By: IMM Hatta-Feb →
Selasa, 19 November 2013
A. PENDAHULUAN IMM (Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah) ialah organisasi mahasiswaIslam di Indonesia yang
memiliki hubungan struktural dengan organisasi Muhammadiyahdengan
kedudukan sebagai organisasi otonom. Memiliki tujuan terbentuknya akademisi
Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
Keberadaan IMM di
perguruan tinggi Muhammadiyah telah diatur secara jelas dalam qoidah pada bab
10 pasal 39 ayat 3: "Organisasi Mahasiswa yang ada di dalam Perguruan
Tinggi Muhammadiyah adalah Senat Mahasiswa dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM)”. Sedangkan di kampus perguruan tinggi lainnya, IMM bergerak dengan
status organisasi ekstra-kampus — sama seperti Himpunan Mahasiswa Islam mapun KAMMI — dengan
anggota para mahasiswa yang sebelumnya pernah bersekolah di sekolah
Muhammadiyah.
Kelahiran IMM dan
keberadaannya hingga sekarang cukup sarat dengan sejarah yang melatarbelakangi,
mewarnai, dan sekaligus dijalaninya. Dalam konteks kehidupan umat dan bangsa,
dinamika gerakan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, serta kehidupan
organisasi-organisasi mahasiswa yang sudah ada, bisa dikatakan IMM memiliki
sejarahnya sendiri yang unik. Hal ini karena sejarah kelahiran IMM tidak luput
dari beragam penilaian dan pengakuan yang berbeda dan tidak jarang ada yang
menyudutkannya dari pihak-pihak tertentu. Pandangan yang tidak apresiatif
terhadap IMM ini berkaitan dengan aktivitas dan keterlibatan IMM dalam
pergolakan sejarah bangsa Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an; serta
menyangkut keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
pada waktu itu.
Ketika IMM dibentuk
secara resmi, itu bertepatan dengan masa-masanya HMI yang sedang gencar
dirusuhi oleh PKI dan CGMI serta terancam
mau dibubarkan oleh rezim kekuasaan Soekarno. Sehingga kemudian muncul anggapan
dan persepsi yang keliru bahwa IMM didirikan adalah untuk menampung dan
mewadahi anggota HMI jika dibubarkan. Logikanya dalam mispersepsi ini, karena
HMI tidak jadi dibubarkan, maka IMM tidak perlu didirikan. Anggapan dan klaim
yang mengatakan bahwa IMM lahir karena HMI akan dibubarkan, menurut Noor Chozin
Agham, adalah keliru dan kurang cerdas dalam memberi interpretasi terhadap
fakta dan data sejarah. Justru sebaliknya, salah satu faktor historis kelahiran
IMM adalah untuk membantu eksistensi HMI dan turut mempertahankannya dari rongrongan
PKI yang menginginkannya untuk dibubarkan.
Penilaian yang kurang
apresiatif terhadap kelahiran IMM juga bisa terbaca pada jawaban terhadap
pertanyaan Victor I. Tanja. Dalam
bukunya Tanja mempertanyakan: Barangkali kita akan heran, mengapa Muhammadiyah
memandang perlu untuk membentuk organisasi mahasiswanya sendiri? Dari salah
seorang anggota HMI (yang tidak disebutkan atau menyebutkan namanya) keluar
jawaban, bahwa selama masa pemerintahan Presiden Soekarno dahulu
untuk mendapatkan persetujuan darinya, sebuah organisasi harus dapat
membuktikan bahwa ia mempunyai dukungan kuat dari masyarakat luas. Untuk
memenuhi persayaratan inilah maka bukan saja Muhammadiyah, tetapi semua gerakan
sosial politik yang ada di tanah air harus membentuk sebanyak mungkin
organisasi-organisasi penunjang.
Daftar isi
Sesungguhnya ada dua
faktor integral yang menjadi dasar dan latar belakang sejarah berdirinya IMM,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Yang dimaksud dengan faktor intern
adalah faktor yang terdapat dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah itu sendiri.
Sedangkan faktor ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang dari dan berada
di luar Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat dan bangsa serta
dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.
Faktor intern
sebetulnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealis dari dalam, yaitu
dorongan untuk mengembangkan ideologi, paham, dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk
mewujudkan cita-cita dan merefleksikan ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti
bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat
yang majemuk. Ada masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual,
profesional, mahasiswa. dan sbagainya.
Interaksi dan
persinggungan Muhammadiyah dengan mahasiswa untuk merealisasikan maksud dan
tujuannya itu, cara dan strateginya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan
memengaruhinya di kampus-kampus perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan
menyediakan dan membentuk wadah khusus yang bisa menarik animo dan
mengembangkan potensi mahasiswa. Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi
mahasiswa tersebut lahir pada saat Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres Seperempat
Abad Kelahiran Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada kesempatan itu
dicetuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendidirkan universitas atau
perguruan tinggi Muhammadiyah.
Namun demikian,
keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah
tersebut tidak bisa langsung terwujud, karena pada saat itu Muhammadiyah belum
memiliki perguruan tinggi sendiri. Untuk menjembataninya, maka para mahasiswa
yang sepaham, atau mempunyai alam pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah itu
diwadahi dalam organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan Pemuda
Muhammadiyah, serta tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada tanggal
18 November 1955, Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk
mendirikan perguruan tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada tahun
1936, yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang.
