Sunday, December 1, 2013

Human Rights Education in Indonesia: The Muhammadiyah Schools Experience

Agus Miswanto*

The United Nations (UN) has been emphasizing human rights education through a series of measures such as the Decade for Human Rights Education (1995-2004), the World Programme for Human Rights Education (2005 onward), and the adoption in December 2011 by the UN General Assembly of the Declaration on Human Rights Education and Training.

In this article, I present the results of a research on a human rights education model in Indonesia, particularly the curriculum used in Muhammadiyah schools. This human rights education curriculum led to strained debate between the progressive and conservative groups within the Muhammadiyah community, due mainly to the different perspectives on introducing human rights education. I analyze the human rights education textbook employed by the Muhammadiyah schools under that curriculum. I discuss the issues involved in the debate on human rights education between the two groups. Finally, I present the strategies used in the negotiations toward the introduction of human rights education, and which constitute an interesting process showing the ability of the organized progressive sector of the Muhammadiyah community (Mulkhan, 2007) during the 2005-2010 period to overcome the resistance from the conservative sector.

*Agus Miswanto is the secretary of the Center of Islamic Studies, Muhammadiyah University of Magelang, Central Java, Indonesia.

The PDF of this article is available at the following link: http://www.hurights.or.jp/archives/asia-pacific/section1/pdf/5%20-%20Human%20Rights%20Education%20in%20Indonesia.The%20Muhammadiyah%20Schools%20Experience.pdf

Sunday, September 15, 2013

Irfan Dahlan & Ahmadiyah: Respon dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia

The following note is the response from the Lahore Ahmadiyya Indonesia to Winai Dahlan's notes regarding the relation between his father (Irfan Dahlan, a son of KH Ahmad Dahlan) and the Lahore Ahmadiyya. Written by Basharat Asghar Ali and posted on my facebook wall on August 19, 2013.
 
Alhamdu wasyukru lillahi robbil 'alamin. Puji syukur atas hidayah Allah Ta’ala kepada kita sekalian.

Terima kasih kepada ibu Diah Purnamasari Zuhair II , mas Najib Burhani, dan Mr. Winai Dahlan yang telah memberikan informasi dan klarifikasi cukup banyak mengenai bagaimana hubungan Bapak Irfan Dahlan dengan Ahmadiyah, dalam hal ini Ahmadiyah Lahore, khususnya AAIIL (Pakistan). Mudah-mudahan informasi dan klarifikasi ini dapat semakin membuka tabir kebenaran yang sesungguhnya mengenai relasi yang sejati antara Bapak Irfan Dahlan dan Ahmadiyah Lahore. Tentu saja, informasi dan klarifikasi lebih lanjut sangat kami nantikan.

Kami dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), dan saya kira juga Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL) yang berada di berbagai negara, insya allah, tidak berpretensi atau punya tendensi apapun, dengan adalnya klaim atas keanggotaan Bapak Irfan Dahlan sebagai anggota AAIIL, yang dengan itu tentu menjadi keluarga besar Ahmadiyah Lahore pada umumnya. Apalagi, kami mohon ampun kepada Allah Ta’ala, dan memohon maaf kepada semuanya saja, jika kemudian klaim itu berakibat menjadi “fitnah” di antara kita. Na’udzu billaahi min dzalik.

Selama ini, kami dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), dan mungkin juga pihak AAIIL (khususnya AAIIL di Lahore, Pakistan), memang baru pada sebatas menduga, yang lama kelamaan seringkali mewujud klaim, atas keanggotaan Bapak Irfan Dahlan di AAIIL, khususnya AAIIL di Lahore, Pakistan. Dugaan-dugaan itu berangkat dari spekulasi dan asumsi yang dilatari oleh berbagai informasi dan jalinan cerita dari berbagai referensi, yang terekam secara fisik maupun berupa “tutur tinular”, utamanya soal studi beliau di Lahore. Dan memang, saya kira, referensi-referensi itu perlu dikaji dan diuji validitas atawa keabsahannya, sebab kesemuanya, lagi-lagi, baru sebatas pada bahan-bahan mentah yang perlu diolah, dan amat sangat terbatas keberadaannya.

Soal keanggotaan, misalnya, agaknya sangatlah tidak mungkin, dugaan saya sementara ini, untuk membuktikan secara fisik bahwa Bapak Irfan Dahlan adalah anggota AAIIL. Sebab, biasanya, AAIIL, dan juga GAI, sangat lemah dalam urusan administrasi, termasuk dalam hal pencatatan keanggotaan, sejak dulu hingga sekarang. Sehingga, jangankan Bapak Irfan Dahlan, yang nuh jauh di sana dan di masa yang telah cukup lama berlalu, bahkan pun saya, yang masih eksis sebagai "warga resmi" GAI, saja, tidak punya kartu keanggotaan atau semacamnya, yang bisa dijadikan sebagai sumber identifikasi keanggotaan saya di GAI secara official. Keanggotaan di organisasi AAIIL di berbagai Negara, dan GAI, biasanya bersifat cair, sehingga orang sangat agak bebas masuk keanggotaan (dalam hal ini, untuk masuk anggota resmi GAI, sampai saat ini, melalui prosesi bai’at) maupun keluar. Rasa-rasanya, sepengetahuan dan sepengalaman saya di GAI, tidak ada “kerumitan organisasional” dalam hal ini.

