Monday, July 13, 2015

Wahabi Indonesia dari Generasi ke Generasi

Wahabi Indonesia dari Generasi ke Generasi
Reportase Tadarus Ramadan JIL

IslamLib

Proses wahabisasi di Indonesia banyak memanfaatkan jalur lembaga pendidikan, terutama pesantren. Najib Burhani dalam Tadarus Ramadan JIL bertema “Pengaruh Wahabisme di Dunia Islam” menjelaskan, sejak tahun 1995-2000 puluhan pesantren Wahabi tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, pesantren tertuanya adalah Ihya al-Sunnah di Yogyakarta.

Pesantren-pesantren wahhabi ini biasanya bersifat eksklusif, mereka tidak bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya, apakah karena dikucilkan atau memang terdapat larangan dari kyai mereka sendiri, terang Najib.

Menurut Najib, ajaran-ajaran yang ditekankan di pesantren-pesantren yang berasosiasi dengan Wahabi ini pada umumnya menolak pengaruh Barat dan membenci kitab kuning. Sementara kitab-kitab yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahab merupakan referensi utama dalam kurikulum pembelajaran mereka.

Bahkan menurut Najib, para santri diharuskan menghafal kitab tauhid Muhammad bin Abdul Wahab yang didistribusikan secara gratis oleh pemerintahan Arab Saudi, sebelum beranjak mempelajari kitab-kitab lainnya.

Pada perkembangan selanjutnya, wahabisasi di Indonesia menguat lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan sejak tahun 1967. Muhammad Natsir sebagai pendiri organisasi ini bahkan pernah mendapat penghargaan dari pemerintah Arab Saudi atas jasanya dalam menyebarkan Islam juga melawan Ahmadiyah dan Syiah.

Sementara bagi Orde Baru, penyebaran wahabisme menjadi keuntungan tersendiri karena bisa dimanfaatkan untuk mengatasi gelombang komunisme. Sebab itu pergerakan kelompok ini mendapat restu dari Soeharto, bahkan mereka diberi izin untuk mendirikan lembaga pendidikan asing yang saat itu sangat sulit untuk didirikan di Indonesia.

Generasi Baru Wahabi. Penyebaran Wahabi ke Indonesia pada generasi ke dua masuk melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Dari lembaga pendidikan inilah generasi baru Wahabi bermunculan. Aktivitas dauroh dan halaqah yang dilakukan selama jeda perkuliahan, berhasil menjaring kader-kader yang potensial.

Mereka kemudian dikirim ke Arab Saudi untuk mengimport pemahaman Wahhabi. Sebelum pulang ke Indonesia, sebagaian dari kader-kader ini melakukan field work ke Afganistan dan terlibat dalam peperangan.

Najib menyebut aktivitas ini sebagai baptisme of fire, yakni pembaptisan untuk menjadikan mereka sebagai kader Wahabi dengan terlibat dalam peperangan, setelah itu mereka termaklumat sebagai generasi baru Wahabi.

Abu Nida, Ahmad Faiz Ainur Rafiq, Gufron, adalah nama-nama yang disebut Najib sebagai generasi ke dua penyebar Wahabi di Indonesia. Mereka merupakan aktor intelektual yang brilian dan memiliki pemahaman cukup baik tentang Islam. Atas kegigihan para generasi ke dua inilah wahabisasi berhasil merangsek ke berbagai universitas negeri di Indonesia

Selain melalui institusi pendidikan, Wahabi juga masuk melalui yayasan. Najib memaparkan bahwa yayasan yang berafiliasi dengan Wahabi tersebar cukup luas di Indonesia, salah satunya adalah As-Shafwah. Yayasan-yayasan inilah di antaranya yang menyalurkan dana bantuan untuk pembangunan mesjid-mesjid dan pesantren.

Melalui kontribusinya dalama pendanaan tersebut, mereka biasanya terlibat dalam pembentukan kepengurusan mesjid (imam, takmir, dsb.) atau dalam pembentukan kurikulum, jika yang didanai adalah pesantren atau madrasah.

Itulah proses masuknya Wahhabi di Indonesia sejak tahun 1930-an hingga sekarang. Perbedaan paling mendasar antara generasi terdahulu dengan generasi sekarang adalah bagaimana ke dua generasi ini berhadapan dan memperlakukan pemahamannya tentang  Wahabisme.

Jika generasi pertama cukup pada tahap mengaguminya sebagai sebuah gerakan baru yang berhasil di dunia Islam, generasi ke dua atau generasi baru ini, dengan sangat gigihnya menjiwai dan menyebarkan paham mereka ke berbagai pelosok Indonesia. Karena itulah bermunculan pesantren-pesantren, madrasah, bahkan universitas yang bercorak Wahabi, demikian Najib menutup penjelasannya. (Evi Rahmawati)

http://islamlib.com/mazhab/wahabisme/wahabi-indonesia-dari-generasi-ke-generasi/

3 comments:

  1. Saya kira terlalu naif kalau Kalau ada orang muhammadiyah berpikir picik tentang wahabi, saya sebagai kader muhammadiyah, justru meragukan orang yg paranoid dg wahabi, tanpa membaca program pesantren Ihyaussunnah. mungkin lebih dari sekedar memilukan, justru persoalan besar yg dihadapi muhammadiyah kader muhammadiyah yg bodoh agama, terjangkau pemikiran kolot NU yg tidak layak disebut modernis, lebih teoritis kampungan. dan saya membaca muhammadiyah studies sebenarnya pelecehan terhadap muhammadiyah

    ReplyDelete
  2. Saya juga sering mengunjungi pesantren pesantren salafy sejak jaman ldk buya Anhar, masih jaman lukman harun, justru pesantren pesantren wahabi satu satunya pesantren di Indonesia yg mengoptimalkan penghalalan quran dan hadits, itu generasi islam terbaik menurut nabi, tetapi apa yang diciptakan muhammadiyah studies tak lebih pembaca koran belaka, yg menebar bibit antisipasi model SAS, bukannya berbuat yang terbaik TERHADAP MUHAMMADIYAH. Padahal muhammadiyah warganya mulai eksodus akibat penyakit jil seperti kalian, secara langsung kalian termasuk orang yg merusak muhammadiyah dari dalam, pakai kata MUHAMMADIYAH, justru menyuburkan dogma NU disini

    ReplyDelete
  3. https://muhammadiyahstudiesanswaring.wordpress.com/2016/09/19/paranoid-najib-burhani-pada-wahabi/

    ReplyDelete