Pada tahun 1958, fakultas serupa dibangun di Surakarta; kemudian di Yogyakarta
berdiri Akademi Tabligh Muhammadiyah; dan Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang
kemudian berkembang menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian,
cita-cita untuk membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut belum
bisa terbentuk juga pada waktu itu. Kendala utamanya karena Muhammadiyah—yang
waktu itu masih menjadi anggota istimewa Masyumi—terikat Ikrar Abadi umat Islam
yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang salah satu isinya
menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah HMI.
Sejak kegiatan
pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang pada tahun
1960-an itulah kembali santer ide tentang perlunya organisasi yang khusus
mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu, menjelang Muktamar
Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun 1962, mahasiswa-mahasiswa
perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di
Yogyakarta. Dari kongres ini pula upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi
mahasiswa Muhammadiyah kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai
diadakan penjajagan berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal
dari Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr.
Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.
Dorongan untuk segera
membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga datang dari para mahasiswa
Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M.
Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan
tersebut, maka PP Pemuda Muhammadiyah—waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua
Umum dan M. Djazman Al Kindi sebagai Sekretaris Umum—mengusulkan kepada PP
Muhammadiyah—yang waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi—untuk mendirikan
organisasi khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah—atas usul Drs. Mohammad Djazman yang--, dan kemudian disetujui
oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14 Maret 1964 (29 Syawwal
1384). Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan di gedung Dinoto
Yogyakarta; dan ditandai dengan penandatanganan "Enam Penegasan
IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang berbunyi:
1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
2. Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM;
3. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah;
4. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan seenantiasa diabdikan
untuk kepentingan rakyat.
Sedangkan faktor
ekstern berdirinya IMM berkaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan di luar
dan di sekitar Muhammadiyah. Hal ini paling tidak bertalian dengan keadaan umat
Islam, kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia, serta dinamika
gerakan mahasiswa.
Keadaan dan kehidupan
umat Islam waktu itu masih banyak dipenuhi oleh tradisi, paham, dan keyakinan
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Keyakinan dan praktek
keagamaan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, banyak bercampur
baur dengan takhayul, bid`ah, dan khurafat.
Sementara itu dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh ideologi
komunis (PKI), keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan
antar golongan dan partai politik. Sehingga, kendati waktu itu Indonesia telah
merdeka selama kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa mencerminkan makna dan
cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan rakyat terkungkung,
sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme merajalela akibat kebijakan
demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Keadaan politik
Indonesia sekitar awal sampai dengan pertengahan tahun '60-an, tulis Cosmas
Batubara, sangat menarik. Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa
perkembangan dan kehidupan politik saat itu diwarnai oleh tiga pelaku politik
yang amat dominan, yaitu: Diri pribadi Presiden soekarno; ABRI (terutama sekali
angkatan Darat); dan PKI. Ketiga kekuatan politik tersebut sangat mewarnai dan
memengaruhi perilaku dan orientasi kehidupan berbangsa, dan bernegara di
berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Di kalangan organisasi mahasiswa,
orientasi dan perilaku politiknya juga terbagi ke dalam tiga kekuatan dominan
tadi. Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno
adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL
(Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti
dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).
Di tengah kemelut dan pertentangan garis politik tersebut, pergolakan
organisasi-organisasi mahasiswa sampai dengan terjadinya G30S 1965
terlihat menemui jalan buntu dalam mempertahankan partisipasinya di era
kemerdekaan RI. Pada waktu itu sejak Kongres Mahasiswa Indonesia di malang pada
tanggal 8 Juni 1947, organisais-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI
(Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persekutuan Mahasiswa
Kristen Indonesia; yang pada tahun 1950 berubah menjadi GMKI [Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia]), PMJ (Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD (Persatuan
Mahasiswa Djakarta), MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH (Persatuan
Mahasiswa Kedokteran Hewan), dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) berfusi ke
dalam PPMI (Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang
bersifat independen. Independensi PPMI sebagai penggalang kekuatan
anti-imperialisme pada mulanya berjalan kompak. Tetapi setelah mengadakan
Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) di Bandung tahun 1957—yang menjadi
prestasi puncak PPMI—masing-masing organisasinya kemudian memisahkan diri. Hal
ini karena pada tahun 1958 PPMI menerima CGMI, selundupan PKI, yang kemudian
melancarkan aksi intervensi untuk memengaruhi organisasi mahasiswa lain agar
keluar dari PPMI. Akhirnya , karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI
tersebut, maka masing-masing organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada bulan
oktober 1965, setelah PKI dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi membubarkan
diri. Sasaran gerakan CGMI sebetulnya ingin mendominasi gerakan mahasiswa dan
kehidupan kampus serta ingin menyingkirkan organisasi-organisasi mahasiswa
Islam seperti HMI.
Sesungguhnya sebelum
PPMI membubarkan diri, antara tahun 1964 sampai 1965 masing-masing organisasi
mahasiswa yang berfusi di dalamnya bersikap sok revolusioner. Pada akhirnya HMI
juga tidak ketinggalan untuk menjadi bagian dari kekuatan revolusioner. Menurut
Deliar Noer, waktu itu HMI dengan keras turut menyanyikan senandung Demokrasi
Terpimpin. Slogan-slogan Soekarno mulai dikumandangkan seperti "Nasakom
jiwaku", "revolusioner", dan "ganyang Malaysia".