Karenanya, soal keanggotaan, seseorang dikenal sebagai warga GAI, biasanya lebih karena pengakuannya sendiri. Sebab untuk membuktikan “benar-benar” dia seorang GAI (secara organisasi), rasanya memang agak sulit. Ya, karena kelemahan pencatatan administrasi itu tadi. Makanya, seringkali, ketika banyak peneliti bertanya soal jumlah anggota GAI, kita hanya bisa menjawab “tidak tahu”, atau menduga dengan menyebut sejumlah angka dalam bilangan ratusan, atau paling banter ribuan, saking terpaksanya menyebut angka.

Sekali lagi, mudah-mudahan informasi dan klarifikasi ini, dapat menjadi pembuka tabir kegelapan kita semua mengenai fakta yang sesungguhnya, berkenaan dengan hubungan Bapak Irfan Dahlan dengan Ahmadiyah Lahore.

Mohon izin untuk membagi setiap informasi dan klarifikasi terkait dengan hal ini di situs kami http://ahmadiyah.org, agar supaya, semua orang, semua pihak, dapat mengikuti perkembangan dan berbagi informasi dari berbagai sumber dan referensi yang mungkin bisa digali. Sehingga dengan demikian dapat terjadi prosesi tabayyun di antara kita semua.

Sementara demikian dari saya, mudah-mudahan komunikasi di antara kita dapat terus berlanjut.
Terima kasih atas perkenannya.
Salam,
Basyarat Asgor Ali

(NB. Mas Najib Burhani barangkali bisa menerjemahkan tulisan saya di atas untuk keperluan yang lain? Hehe. Terima kasih sebelumnya).

Monday, August 19, 2013

Irfan Dahlan and Ahmadiyya: A Clarification from Dr. Winai Dahlan

The following note was written by Dr. Winai Dahlan, a son of Irfan Dahlan or a grandson of KH Ahmad Dahlan, as a response to the information regarding the relation between his father and the Lahore Ahmadiya. The note was originally posted on my facebook wall on August 19, 2013.

Thanks Brother Burhani for sending me an article of my niece concerning my father, Erfaan Dahlan. I have studied the story of my father by reading from several sources, recalling from my memory of him, discussing with many old friends of his as well as with my elder sisters and brothers. Jumhan bin KHA Dahlan together with 3 more young men were sent by decision of Muhammadiyyah leading committee to continue their studies in Lahore at madarasah of Ahmaddiyah in 1924, one year after the pass away of Jumhan's father, KHA Dahlan. Jumhan was only one finally who graduated 6 years later in 1930, a year after Ahmaddiyah was fatwa in Solo as non-Islam. Jumhan at that time changed his name to Erfaan Dahlan had done his duty by finishing his study and had no place to go. One can imagine that 80 years ago with distorted and exaggerated information from homeland to young man of 20 year old like Erfaan, how much he felt worried and scared. His decision was not going back home in Kauman since his mame was used by Ahmaddiyah in Yogyakarta as a member of Ahmaddiyah movement founder.

He came to Pattani Thailand during 1930 to spend his life as assistant of Dr.Khan, a Pakistani doctor who had dedicated his life by working there. I met several sons of Dr.Khan who insisted that their father was not Ahmaddiyah but one time by chance had visited Lahore for attending a meeting. He met Erfaan who urged to accept him working as assistant in Thailand. Erfaan had worked with Dr.Khan for a year before wandering northward to Nakhonsrithammarat and finally to Bangkok. He probably met my mother, a daughter of Masjid Java's Imam, during his 25 year old of age. Impress of Erfaan's character and humble manner, Imam finally granted his youngest daugter, Yaharah, to my father. When they married, my mother was 16 a decade younger than her husband. My mother always made joke about poverty of Erfaan by saying he had only 2 sarongs when they married possibly in the year of 1934.

My father had spent 27 years of his life in Thailand until passing away on 8 May 1967 left behind 10 children with my mother. We had never learned about his life in Lahore, he just kept quiet about madarasah of Ahmaddiyah, I don't think that he had good mehmory there but did mention time to time about his joyful life in the family of a great man in Kauman but as a child I thought that he boasted of his big family that he had high pride. Who was his father we did not know until 1965 when he went first time back to Indonesia and returned to Bangkok with several stamps of KHA Dahlan. The poor family in Bangkok had finally something to be proud of, our grandfather was a national hero but on what we did not know.

