Sunday, July 12, 2015

Islam Tengahan: Nusantara atau Berkemajuan?



Solo Pos, Kamis, 9 Juli 2015 10:00 WIB

Oleh Azaki Khoirudin
 
Wacana Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan semakin menarik untuk diperbincangkan di republik ini. Dimana akhir-akhir ini, 'Islam Nusantara', menjadi  istilah khas NU, sedangkan ‘Islam Berkemajuan’ menjadi idiom khas Muhammadiyah. Kedua wacana ini muncul saat kedua ormas besar Islam ini akan menggelar hajatan Muktamar. Gagasan Islam Nusantara menemukan momentumnya saat PBNU tema Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu persisnya berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”. Sementara, gaung “Islam Berkemajuan juga menemukan relevansinya dengan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makasar, Sulawesi Selatan, 3-8 Agustus 2015. Muhammadiyah mengusung tema, “Gerakan Pencerahan menuju Indonesia Berkemajuan”. Kedua tema ini menarik untuk ditelaah dan diperbandingkan kekhasannya masing-masing, terutama relevansinya dengan kondisi Islam Indonesia, bahkan dunia.

Islam Nusantara ala NU
Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, terbuka, dan inklusif. Dikatakan pula sebagai mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang multi. Islam bukan hanya cocok diterima bumi Nusantara, tetapi juga mewarnai bersifat akomodatif terhadap budaya Nusantara, yakni rahmatan lil ‘alamin. Abdul Mun’im DZ (2010) menandaskan, Islam Nusantara adalah paham keislaman yang berdialog dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, melalui proses seleksi, akulturasi dan adaptasi.
Sebenarnya istilah 'Islam Nusantara' pada dasarnya tidaklah baru. Menurut Azyumardi Azra (2015) istilah ini mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea). Bagi Azra, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy'ari, fikih mazhab Syafi'i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global”
Islam nusantara bukan Islam lokal. Ahmad Baso, (2015) menegaskan Islam nusantara sebagai cara bermadzhab secara qauli dan manhaji dalam ber-istimbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritorial, kondisi alam, dan cara pengamalannya penduduk kita. Islam nusantara itu sejajar dengan kajian Islam India, Islam Turki, Islam Yaman dan sebagainya. Jika Islam Nusantara merupakan proses berkelanjutan, maka bentuk paradigma dan etika Islam yang selalu senada dengan gerak sejarah.

Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah
Islam Berkemajuan Muhammadiyah telah dibawa sejak  Kyai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Gerakan mengembalikan umat pada sumber ajaran Al - Quran dan Sunnah Nabi yang  otentik.  Sebagaimana risalah Nabi Muhammad yang membawa pencerahan dari bangsa Arab yang jahiliyah menjadi bangsa yang tercerahkan sehingga lahir Al-Madinah Al-Munawwarah, sebagai kota peradaban yang cerah dan mencerahkan titik peradaban "al-munawwarah" tatkala dunia Barat kala itu masih teridur lelap di era kegelapan. Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan.
Muhammadiyah bukan gerakan yang mendewakan masa lampau, bahkan konsep masa lalu sebagai konsep ideal (romantisisme), misalnya Khilafah Islamiyah (Negara Islam). Akan tetapi, cita-cita ideal Muhammadiyah adalah “Masyarakat Islam Yang Sebenar-Benarnya”. Untuk itu Islam berkemajuan membawa spirit “Teologi Berkemajuan”. Karena hakekat Islam adalah agama kemajuan (dinul hadlarah). Dimana “Teologi Berkemajuan” Muhammadiyah selalu berorientasi ke masa depan. Meminjam istilah Din Syamsuddin (2015), bahwa berkemajuan menyiratkan adanya keberlangsungan, dan bahkan perkembangan, sebagai usaha yang terus-menerus untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning).
Paling tidak, dalam melakukan transformasi Islam berkemajuan di abad kedua, Muhammadiyah harus melakukan berbagai hal berikut: pertama, menyekolahkan generasi mudanya ke berbagai negara maju dan berkemajuan. Kedua, pemberdayaan ekonomi. Tanpa gerakan ekonomi yang kuat, Muhammadiyah tak akan mampu menjalankan gerakan al-Ma’un. Pendidikan Muhammadiyah harus inklusif yang mampu menampung kaum lemah, tak hanya orang-orang kaya yang mampu sekolah di Muhammadiyah. Ketiga, kekuatan Muhammadiyah sebagai masyarakat sipil sangat penting bagi pembangunan kemandirian masyarakat.