Bahkan pada tahun 1964 HMI memecat beberapa anggota penasihatnya yang telah
alumni karena tidak sesuai dengan revolusi. HMI juga mengecam keras Kasman
Singodimedjo yang sedang menghadapi pengadilan di Bogor dan menuntut dihukum
sekeras-kerasnya bila bersalah.
Kendati HMI telah
berusaha menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bagian dari kekuatan
revolusioner, namun tetap saja HMI menjadi sasaran CGMI dan/atau PKI untuk
dibubarkan. Pada saat saat HMI terdesak itulah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah
lahir pada tanggal 14 maret 1964 (29 Syawal 1384 H). Itulah sebabnya muncul
persepsi yang keliru bahwa IMM dibentuk adalah sebagai persiapan untuk
menampung aggota-anggota HMI kalau terjadi dibubarkan. Persepsi yang keliru ini
dikaitkan dengan dekatnya hubungan HMI dengan Muhammadiyah. Sebagaimana
diketahui bahwa HMI pada mulanya didirikan dan dibesarkan oleh orang-orang
Muhammadiyah, maka kalau HMI dibubarkan Muhammadiyah harus menyediakan wadah
lain.
Persepsi tersebut
adalah keliru, karena kelahiran IMM salah satu faktor historisnya adalah justru
untuk membantu dan mempertahankan eksistensi HMI supaya tidak mempan dengan
usaha-usaha PKI yang ingin membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran IMM
diperuntukkan untuk mengganti HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu
repot-repot terlibat dalam beraksi menentang PKI yang mau membubarkan HMI. Di
antara praduga mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan mahasiswa
dipersoalkan adalah karena sangat dekatnya kelahiran IMM—kendati ide dasarnya
sudah ada sejak tahun 1936—dengan peristiwa G 30 S/PKI. Sehingga muncul
pertanyaan (yang menggugat), mengapa IMM yang baru lahir sudah langsung
terlibat dalam peristiwa nasional dan sejarah besar dalam pergulatan bangsa
melawan dan menghancurkan PKI. Pada tahun 1965, IMM juga ikut bergabung dalam
wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan Slamet Sukirnanto, salah
seorang tokoh DPP IMM, pada saat dibentuknya KAMI menjadi salah satu Ketua
Presidium Pusat KAMI. IMM sendiri pada masa-masa awal berdiriya tidak luput
dari ancaman dan teror PKI. Reaksi jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM
tersebut tidak saja tejadi di pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk
menyelamatkan eksistensi IMM yang baru berdiri itu, maka dalam kesempatan
audiensi dan silaturahmi dengan Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada
tanggal 14 Februari 1965 DPP IMM meminta restunya. "Saja beri restu kepada
Ikatan Mahasiswa Muhammadijah", demikian pernyataan yang ditandatangai
oleh Presiden Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern
Muhammadiyah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang sebelumnya bergabung
dengan HMI kembali, sekaligus untuk membina dan mengembangkan IMM. Dalam hal
ini juga muncul klaim dan persepsi yang keliru, bahwa IMM dilahirkan oleh HMI.
Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah khususnya yang terlibat menghembangkan HMI,
karena waktu itu IMM belum ada. Sementara keterlibatan mereka di HMI adalah
untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah. Buktinya setelah sekian lama ada di
HMI, ternyata HMI yang sudah dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kalangan
ormas keislaman itu pada akhirnya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh
karena itu adalah wajar jika pada akhirnya mereka kembali ke Muhammadiyah sekaligus
untuk turut mengembangkan IMM. Hal ini seperti yang terjadi di Yogyakarta,
Jakarta, Riau, Padang, Ujungpandang dan lain lain. Juga perlu dicatat bahwa
para tokoh PP Pemuda Muhammadiyah dan NA yang terlibat dalam mengusahakan
terbentunya IMM sejak awal sampai berdirinya adalah mereka yang betul-betul
tidak pernah terlibat dalam HMI. Berdirinya IMM berdasarkan perjalanan
sejarahnya tersebut adalah karena tuntutan dan keharusan sejarah (historical
nessecity) dalam kontek kehidupan umat, bangsa, dan negara serta dinamika
gerakan mahasiswa di Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah: 1. Turut
memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa; 2. Menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam; 3. Sebagai upaya untuk menopang, melangsungkan, dan
meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah; 4. Sebagai pelopor, pelangsung,
dan penyempurna cita-cita pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah; 5. Membina,
meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa,
umat, dan persyarikatan.
Dinamika Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah Seperti halnya organisasi-organisasi lain, dalam karier
sejarahnya IMM mengalami dinamika gerakan yang naik turun dan pasang surut.
Selama lebih dari tiga setengah dasawarsa ini, IMM telah mengalami empat
periode gerakan. Pertama, periode pergolakan dan pemantapan (1964-1971). Kedua,
periode pengembangan (1971-1975). Ketiga, periode tantangan (1975-1985).
Keempat, periode kebangkitan (1985-?).
Dalam periode
pergolakan dan pemantapan ini, IMM yang masih sangat muda harus berhadapan
dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di tengah kehidupan
berbangsa, bernegara dan beragama yang sangat rawan dan kritis. IMM pada saat
itu langsung berhadapan dengan kebijakan Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom, dan
ancaman PKI. Dalam periode ini kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak diarahkan
kepada pembinaan personel, penguatan organisasi, pembentukan dan pengembangan
IMM di kota-kota maupun perguruan tinggi. Dalam periode ini pula pola gerakan,
prinsip perjuangan dan perangkat organisasi IMM berhasil ditetapkan.