Many rumours mentioned that my father was Ahmadist or follower of Ahmaddiyah, but we in family realized that it was only fitna. My father with all his life was Muhammadiyah who had sacrificed his whole life protecting reputation of his father by fading his profile in a land that little known by members of Muhammadiyyah in Indonesia. He had been depressed not to attend funeral of his mother Nyai Walidah but one day he was discovered by his elder sister, Aisah, that he who had disappeared from family for many decades was in Bangkok having big family with Javanese descendents. I met Auntie Aisah with her daughter Ibu Maisaroh when I was very young when they visited my family. Auntie Aisah tried to persuade my father going back to Indonesia but with 8 children at that time it was absolutely impossible.

My Brother Burhani, we really need Ahmaddiyah people to behave as gentlemen by leaving my father resting in peace not using him for raising up their reputation. Studying in Madarasah of Ahmaddiyah does not mean that he sold out his soul to be Ahmadist, he just did his responsibility to finish his education never let other people down. Therefore nothing in KHA Dahlan's family in Thailand links with Ahmaddiyah but so proud of KHA Dahlan as founder of Muhammadiyah. Fitna is fitna, just ignore and do not make it interfere our life.

Thank you all brothers and sisters, I really have no opinion on Ahmaddiyah, neither thinking that they are not Islam, that's just political issue behind the hidden conflict which finally weaken Islam in many ways. How can we compete with other beliefs and civilizations while such stories chained our legs? My corrections are also on some mistakes about my link to Thailand's royal family. I am just ordinary man with nothing link to my beloved King and Crown Prince. I am neither King's advisor or Crown Prince's friend, that story was just misinformation and sound not good and disrespectful as Thais. I therefore would like all Indonesians correct it. Another story was that my father had no relation with Chulalongkorn University, sorry my dear niece, Diah, that's also wrong information. Erfaan came to Bangkok not by assignment of Dr.Khan, he just left Pattani for seeking his own life after learning that there was Javanese community in Bangkok. Warm family of my mother's family especially great love and understanding of my mother on him had cured his pain from political defect caused by all stories happened in Yogyakarta, his hometown. Forgive and forget were taught that my father always gave to us. He told me when I was very young that all men if go out from birthplace one day have to go back and do anything good to their homeland. My father had no opportunity to do as his teaching, such duty is on my shoulder. As a son of my father this is the answer why I acceted an invitation to come to this beautiful land of great nation during Congress of Indonesian Diaspora II in Jakarta this time. I am a Thai belong to such fascinating country and I consider Indonesia as my father's homeland. If I can do anything good to Indonesia I shall do it on behalf of my family. We are thinking in our family that the fitna about my father in Indonesia during 1920s was hidayah from Allah Almighty, imagine, without such fitna, we would have never been born, Alhamdulillah. La ila ha il lallah, Muhammadar rasullulalah.

Retrieved from: https://www.facebook.com/najibburhani/posts/10151596103146795?notif_t=comment_mention

Irfan Dahlan & Ahmadiyah: Klarifikasi Keluarga Dahlan

Berikut ini klarifikasi keluarga KH Ahmad Dahlan tentang hubungan antara Irfan Dahlan dan Ahmadiyah (Lahore). Klarifikasi ini disampaikan oleh Dian Purnamasari Zuhair (cucu Irfan Dahlan).

KH. A. Dahlan wafat tahun 1923, dan eyang Djumhan (Nama Irfan itu setelah di Thailand) lahir pada tahun 1912. Artinya, pada waktu KHA Dahlan wafat, eyang Irfan baru berumur 11 tahun. Saya tidak tahu bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Jawa. Tapi yang pasti tidak ada Ahmadiyah di Thailand dan eyang Djumhan adalah korban.

Saya sebenarnya enggan mengulang cerita untuk mengklarifikasi dari banyak versi tentang nama-nama keturunan KHA Dahlan yang dicatut oleh Ahmadiyah sebagai bahan iklan mereka, yang itu sebenarnya tidak benar. Hmmm... saya harus mulai dari mana ya? Karena saya kan sudah pernah posting sekitar Oktober tahun lalu.

Ahmadiyah mencatut nama-nama keturunan KHA Dahlan sebagai bahan propaganda, padahal tidak benar. Bahkan di Belanda hal ini juga dibahas oleh seorang penulis Belanda yang bukunya pernah saya dan uncle Winai baca. Beberapa kali saya pernah sounding mengenai hal ini ke keluarga besar di Bangkok, reaksi mereka sih santai saja, karena toh semua versi yang tercatat di luaran itu tidak ada satu pun yang benar. Bahkan Muhammadiyah di Thailand sedang mereka urus ijin-ijinnya.