Islam Tengahan
Dikotomi antara “Islam Tradisionalis” dan “Islam Modernis”, jika menilik wacana Islam Nusantara NU vs Islam Berkemajuan Muhammadiyah semakin melemah.  NU tradisional dan Muhammadiyah modern adalah pandangan yang sudah umum. Tradisional karena dalam praktek keagamaan NU banyak praktek ritual yang campur-aduk dengan budaya-budaya yang Nusantara. Sebaliknya, Muhammadiyah terkenal modern karena golongan ini mencoba membawa Islam agar sesuai dengan tuntutan dan keadaan zaman..
Kenyataan membuktikan bahwa untuk konteks sekarang ternyata NU semakin tradisionalis, terutama dalam hal merawat tadisi dan budaya. Memang di NU sudah banya lompatan, misalnya dengan muncul istilah ”pemaknaan ulang ahlus Sunnah Waljamaah” dan ”pemaknaan ulang konsep bermazdhab”.  Akan tetapi, kemunculan Islam Nusantara Islam khas ala Indonesia, serta integrasi nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air menjadi paradok. Islam Tradisionalis itulah dengan Islam Nusantara.
Kedua arus Islam ini, baik “Nusantara” ataupun “Berkemajuan” harus bersama-sama menjadi kekuatan Islam moderat (tengahan) di Indonesia. Pertama, melihat wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara yang mengedepankan jalan tengah dengan tawasut (moderat), tidak ekstrim, inklusif, toleran dan damai, serta menerima demokrasi. Islam Nusantara jika ingin menjadi alternatif peradaban dunia Islam tidak cukup hanya mengembangkan tradisi lokal. Akan tetapi, Islam yang damai itu tidak cukup, karena Islam adalah agama peradaban, maka selain ramah, santun, dan toleran, Islam juga harus berkemajuan dan berkeunggulan di segala bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, dan budaya di level lokal dan global.
Berbeda dengan kedua, Islam berkemajuan yang bersifat cosmopolitan. Muhammadiyah juga dapat menjadi teologi tengahan dengan karakteristik sebagai berikut: pertama, Muhammadiyah mengakui kebinnekaan (diversity), menjadi masyarakat madani (civil society), memiliki Perguruan Tinggi Islam, dan menjunjung tinggi konstitusi yang ada. Dalam konteks tersebut, tolak ukur atau indikatornya paling tidak Muhammadiyah harus fokus dan menjadikan isu-isu berikut sebagai agenda besar, seperti: pendidikan yang selalu mengembangkan paradigma baru; penghormatan kepada hak asasi manusia (al-karomah al-insaniyah) dengan bertumpu pada maqasid syari’ah, bukan sekedar hukum syariah; membangun relasi harmonis antar umat beragama; dan gender serta anak-anak.
Baik NU maupun Muhammadiyah harus bersama-sama memnghadirkan Islam sebagai yang ber sikap tengahan (wasithiyah). NU dan Muhammadiyah diharapkan bersatu mengamalkan nilai-nilai Islam yang ramah dan berporos pada jalan tengah atau aqidah washatiyah. Saling menghargai sebagai Islam rahmatan lil alamin untuk kesejahteraan seluruh alam semesta.

AZAKI KHOIRUDIN
Koord. JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) Solo
Alumni Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran UMS
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

http://www.solopos.com/2015/07/09/gagasan-islam-nusantara-dan-islam-berkemajuan-622052

No comments:

Post a Comment