Dalam periode ini
telah terselenggara tiga kali Musyawarah Nasional (Muktamar) dan empat kali
Konferensi Nasional (Tanwir) serta terbentuk lima kali formasi kepemimpinan
IMM. Selama periode ini Mohammad Djazman Al-Kindi terus menjadi Ketua Umum DPP
IMM. Kepemimpinan pertama (DPP Sementara) pra-Munas berlangsung dari tahun
1964-1965, dengan Ketuanya Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan kedua
(1965-1967) adalah hasil Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua Umum:
Mohammad Djazman Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad Sholeh.
Kepemimpinan ketiga hasil reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua Umumnya tetap;
dan Soedibjo Markoes menjadi Pejabat Sekjen. Kepemimpinan keempat (1967-1969)
hasil Munas II di Banjarmasin (26-30 November 1967), Ketua Umum tetap; dan
Sekjennya adalah Syamsu Udaya Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil reshuffle pada
Konfernas di Magelang (1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya masih tetap; sedangkan
yang menjadi Sekjen adalah Bahransyah Usman.
Selain Djazman, tokoh-tokoh
awal IMM lainnya yang terkenal di antaranya seperti: A. Rosyad Sholeh, Soedibjo
Markoes, Mohammad Arief, Sutrisno Muhdam, Zulkabir, Syamsu Udaya Nurdin,
Nurwijoyo Sarjono, Basri Tambun, Fathurrahman, Soemarwan, Ali Kyai Demak,
Sudar, M. Husni Thamrin, M. Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu Bakar, Slamet
Sukirnanto, M. Amien Rais, Yahya Muhaimin, Abuseri Dimyati, Marzuki Usman,
Abdul Hadi W.M. Machnun Husein, dll.
Peran dan kehendak IMM
untuk meneguhkan dan memantapkan eksistensinya secara signifikan dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk kepentingan ummat dan
Muhammadiyah selama periode ini tampak menonjol, baik melalui pernyataan
deklarasi-deklarasinya—seperti Deklarasi Kota Barat 1965 dan Deklarasi Garut
1967—maupun dengan aktivitas kegiatan dan artikulasi gerakannya. Mulai tahun
1971-1975 disebut sebagai periode pengembangan, karena masalah-masalah yang
menyangkut konsolidasi pimpinan dan organisasi tidak terlalu banyak
dipersoalkan. Orientasi kegiatan dan dinamika gerakan IMM sudah mulai banyak
diarahkan pada pengembangan organisasi seperti melalui program-program sosial,
ekonomi, dan pendidikan. Dinamika gerakan IMM ini semakin memperteguh concern
IMM terhadap masalah-masalah kehidupan mahasiswa, umat, dan bangsa di tengah
gejolak sosial dan modernisasi pembangunan. Hal ini misalnya seperti yang
dinyatakan dalam Deklarasi Baiturrahman 1975, maupun dalam hasil rumusan
pemikiran dari Munas dan Konferensi IMM. Dalam periode ini hanya terjadi satu
kali suksesi kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas III di Yogyakarta (14-19
Maret 1971) menghasilkan A. Rosyad Sholeh sebagai Ketua Umum; dan Machnun
Husein sebagai Sekjen. Kemudian Konfernas V di Padang memutuskan penambahan
personalia staf DPP IMM, yaitu: Alfian Darmawan, Abbas Sani, Maksum Saidrum,
Ajeng Kartini, Dahlan Rais, Ahmad Syaichu, dan Arief Hasbu.
Dalam periode ini pula
terjadi peristiwa penting yang mewarnai keberadaan IMM, yaitu dalam hal
pembentukan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) dan peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari 1974). Waktu itu IMM tidak diakui sebagai salah
satu pencetus kelahiran KNPI (23 Juli 1973), karena tidak ikut menandatangani
Deklarasi Pemuda Indonesia sebagai landasan berdirinya KNPI. Sementara, pembuat
dan perumus Deklarasi Pemuda Indonesia itu adalah Slamet Sukirnanto, salah
seorang anggota DPP IMM, yang waktu itu tidak bersedia menandatangani deklarasi
tersebut atas nama IMM. Ketidakikut sertaan Slamet Sukirnanto menandatangani
deklarasi tersebut, dikarenakan pembentukan wadah generasi muda itu semula
adalah secara perorangan dan sekedar sebagai wadah komunikasi antara generasi
muda serta keanggotaannya bersifat pribadi. Namun ternyata pada saat
penandatanganan harus mengatasnamakan organisasi. Dalam hal inilah letak
persoalannya. Secara organisatoris, Slamet Sukirnanto menolak menandatangani
deklarasi itu, tetapi secara pribadi ia bersedia. Ketika terjadi peristiwa
Malari—yang berakibat pada tindakan represif terhadap gerakan mahasiswa--, maka
pada tanggal 16 Januari 1974 IMM mengirim surat kepada Presiden Soeharto untuk
mengadakan referendum dalam upaya mencari kebenaran obyektif mengenai
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini diharapkan dapat tetap
menjaga keutuhan persatuan serta kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar
jangan sampai menjadi korban para pemegang policy. Dalam menghadapi aksi Malari
tersebut, IMM berharap agar pemerintah tidak memadamkan aspirasi dan idealisme
mahasiswa.