Lagipula penting sebagai catatan bahwa semua organisasi berbasis agama mana pun adalah dilarang di Thailand, termasuk organisasi berbasis agama budha yang agama mereka sendiri. Hanya satu-satunya Muhammadiyah yang Insya Allah segera turun ijinnya dari raja untuk berdiri di Songkhla (Thailand Selatan). Ini juga karena faktor kedekatan Dahlan Family di Bangkok dengan keluarga kerajaan, dimana uncle Winai Dahlan adalah sebagai salah satu dari penasehat raja dan bersahabat dengan putra mahkota.

Versi Buya Hamka yang mencatat bahwa eyang Djumhan (yang saat itu sudah berganti nama dengan Irfan) berada di Pattani untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah, adalah salah besar. Yang benar adalah, eyang Djumhan muda ketika berusia 12 tahun jalan 13 tahun (1925) dan cakap berbahasa hingga 8 bahasa asing, DIKIRIM oleh pengurus Muhammadiyah ke Lahore untuk belajar di sana, bersama 10 orang santri. Di waktu itu Muhammadiyah belum memahami betul mengenai apa dan bagaimana Ahmadiyah.

Eyang Djumhan kecil yang hanya tahu bahwa dia hanya dikirim oleh PP Muhammadiyah dan ditugaskan untuk belajar, maka belajar dengan sungguh-sungguh hingga lulus 6 tahun kemudian. Sementara 10 santri lainnya belum lulus.

Ketika tersiar berita bahwa Majlis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat, maka 10 santri yang belum lulus ditarik pulang, kecuali eyang Djumhan yang sudah lulus. Djumhan muda, 19 tahun, yatim, jenius, terlunta-lunta di negeri orang. Di negeri sendiri ditolak karena dituding sebagai Ahmadiyah, di Lahore juga bukan siapa-siapa. Ahmadiyah tidak mau tahu karena bagi mereka Djumhan muda adalah orang Muhammadiyah.

Alkisah ada seorang dokter specialis penyakit dalam yang seorang muslim datang dari Pattani ke Lahore untuk menghadiri sebuah kongres. Dokter yang baik hati itu terkesan dengan Djumhan yang memperkenalkan diri dengan nama "Irfan" yang saat itu bekerja sebagai pelayan restoran. Dokter itu lalu menawari Djumhan untuk menjadi asistennya karena dia tidak punya anak, dan menetap di Pattani. Djumhan/Irfan yang sebatangkara tentu saja menerima tawaran tsb dan ikut bersama dokter itu ke Pattani. Sejak itu jadilah Irfan menjadi asistennya (baca : pembantu). Selama tinggal bersama keluarga dokter tsb, Irfan juga diajari beberapa ilmu pengobatan. Irfan yang jenius dengan mudah mempelajarinya. Dokter tsb terkesan dengan kejeniusan asistennya ini, dan kemudian mengirim Irfan ke Bangkok untuk belajar ke Universitas Chulalongkorn dengan biaya kuliah dari dokter itu.

Berbekal surat pengantar dari Dokter untuk temannya yang di Chulalongkorn, baju seadanya dan 2 lembar sarung, Irfan berangkat ke Bangkok. Karena tidak punya banyak uang, maka Irfan menginap di Masjid Kampung Jawa di distrik Sathorn di Bangkok.

Baru sampai di Kampung Jawa, tersiar berita bahwa dokter yang sedianya akan membiayai Irfan kuliah di Chulalongkorn wafat mendadak. Irfan pun terkatung-katung di masjid Kampung Jawa.

Kehalusan budi pekerti, kesalehan, dan ketampanan Irfan rupanya membuat Imam (Ajengan) Masjid Kampung Jawa terkesan. Irfan yang miskin, yatim, dan sebatangkara itu pun diambilnya menjadi menantu. Irfan pada akhirnya memang batal kuliah di Chulalongkorn, tapi teman dari dokter yang mengirim dia memberinya pekerjaan di Universitas di bagian administrasi.

Irfan TIDAK PERNAH bercerita tentang siapa dia dan siapa ayahnya kepada anak2nya di Thailand. Mereka hanya tahu ayah mereka orang Indonesia. Mengapa? Karena hidup mereka sangat miskin dan Irfan tidak mau anak2nya minder mengetahui bahwa mereka berasal dari keturunan yang seperti apa tapi hidup melarat seperti apa.

Mana bukti Ahmadiyah mengakui Irfan atau bahkan mengutusnya? Tidak ada! Jika memang mereka betul mengutusnya, pasti kehidupan Irfan tidak akan sesengsara itu.

Anak-anak Irfan baru mengetahui jati diri ayahnya ketika tahun 1961 Bung Karno memberikan rumah kepada keluarga besar KHA Dahlan. Irfan sebagai satu-satunya anak laki-laki KH A Dahlan yang masih hidup pun diminta pulang untuk acara serah terima rumah tsb. Berbekal uang hasil berhutang sana sini, Irfan pun pulang ke Indonesia.

