Monday, July 13, 2015

Muhammadiyah Tidak Berafiliasi Kepada Wahabi

Pengurus Muhammadiyah 1918-1921 (Foto: mpi.muhammadiyah.or.id)
Muhammadiyah Tidak Berafiliasi Kepada Wahabi
Reportase Tadarus Ramadan JIL

IslamLib

Apakah Muhammadiyah merepresentasikan Wahabisme? Demikian pertanyaan yang kerap diungkapkan sebagian kalangan terhadap organisasi yang didirikan oleh Kyai Haji ahmad Dahlan ini.

Najib Burhani pada tadarus ramadan JIL beberapa waktu lalu mengajukan bantahan atas klaim tersebut. Ia menguraikan asal-mula mengapa timbul anggapan demikian terhadap organisasi yang dihidupinya selama ini.

Najib mengakui bahwa pada masa-masa awal berdirinya, organisasi ini sangat mengapresiasi kehadiran Wahabi di Indonesia. Jika merujuk pada buku yang ditulis Hamka: “Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman” ataupun sejarah Imam Bonjol dan Haji Rosul, bisa terlihat bagaimana apresiasi itu mengental di kalangan mereka.

Bahkan dalam buku Hamka tersebut dikisahkan bagaimana saat Muktamar Muhammadiyah di Banjarmasin, orang-orang lokal menyambut kedatangan mereka dengan pujian sebagai orang Wahabi.

Namun itu tidak berarti bahwa Muhammadiyah serta-merta bisa diafiliasikan kepada Wahabi, bantah Najib. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa pendiri Muhammadiyah sendiri, Kyai Haji Ahmad Dahlan, mengadopsi nama Ahmad Zaini Dahlan yang terkenal sebagai kritikus aliran Wahabisme.

Kyai Haji Ahmad Dahlan mengubah namanya dari Raden Ngabehi Muhammad Darwis sekembalinya dari ibadah haji, ungkap Najib. Lebih lanjut Najib menjelaskan bahwa dalam Muhammadiyah sendiri dapat ditemukan dua karakter yang berbeda, antara Haji Rosul yang kemudian diikuti oleh anaknya, Buya HAMKA.

Muhammadiyah Sumatera lebih teologis, dan Jawa lebih kepada social movement. Maka ada pernyataan bahwa Muhammadiyah lahir di Jawa tetapi ideologinya dibangun di Sumatera. Ini mengisyaratkan bahwa kalangan Muhammadiyah yang berbasis di daerah Jawa tidak terlibat cukup aktif dalam hal ideologi.

Mereka cenderung mengabaikan ideologi, tetapi lebih aktif dalam kegiatan sosial, demikian papar Najib. Karenanya, jika berbicara karakter, Muhammadiyah mengandung dua unsur yang berbeda, antara puritanisme dan modernisme.

Mungkin benar bahwa Muhammadiyah sedikit bersinggungan dengan Wahabisme, tetapi itu terutama pada aspek puritanisme dari Wahabi, dengan meletakkan tauhid atau strict monotheism pada posisi sentral. Efek positif Wahabisme untuk Muhammadiyah dari adopsi strict monotheism itu berwujud pada rasionalisasi. Ini terejawantahkan diantaranya dalam wujud perlawanan terhadap apapun yang dianggap tidak rasional seperti takhayul dan khurafat. Dari rasionalisasi inilah lantas berkembang menjadi modernisasi. Makna positif kedua dari tauhid ala Wahabi adalah sekularisasi, bahwa hanya Allah yang sakral sementara yang lain adalah profan. Ini yang kemudian terus didengungkan oleh Cak Nur (Nurcholis Madjid).

Umumnya para sarjana membagi Wahabisme kepada tiga kelompok: purist, politic, dan jihadist. Pengaruh Wahabisme di Muhammadiyah adalah dari golongan yang pertama itu, yaitu purist atau kelompok pemurnian. 

Untuk karakter pemikiran, Muhammadiyah lebih berasosiasi kepada Muhammad Abduh yang mencoba mereformulasikan khazanah Islam, menekankan pada independent reasoning, ijtihad, juga mensintesiskan antara Islam dengan Barat, lanjut Najib.

Karena itu, jika melihat pada klasifikasi tentang revivalisme Islam gaya Fazlur Rahman, kriteria Muhammadiyah tidak sama dengan fundamentalisme atau neo-fundamentalism yang diasosiasikan kepada Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan Muhammad Rasyid Ridha, pungkasnya. (Evi Rahmawati)

http://islamlib.com/ormas/muhammadiyah/muhammadiyah-tidak-berafiliasi-kepada-wahabi/

No comments:

Post a Comment