Di antara ide dan
gagasan pemikiran IMM pada periode ini adalah mengenai pendidikan. Dalam hal
ini IMM menyadari bahwa pendidikan adalah suatu usaha "human
investmen" yang penting untuk melukis dan mewarnai masa depan bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting untuk menumbuhkan dan membina
mental attitude bangsa. Kemudian mengenai masalah organisasi mahasiswa, IMM
berpendapat bahwa keberadaannya harus berfungsi sebagai organisasi kader dan
sekaligus dakwah. Karena itu organisasi mahasiswa harus menganut asas potensi,
partisipasi, keluwesan, dan kesederhanaan.
Sedangkan dalam hal
generasi muda, IMM berpendangan bahwa pembinaannya harus senantiasa dikaitkan
dengan strategi pembangunan nasional yang berjangka panjang. Untuk itu perlu
adanya pembauran antara konsep generasi muda sebagai pelanjut dengan konsep
generasi muda sebagai pembaharu. Demikian pula halnya dengan perpaduan antara
pengertian kader dan pioner.
Setelah melewati
periode pergolakan dan pemantapan serta pengembangan, pada tahun 1975-1985 IMM
berada dalam periode tantangan. Dalam periode ini Muktamar IV IMM di Semarang
(21-25 Desember 1975), menghasilkan Zulkabir sebagai Ketua Umum; dan M. Alfian
Darmawan sebagai Sekjen. Dalam periode ini IMM sebetulnya tidak menghadapi
konflik atau tantangan yang berarti, yang menyebabkan organisasi ini mengalami
stagnasi. Namun persoalannya terletak pada terjadinya kevakuman kepemimpinan di
tingkat nasional (DPP IMM) selama lebih kurang satu dasawarsa. Selama periode
ini di tingkat DPP tidak terjadi suksesi dan regenerasi kepemimpinan, atau
dengan kata lain tidak terselenggara musyawarah nasional atau muktamar, yang
seharusnya berlangsung pada tahun 1978.
Kevakuman dan
terjadinya kemandegan IMM di DPP ini menimbulkan keprihatinan dan keheranan
bagi banyak pihak, khususnya di kalangan Muhammadiyah dan ortomnya. Pada tahun
1983, H.S. Prodjokusumo misalnya menanggapi masalah ini dalam tulisannya IMM
Bangkitlah. Kemudian dengan nada menyindir dan dalam gaya personifikasi—tanpa
bisa menutupi kekecewaannya tehadap IMM—Umar Hasyim menulis: "Merenungi
sejarahmu, kita jadi heran, ketika sejak Muktamar ke-4 tahun 1975 itu anda
dengan lelapnya tidur nyenyak selama sepuluh tahun, karena pada bulan April
1986 engkau baru berhasil bermuktamar dan memilih kepengurusan DPP lagi.
Sungguh luar biasa sekali, suasana dunia dimana anda
berada ini demikian gegap gempitanya, tetapi anda bisa lelap tidur." Namun
demikian, kendati di tingkat DPP terjadi kevakuman, justru di bawahnya IMM
tetap eksis dan bergerak. Aktivitas kegiatan, program kerja, dan kaderisasi di
tingkat bawah itu terus berjalan. Kevakuman DPP IMM tidak memengaruhi aktivitas
IMM di Daerah, Cabang, dan Komisariat. Identitas IMM ternyata begitu kuat
melekat pada jiwa para pimpinan dan kader IMM di bawah. Di level bawah IMM masih
tetap tumbuh subur. Meski berada dalam periode tantangan, IMM masih tetap
berusaha untuk melahirkan ide dan gagasan pemikirannya. Di antara ide dan
gagasannya itu adalah mengenai perlunya Menteri Negara Urusan Pemuda. Ide dan
gagasan pemikiran tersebut berangkat dari latar belakang kemahasiswaan dan
kepemudaan yang tidak mempunyai saluran yang semestinya. Untuk itulah IMM
mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mengnagkat seorang Menteri Negara
Urusan Pemuda yang menyelenggarakan dan membina komunikasi dengan seluruh
eksponen generasi muda. Kemudian, ketika terjadi Keputusan 15 November 1978
(KNOP 15), IMM mengusulkan perlunya pengendalian dan pengarahan konsumsi
masyarakat. Hal ini mengingat telah terjadinya bentuk konsumsi yang
non-esensial dan tidak produktif. Di samping itu, perlunya perlindungan dan
pembinaan industri kecil agar dapat bersaing dengan industri besar, oleh IMM
dikemukakan kepada pemerintah. Demikian pula halnya dengan pemerataan
pendapatan dan kesempatan kerja perlu diperhatikan oleh pemerintah. Setelah
mengalami kevakuman dan kemandegan selama satu dasawarsa itu, maka pada tahun
1985 IMM mulai memasuki periode kebangkitan. Periode ini dimulai dengan adanya
SK PP Muhammadiyah No. 10/PP/1985 tertanggal 31 Agustus 1985 tentang pembentukan
DPP (Sementara) IMM. DPP(S) ini terdiri dari:
·
Ketua : Immawan
Wahyudi (DIY)
·
Ketua I : Drs.
Anwar Abbas (DKI)
·
Ketua II : Drs.
M. Din Syamsuddin (DKI)
·
Ketua III : Farid
Fathoni AF (Surakarta)
·
Sekretaris I :
Mukhlis Ahasan Uji (DIY)
·
Sekretaris II :
Nizam Burhanuddin (DKI)
·
Sekretarus III: Agus
Syamsuddin (DIY)
·
Bendahara I : St.