Irfan kembali ke Thailand hanya dengan membawa perangko dan foto-foto KHA Dahlan, dan menghadapi kenyataan bahwa dia terbelit hutang. Irfan meninggal dunia dalam perjalanan pulang kerja karena serangan jantung akibat memikirkan beban hutangnya yang banyak sementara 10 orang anaknya masih membutuhkan biaya. Jenazah Irfan diketemukan orang di jalan dan dibawa ke RS. Lazimnya di Thailand, jenazah orang yang tak dikenal dan masih segar akan segera diambil organ-organ tubuhnya yang masih baik untuk donor. Dan seperti itulah nasib jenazah eyang Irfan. Keluarga baru mengetahui satu hari setelahnya, namun beberapa organ dalam tubuh eyang sudah tidak ada.

Sekarang, mana tanggung jawab PP Muhammadiyah yang MENGIRIMKAN Djumhan muda ke Lahore? Tidak ada. Bahkan Djumhan diterlantarkan. Mana bukti Ahmadiyah mengutus Djumhan ke Thailand untuk berdakwah? Tidak ada! Bahkan Djumhan dilempar begitu saja di jalanan setelah Muhammadiyah memutuskan Ahmadiyah sesat. Dan siapa Djumhan Dahlan alias Irfan Dahlan? Dia adalah anak muda yang jenius yang menjadi seekor kancil yang mati terinjak 2 gajah yang sedang berseteru...

Kini, setelah Muhammadiyah mulai berpengaruh di dunia, setelah putra Irfan Dahlan menjadi tokoh dunia (versi buku 1000 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia), baru Ahmadiyah kebakaran jenggot bikin buku dan menulis blog yang mencatut nama orang yang dulu mereka buang.

Memang pernah ada sekali tokoh Ahmadiyah datang ke Bangkok beberapa waktu sebelum eyang wafat dan bertamu ke rumah eyang. Tapi bukan karena mereka sepaham, namun hanya sekedar seorang tuan rumah yang kedatangan tamu. Mereka berfoto dan ternyata kemudian foto itu dijadikan alat propaganda oleh Ahmadiyah.

Uncle Winai juga pernah didatangi oleh tokoh Ahmadiyah ketika beliau menghadiri kongres halal di Lahore beberapa tahun lalu. Tokoh tsb berusaha menegaskan bahwa eyang Irfan adalah orang Ahmadiyah, tapi uncle Winai tetap bersikeras bahwa ayahnya adalah Muhammadiyah, beliau juga Muhammadiyah, dan keluarganya adalah Muhammadiyah. Syahadat mereka juga syahadat tain.. Ilmu-ilmu agama yang diajarkan oleh Irfan kepada anak2nya juga ilmu yang didapat dari ayahnya, KHA Dahlan.. Anak2 Irfan tidak tahu siapa Mirza Ghulam Ahmad karena memang Irfan tak pernah mengajarkan. Mereka baru tahu lama setelah Irfan wafat. Dan yang jelas tidak ada Ahmadiyah dan pengikutnya di Thailand.

Masjid Kampung Jawa adalah Masjid Islam yang sifatnya masih umum. Bukan Muhammadiyah, bukan NU, bukan Wahabi, bukan mana-mana. Hanya "Islam". Tapi nafas yang ditaburkan oleh Irfan sebagai menantu Imam Besar adalah nafas Muhammadiyah.

Di Belanda juga ada tulisan bahwa cucu KHA Dahlan, Wahban Hilal, yang adalah putra pertama dari pasangan Haji Muhammad Hilal dengan putri pertama KHA Dahlan, Johannah Dahlan, juga disebut sebagai anggota Ahmadiyah sejak 1974.

Itu sama sekali tidak benar. Uncle Wahban bermukim di Belanda sejak kuliah hingga wafatnya. Menikah dengan wanita Belanda di Belanda. Sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan Ahmadiyah.

Memang di tahun 1974, uncle berangkat umroh dan kembali sambil melancong dan silaturahmi ke keluarga. Kunjungan pertama setelah dari Jeddah yaitu ke Lahore, lalu ke Indonesia (Jakarta, Yogya), lalu ke Singapore, kemudian ke Thailand, kembali ke Singapore dan kembali ke Belanda. Kemungkinan seperti kasus uncle Winai yang didatangi tokoh Ahmadiyah. Memang hanya bertemu saja, tidak ada istilah dibaiat atau sebagainya. Namun hal ini dipropagandakan oleh Ahmadiyah.

