepaskan dari tradisi Jawa, baik personal pendirinya (mayoritas abdi dalem Keraton, berperilaku Jawa, berbahasa, bernama dan berbusana Jawa), maupun secara organisatoris; yang dalam pendirian serta perkembangannya banyak dibantu Boedi Oetomo. Begitu sebaliknya, Keraton sebagai symbol budaya Jawa bagi masyarakat Kauman (Jogja pada umumnya), tidak akan bisa melepaskan bagian sejarah perjalanannya dari Muhammadiyah.

Begitulah kiranya gambaran hubungan Muhammadiyah-Jawa. Jika kita mau melihat sejarah dengan jernih, tampak sekali bahwa Muhammadiyah sangatlah mengapresiasi budaya Jawa, dan tidak cenderung kepada gerakan Wahabi—sebagaimana tergambar di benak sebagian orang saat ini. Muhammadiyah dan Jawa bukanlah entitas yang saling bertentangan tetapi saling mengisi dan berdialog dengan cara: yang Islam dan Jawa punyai yaitu halus, damai dan bijak. Sehingga bisa dikatakan Muhammadiyah adalah Islam-Jawa. 

Retrieved from: https://rifdoisme.wordpress.com/2016/03/17/pola-muhammadiyah-jawa-teteh-melody-jkt48-apa-melody-harus-masuk-imm-2/#more-616

No comments:

Post a Comment