Daulah Khoiriati (DIY)
·
Bendahara II :
Asmuyeni Muchtar (DKI)
Setelah dilantik pada
tanggal 1 september 1985, DPP(S) IMM mulai menata organisasi dan menjalankan
aktivitasnya. Pada tanggal 7-10 desember 1985 DPP(S) berhasil mengadakan Tanwir
ke-7 IMM di Surakarta. Tanwir yang bertemakan "Bangkit dan Tegaskan
Identitas Ikatan" ini pada akhirnya mampu membangkitkan IMM dari tidurnya
yang panjang. Hingga kemudian pada tanggal 14-18 april 1986 DPP(S) berhasil
menyelenggarakan Muktamar ke-5 IMM di Padang, Sumatera Barat. Selain pada
akhirnya berhasil menyusun kepengurusan DPP IMM yang baru periode 1986-1989
(Ketua Umum: Nizam Burhanuddin; dan Sekjen: M. Arifin Nawawi), Muktamar V itu
juga mampu merumuskan konsep pengembangan wawasan bangsa dan umat kaitannya
dengan identitas Ikatan, penyusunan ulang sistem perkaderan, pengembangan
organisasi dan pembahasan program kerja. Dalam Muktamar V itu IMM juga bisa
menghasilkan Deklarasi Padang, yang mengartikulasikan visi dan keberpihakan IMM
terhadap masalah-masalah dunia internasional, umat Islam di Indonesia,
Muhammadiyah, IMM sendiri, serta pembinaan generasi muda dan mahasiswa. Dalam
periode kebangkitan ini IMM tidak lepas dari halangan dan tantangan. Artikulasi
gerakan IMM pun mengalami dinamika dan fluktuasi. Dalam periode kebangkitan
(sampai sekarang) ini IMM telah mengalami beberapa kali Muktamar dan Tanwir,
yang berperan untuk menpertahankan eksistensi IMM dan menyinambungkan
regenerasi kepemimpinannya.
Muktamar VI di
Ujungpandang (7-12 Juli 1989) menghasilkan DPP IMM (periode 1989-1992), dengan
M. Agus Samsudin sebagai Ketua Umum; dan Fauzan sebagai Sekjen. Kemudian Tanwir
VIII di Medan (24-28 April 1991), memutuskan Abdul Al Hasyir sebagai Sekjen,
menggantikan Fauzan. Pada tanggal 25-31 Desember 1992 IMM berhasil
menyelenggarakan Muktamar VII di Purwokerto, yang menghasilkan Tatang Sutahyar
W sebagai Ketua Umum; dan Syahril Syah sebagai Sekjen untuk periode 1993-1995.
Selanjutnya, pada Tanwir IX di Palembang (7-11 Juli 1994) terjadi pergantian
Ketua Umum dari Tatang Sutahyar oleh Syahril Syah sebagai Pj. Ketua Umum, dan
Armyn Gultom sebagai Sekjen. Selanjutnya, pada tanggal 25-31 Maret 1995 IMM
kembali mengadakan Muktamar VIII di Kendari yang berhasil memilih Syahril Syah
sebagai Ketua Umum dan Abd. Rohim Ghazali sebagai Sekjen untuk periode
1995-1997. Kemudian pada tanggal 22 Februari-2 Maret 1997, IMM kembali
mengadakan Muktamar IX di Medan yang menghasilkan Irwan Badillah sebagai Ketua
Umum dan M. Irfan Islami Dj. sebagai Sekjen untuk periode 1997-2000. Sampai
sekarang IMM memiliki 26 DPD dan 115 PC, serta anggota sebanyak kurang lebih
567.000 orang. Anggota IMM tersebut tersebar di berbagai perguruan tinggi
negeri dan swasta serta perguruan tinggi Muhammadiyah khususnya. Artikulasi
gerakan IMM tidak terbatas dalam aktivitas dan pelaksanaan program-program
kerja yang rutin belaka, tetapi juga aktif dalam menyikapi dan merespons
persoalan-persoalan sosial-politik dan kemanusiaan, baik dalam skala lokal,
nasional, maupun global. Kepedulian dan keberpihakan IMM seperti ini, karena
IMM tidak ingin teralienasi oleh dinamika zaman dan terbawa arus secara pasif
oleh perubahan sosial yang terus bergulir. Begitu pula ketika terjadi aksi-aksi
gerakan reformasi yang banyak dilakukan kalangan mahasiswa dan kaum intelektual
pada tahun 1997, IMM tidak ketinggalan melibatkan diri dan aktif bergerak di
dalamnya. Baik di tingkat pusat maupun daerah, bersama eksponen Angkatan Muda
Muhammadiyah lainnya IMM bergerak untuk mendukung dan menyukseskan aksi gerakan
reformasi yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaannya. Di Yogyakarta misalnya IMM bergabung dalam Komnas AMM bersama
organisasi otonom lainnya dalam mengartikulasikan gerakan dan tuntutan
reformasi. Selain itu di beberapa Komisariat dan Korkom, IMM juga banyak
mengadakan aksi dan gerakan serupa. Begitu pula dengan IMM di daerah-daerah
lainnya, seperti di Jakarta yang menamakan gerakannya dengan FAKSI IMM (Front
Aksi untuk Reformasi). Di Surabaya dan Ujungpandang IMM ada dalam GEMPAR
(Gerakan Mahasiswa Pro Amien Rais) dsb. Selain itu, ketika akan berlangsung
jajak pendapat penentuan status Timor-Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, IMM
juga berpartisipasi aktif dalam pemantauannya. Pada waktu akan, selama, dan
sesudah berlangsung jajak pendapat tersebut IMM telah mengirimkan Immawan
Wachid Ridwan (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Internasional DPP IMM)
ke Timor-Timur untuk melakukan pemantauan bersama LSM dan OKP lainnya.