From: https://www.facebook.com/groups/warga.muhammadiyah/permalink/10152157499097796/?comment_id=10152158312042796&offset=0&total_comments=25&notif_t=group_activity

Wednesday, July 31, 2013

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (Bagian 1) 

Perkembangan politik di Surakarta memang menjadi suatu jalur pergerakan nasional yang dinamis tetapi pada sisi yang lain gerakan-gerakan ini juga dilaksanakan melalui gerakan budaya. Kota Surakarta merupakan acuan dari lahir dan berkembangnya pergerakan nasional tidak hanya secara politik tetapi juga menjadi barometer perkembangan budaya Jawa. Pada masa pergerakan nasional terutama pada tahun-tahun awal pergerakan berbagai gerakan budaya muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan nasional sendiri. Hal ini menjadi wajar karena terjadi stagnasi dari proses perkembangan budaya Jawa. Perkembangan bahasa sebagai alat pergaulan pada masa pergerakan telah beralih kepada bahasa Melayu sebagai lingua franca, tidak heran ketika pada tahun-tahun 1918 muncul gerakan nasionalisme Jawa yang diusung oleh kekuatan Keraton Surakarta.

Menurut Benedict R. Anderson, Jawa terutama kerajaan-kerajaannya telah mengalami dua krisis yang telah disangga bersama-sama oleh orang Jawa dan rakyat-rakyat terjajah lainnya. Pertama adalah krisis politiko-kultural dimana sejak permulaan abad ke-17 para penguasa Jawa benar-benar telah mengalami serangkaian kesalahan, kehinaan dan bencana yang hampir-hampir tak kunjung henti. Sejak akhir abad ke-18 raja-raja Pakubuwono, Hamengkubuwono dan Mangkunegoro, semuanya telah menjadi raja-raja kecil yang “berkuasa” dengan perkenan belanja dan bertahan hidup secara ekonomi demi subsidi Belanda. Ketidakmampuan golongan elit Jawa membebaskan ketertidasan rakyat dari belenggu penjajahan diungkapan secara gamblang oleh pujangga Keraton Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha yaitu:
“Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Parandene tan dadi, Paliyasing kalabendu….”
(Rajanya raja utama, Perdana menterinya tegak dalam kebenaran, Bupatinya konstan hati, Pembantunya sempurna, Namun tak seorang pun tetap tinggal, Zaman malapetaka)

Bait ini menunjukkan bahwa bahkan seorang raja yang turun menurun sempurna pun sekarang tidak mampu lagi untuk memenuhi tugas lamanya yang telah dirumuskannya sendiri yaitu guna mencegah kalabendu. Raja hanya mampu menunjukan kekuasaannya melalui berbagai politik simbol yang dipergunakan melalui berbagai gaya hidup, karya sastra, dan upacara-upacara yang dibesarkan melalui mitos-mitos.

Krisis kedua adalah krisis sastra dan bahasa yang menurut Benedict R. Anderson disebabkan kehancuran kerajaan Majapahit dan kehancuran peradaban pesisir Jawa yang dilakukan oleh Sultan Agung. Kehancuran dua kebudayaan ini dianggap sebagai jaman kegelapan Jawa yang pekat karena terobek-robek oleh berbagai macam peperangan, pembuangan, perampokan, pembantaian dan kelaparan. Krisis-krisis tersebut pada masa pergerakan menjadi sebuah gejolak-gejolak dalam masyarakat yang dituangkan dalam berbagai gerakan-gerakan. Gerakan-gerakan ini terimplementasikan dalam sebuah gerakan budaya yang memiliki dua arah terhadap dua kekuasaan yaitu kekuasaan kolonial dan feodal yang diwakili oleh raja, dan priyayi-priyayi pembantu raja. Dua arah gerakan budaya tersebut adalah budaya affirmative dan budaya kritis (Kuntowijoyo, 2004).

Gerakan politik yang telah modern juga menunjukan ke arah sana. Di Surakarta seperti telah dibahas di awal kekuatan politik terletak pada gerakan-gerakan Boedi Oetomo dan SI. Boedi Oetomo banyak didukung oleh kalangan priyayi dan bangsawan kerajaan sedangkan SI lebih banyak didukung oleh kalangan rakyat kecil dan pedagang. Dalam perjalanan gerakan SI Surakarta lebih banyak menggunakan budaya kritis dalam menghadapi dua kekuasaan yaitu kekuasaan kolonial dan feodal. Begitu pula menyikapi kondisi organisasi SI sendiri terutama CSI. Budaya kritis yang dilakukan digunakan sebagai penyeimbang kekuatan dari kekuatan dan kekuasaan CSI yang sangat besar. Selain itu, budaya kritis yang digunakan oleh SI Surakarta merupakan bagian dari konflik dengan CSI sendiri yang telah berlangsung cukup lama yaitu semenjak kekuasaan dan kepemimpinan SI berpindah ke kota Surabaya.