Susunan dan Struktur
Organisasi Seperti Muhammadiyah dan organisasi otonom lainnya, secara vertikal
IMM memiliki susunan organisasi mulai dari tingkat pusat sampai komisariat.
Lengkapnya: Komisariat, Cabang, Daerah, dan Pusat. Kepemimpinannya disebut
Pmpinan Komisariat (PK), Pimpinan Cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan
Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Komisariat ialah kesatuan anggota dalam suatu
fakultas/akademi atau tempat tertentu. Cabang ialah kesatuan
komisariat-komisariat dalam suatu Daerah Tingkat II atau daerah tertentu.
Daerah ialah kesatuan cabang-cabang dalam suatu Propinsi/Daerah Tingkat I.
Pusat ialah kesatuan daerah-daerah dalam Negara Republik Indonesia. Sebagai
salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, maka masing-masing level dari
susunan organisasi tersebut mempunyai hubungan keorganisasian yang horizontal
dengan Pimpinan Muhammadiyah. DPP IMM dengan PP Muhammadiyah; DPD IMM dengan PW
Muhammadiyah; PC IMM dengan PD Muhammadiyah; dan PK IMM dengan PC/PR
Muhammadiyah.
Adapun struktur
organisasi IMM, berdasarkan hasil Muktamar IX di Medan adalah sebagai berikut.
Mulai dari tingkat DPP sampai PK terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris
Jenderal—khusus untuk DPP, sedang untuk DPD sampai PK: Sekretaris Umum--,
Bendahara Umum (bersama dua wakilnya); ditambah dengan beberapa Ketua Bidang
dan Sekretaris Bidang (Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Hikmah. Sosial Ekonomi, dan Immawati). Struktur organisasi ini dibantu oleh
sebuah biro, beberapa lembaga studi, dan dua korps (Biro Kerjasama Luar Negeri
dan Hubungan Iternasional [hanya ada di DPP]; Lembaga Studi Kelembagaan dan
Pengembangan Organisasi; Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Kader;
Lembaga Pengembangan Ilmu Agama dan Sosial Budaya; Lembaga Penelitian,
Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Lembaga Pers IMM [hanya ada di tingkat DPP
dan DPD]; Lembaga Pengkajian Strategi dan Kebijakan; Lembaga Kesejahteraan
Rakyat dan Lingkungan Hidup; Lembaga Studi dan Pengembangan Ekonomi Ummat
[istilah lembaga hanya untuk DPP dan DPD, sedang di PC menggunakan istilah
departemen]; Korps Instruktur [hanya ada di tingkat DPP sampai PC]; dan Korps
Immawati). Kemudian di tingkat PK, departemen yang ada adalah: Departemen
Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah, dan Sosial Ekonomi.
Secara umum program
kerja IMM dilaksanakan untuk memantapkan eksistensi organisasi demi mencapai
tujuannya, "mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia
dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah" (AD IMM Pasal 6). Untuk menunjang
pencapaian tujuan IMM tersebut, maka perencanaan dan pelaksanaan program kerja
diorientasikan bagi terbentuknya profil kader IMM yang memiliki kompetensi
dasar aqidah, kompetensi dasar intelektual, dan kompetensi dasar humanitas .
Sebagai organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan
kemahasiswaan, maka program kerja IMM pada dasarnya tidak bisa lepas dari tiga
bidang garapan tersebut. Perencanaan dan pelaksanaan program kerja tersebut
memiliki stressing yang berbeda-beda (berurutan dan saling menunjang) pada
masing-masing level kepemimpinan.
·
Di tingkat Komisariat:
kemahasiswaan, perkaderan, keorganisasian, kemasyarakatan.
·
Di tingkat Cabang:
Perkaderan, kemahasiswaan, keorganisasian, kemasyarakatan.
·
Di tingkat Daerah:
keorganisasian, kemasyarakatan, perkaderan, kemahasiswaan.
·
Di tingkast Pusat:
Kemasyarakatan, keorganisasian, perkaderan, kemahasiswaan.
Berkaitan dengan
program kerja jangka panjang, maka sasaran utamanya diarahkan pada upaya
perumusan visi dan peran sosial politik IMM memasuki abad XXI. Hal ini tidak
lepas dari ikhtiar untuk memantapkan eksistensi IMM demi tercapainya tujuan
organisasi (lihat AD IMM Pasal 6). Sasaran utama dan program jangka panjang ini
merujuk pada dan melanjutkan prioritas program yang telah diputuskan pada
Muktamar VII IMM di Purwokerto (1992). Program dimaksud menetapkan strategi
pembinaan dan pengembangan organisasi secara bertahap, sistematis, dan
berkelanjutan selama lima periode muktamar IMM.
Periode Muktamar IX
diarahkan pada pemantapan konsolidasi internal (organisasi, pimpinan, dan
program) dengan meningkatkan upaya pembangunan kualitas institusional dan
pemantapan mekanisme kaderisasi dalam menghadapi perkembangan situasi sosial
politik nasional yang semakin dinamis. Periode Muktamar X diarahkan pada
penguatan orientasi kekaderan dengan meningkatkan mutu sumber daya kader
sebagai penopang utama kekuatan organisasi dalam transformasi sosial
masyarakat. Periode Muktamar XI diarahkan pada penguatan peran institusi
organisasi baik secara internal (pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan
pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah) maupun eksternal (kader umat dan kader
bangsa).
Periode Muktamar XII
diarahkan pada pemantapan peran IMM dalam wilayah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara memasuki era globalisasi yang lebih luas. Periode
Muktamar XIII diarahkan pada pemberdayaan institusi organisasi serta pemantapan
peranan IMM dalam kehidupan sosial politik bangsa.
Kemudian pelaksanaan
program jangka panjang itu memiliki sasaran khusus pada masing-masing
bidangnya. Bidang Organisasi diarahkan pada terciptanya struktur dan fungsi
organisasi serta mekanisme kepemimpinan yang mantap dan mendukung gerak IMM
dalam mencapai tujuannya. Program konsolidasi gerakan IMM juga diarahkan bagi
terciptanya kekuatan gerak IMM baik ke dalam maupun ke luar sebagai modal
penggerak bagi pengembangan gerakan IMM. Bidang Kaderisasi diarahkan pada
penguatan tiga kompetensi dasar kader IMM (aqidah, intelektual, dan humanitas)
yang secara dinamis mampu menempatkan diri sebagai agen pelaku perubahan sosial
bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi diarahkan pada pembangunan budaya iptek dan penguatan paradigma ilmu
yang melandasi setiap agenda dan aksi gerakan IMMdalam menyikapi tantangan
zaman. Bidang Hikmah diarahkan pada penguatan peran sosial politik IMM di
tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam peran serta dan
partisipasi sosial politik generasi muda (mahasiswa). Bidang Sosial Ekonomi
diarahkan pada penumbuhkembangan budaya dan wawasan wiraswasta di lingkungan
IMM, terutama dalam membangun dan memberdayakan potensi ekonomi kerakyatan.
Bidang Immawati diarahkan pada upaya penguatan jati diri dan peran aktif sumber
daya kader puteri IMM dalam transformasi sosial menuju masyarakat utama.
Tingkatan Kepemimpinan
·
DPP (Dewan Pimpinan
Pusat) berkedudukan di Ibukota Indonesia
·
DPD (Dewan Pimpinan
Daerah) berkedudukan di Ibukota Provinsi
·
PC (Pimpinan Cabang)
berkedudukan di Ibukota Kabupaten
·
PK (Pimpinan Komisariat)
berkedudukan di Fakultas/Universitas
Selain itu, IMM juga
mempunyai lembaga pimpinan yang dinamakan dengan KORKOM (koordinator
komisariat) yang dibentuk di suatu universitas yang mempunyai komisariat lebih
dari 2. Tugasnya adalah untuk mengkoodinir dan membantu kerja Pimpinan Cabang
di suatu Universitas.
·
Khusus IMM di Fakultas
Teknik (Komisariat Aufklärung) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memiliki
tingkatan kepemimpinan di bawah komisariat yaitu yang disebut
"Rayon". Rayon ini berkedudukan di jurusan bukan fakultas. Rayon
dibentuk berlandaskan Musyawarah Komisariat "Aufklärung Teknik". IMM
Aufklärung beserta Rayon-Rayonnya senantiasa berusaha memaksimalkan Tri
Kompetensi (Religiusitas, Humanitas, Intelektualitas) dengan cara menjadikan
Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai panduan kehidupan sehari-hari. Islam ada di
hati, ada di lisan, dan ada di perbuatan. Sehingga ini yang menjadikan kader
"Lantang Bicara Berani Aksi dan Bertanggungjawab". Lebih lengkap
kunjungi http://imm-aufklarung.org/
BUKU REFERENSI
·
Agham, Noor Chozin,
Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Dari
Muktamar I sampai Muktamar V, Jakarta: Yayasan Penerbit Pers Perkasa bersama
Penerbit dan Percetakan Dikdasmen PP Muhammadiyah, 1997.
·
Batubara, Cosmas,
"Kilas Balik Kelahiran Orde Baru dan Peranan Para Mahasiswa" dalam
Haris Munandar (Peny.), Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di
Indonesia: Kumpulan Esei Guna Menghormati Prof. Miriam Budiardjo, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1994.
·
DPP IMM, Tanfidz
Keputusan Muktamar VIII IMM, 1995.
·
-------, Tanfidz
Keputusan Muktamar IX IMM, 1997.
·
Fathoni AF, Farid,
Kelahiran yang Dipersoalkan, Dua Puluh Enam Tahun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
1964-1990, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.
·
Hamid, Almisar et al.,
Seperempat Abad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Jakarta: DPP IMM, 1989.
·
Hasyim, Umar,
Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan Pendidikan:
Kritik dan Terapinya, Surabya: PT Bina Ilmu 1990.
·
Noer, Deliar, Partai
Islam di Pentas Politik Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
·
Tanja, Victor I.,
Himpunan Mahasiswa Islam, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan
Muslim Pembaharuan di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
wikipedia
Sumber: http://immhatta-feb.blogspot.jp/2013/11/kelahiran-yang-dipersoalkan.html