Bulan Januari 1918 tepatnya tanggal 9 dan 11 Januari, surat kabar Djawi Hiswara koran yang dipimpin oleh Martodharsono anggota SI Surakarta menerbitkan sebuah artikel dalam sebuah bahasa Jawa. Koran Djawi Hiswara terbit dalam dua bahasa Jawa dan Melayu. Artikel ini memuat percakapan antara Marto dan Djojo, percakapan ini rupanya diambil dari sebuah Suluk yang sangat terkenal mengenai ilmu makrifat dan Kejawen yaitu Suluk Gatoloco. Tokoh dalam serat ini yaitu Gatoloco merupakan seorang yang buruk rupa yang memiliki ilmu agama yang tinggi. Ia suka menghisap candu dan menganggap dirinya adalah utusan Tuhan. Percakapan Marto dan Djojo hampir tidak jauh berbeda dengan isi serat tersebut yaitu percakapan mengenai keberadaan Tuhan dan penggunaan candu serta minuman keras oleh para pelakunya.
Menjelang akhir percakapan Marto analogi bahwa wujud Gusti Allah adalah seperti angin yang tak berwujud. Sebelum melanjutkan percakapan kembali tentang Gusti Allah mereka beristirahat. Djojo merokok dan meminum minuman keras (ciu) sebagai penghangat badan. Akhir percakapan Djojo berkata: “inggih mangsuli bab badhe angrembag Gusti Allah rehning sampundalu punapa boten prayogi enjing-enjing kemawon, sarta mawi pirantos wilujwngan sekul wuduk, ciu, lan klelet, Gusti Kanjeng Nabi Rasul Sallaluhualihi wassalam, kados sabataning tiyang dipun wejang ( maguru). (Ya, kembali pada pembicaraan tentang Gusti Allah, karena sudah malam sebaiknya besok pagi saja dengan perlengkapan selametan, nasi uduk, minuman ciu dan tembakau, Gusti Kanjeng Nabi Rasul SAW, seperti kebanyakan orang dinasehati) (Djawi Hiswara, 11 Januari 1918).

Perkataan Djojo bahwa untuk membicarakan mengenai Tuhan maka harus dilengkapi dengan perlengkapan slametan yaitu nasi uduk, minuman ciu dan tembakau sesuai dengan nasehat Gusti Kanjeng Nabi Rasul S.A.W. Hal ini juga menjadi sebuah kebiasaan bagi masyarakat Jawa yang menganut javanism, bahwa slametan merupakan ritual untuk menyembah Gusti Allah, dan memberikan berbagai sesaji sebagai syaratnya. Perkataan-perkataan dalam percakapan tersebut menimbulkan polemik bagi kalangan umat Islam dan menganggap apa yang tertulis dalam artikel tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan agama Islam karena dalam agama Islam minuman beralkohol dan candu adalah haram hukumnya. (Bersambung)

http://phesolo.wordpress.com/2012/01/20/polemik-djawi-hisworo-abangan-versus-islam-bagian-1/

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (2)
Friday, 28 December 2012

Joko Prayitno

Kemunculan artikel Djojodikoro yang berjudul Percakapan antara Marto dan Djojo di koran Djawi Hiswara direspon keras oleh anggota-anggota CSI yang berkedudukan di Surabaya. Mereka menganggap apa yang telah dimuat dalam harian Djawi Hiswara sebagai bentuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Seperti dalam Oetoesan Hindia Abikoesno Tjokrosoejoso, adik Tjokroaminoto dan sekretaris SI Surabaya, berseru agar membela Islam dan menuntut Sunan serta pemerintah Hindia agar menghukum Martodharsono dan Djojodikoro.
gambar-dewa-dalam-penanggalan-wuku-11
Gambar Dewa Dalam Penanggalan Wuku 1
Martodharsono menjelaskan bahwa ia telah memberi catatan di bawah tulisan Djojodikoro sebagai maksud bahwa apa yang ditulis oleh Djojodikoro mengandung maksud lain dan tidak berusaha untuk menyalakan api kemarahan kaum muslimin. Dalam catatan Martodharsono menulis:
“rembag makaten poeniko jektosipoen boten kenging dipoen gelar hing serat kabar, hawit sampoen mesti damel sak serik dateng hingkang boten doengkap”.(pertjakapan selakoe ini ini sesoenggoehnja tidak boleh dihampar di soerat kabar, sebab soedah tentoe bikin koerang senang hati pada jang tidak mengerti.). “bahwa saja tidak sadja menegah pada Djojodikoro djoega memaloemkan kalaoe toelisan mana arti lain sopaja djangan ada jang menerima salah, sedangkan dimaksoednja, jang dikatakan rasoel dalam pertjakapan itoe, boekan Nabi kita s.a.w. Kandjeng Nabi Moehammad Rasoel Allah, tetapi rasoel rasa (gevoel) nja masing-masing, djadi siapa jang bertjakap ialah jang mempoenjainja. Demikianlah maananja jang saja kira tiap-tiap orang abangan misti mengarti, asal sadja telah pernah bergoeroe tentang ilmoe jang oemoemnja di bilang ilmoe kematian…”(Djawi Hiswara, 4 Februari 1918).
Martodharsono berbalik menyerang apa yang dilakukan oleh Abikoesno Tjokrosoejoso sebagai manuver politik dari konflik yang terjadi di tubuh SI dan dendam pribadi CSI terhadap Martodharsono. Dalam pernyataannya Martodharsono mengatakan:
“Perkara koeno kata saja, ja’ni sebatas congres CSI di Djocja (Jogjakarta) dan pilihan President, wektoe mana saja misih djadi Redacteurnja Sarootomo, moelai itoe dan selandjoetnja saja selaloe tinggal di fihak jang saja pandang bagoes lagi toeloes haloeannja seperti toean Semaoen, toean Marco, djuga toean Sneevliet dan toean Baars, walaoepoen Belanda, atjapkali saja bintjangkan dan saja poedji, tetapi sebaliknja saja djadi gagoe daripada saja misti memoedji Tjokroaminoto jang moedah poetoeskan djandjinja, antara toean Hadji Samanhoedi, bapa SI itoe, pada hal djandji mana terkoentji dengan soempah, lebih teges saja tidak pernah memoedji akan dia, melingkan membilangkan sadja apa jang ada dengan sebenarnja. Itu sebab complotnja amat membentji pada saja.”(Ibid.)
Pembelaan ini mengungkapkan bahwa dalam tubuh CSI sendiri telah terjadi konflik kepentingan antara pihak CSI dan komunis. Martodharsono melaporkan bahwa ia telah menunjukan sikap keberpihakannya kepada kelompok sayap kiri Semarang ketika ia masih menjadi redaktur surat kabar Sarotomo.
Martodharsono menduga bahwa hal ini disebabkan oleh kedekatan dirinya dan Djawi Hiswara dengan kelompok komunis di Semarang. Menurut Takashi Shiraishi munculnya artikel Djojodikoro di Djawi Hiswara memberikan kesempatan emas kepada Tjokroaminoto sebagai pimpinan CSI untuk melakukan tiga hal, yaitu:
1.         memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memperdulikan Islam
2.         menghimpun saudagar-saudagar santri dan Arab, menghimpun uang
3.         menggerakkan SI-SI yang terbengkalai di bawah pimpinannya dalam semangat membela Islam lalu menyerang musuh-musuh lamanya   dari Surakarta, Martodharsono, Samanhoedi, Sosrokoernio (Takashi Shiraishi, 1997).
Langkah lain yang dilakukan oleh Tjokroaminoto adalah mengadakan reli SI yang panjang bersama Hasan bin Semit pemimpin Al Irsyad Surabaya dan juga komisaris CSI untuk membicarakan “masalah Djawi Hiswara”. Pada awal Februari di Surabaya didirikan Komite Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum muslimin”. Tjoroaminoto menjabat sebagai ketua, Sosrokardono sebagai sekretaris, Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib seorang pemimpin Al Irsyad Surabaya sebagai bendahara. Kunci TKNM terletak pada dua kata, tentara yang menandakan militansi, dan Muhammad, lambang persatuan kaum putihan. Kini tentara kaum putihan untuk pertama kalinya dalam politik pergerakan diarahkan kepada kaum abangan.
Seruan TKNM yang militan untuk membela Islam terbukti sangat berhasil. Vergadering di Surabaya pada 6 Februari 1918 berhasil mengumpulkan dana lebih dari tiga ribu gulden. Reli protes yang diadakan serentak pada tanggal 24 Februari 1918 di empat puluh dua tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatra dihadiri lebih dari 150.000 orang dan berhasil mengumpulkan dana lebih dari sepuluh ribu gulden. Subkomite TKNM didirikan hampir di seluruh Jawa kecuali Semarang dan Jogyakarta. Sejumlah SI lokal yang terbengkalai berhasil dibangkitkan kembali dibawah pimpinan subkomite-subkomite TKNM.
Tulisan Djojodikoro di Djawi Hiswara tidak menimbulkan protes di Surakarta, tetapi ketika isu tersebut dibuat menjadi isu nasional kaum muda Islam Surakarta tidak bisa lagi mengabaikannya. Pada 9 Februari 1918 bestuur SI Surakarta memutuskan untuk mengadakan vergadering umum protes pada 24 Februari, sebagaimana yang diminta Tjokroaminoto. Kekuatan penggerak di balik kampanye anti-Martodharsono, anti-Djawi Hiswara ini adalah H. Misbach, H. Hisamzaijnie, adviseur CSI, dan R. Ng. Poerwodihardjo, guru sekolah bumiputra Kasunanan dan pemimpin serikat guru (Perserikatan Goeroe Hindia Belanda). Tatkala menjelang rapat umum semakin dekat, kasak-kusuk menyebar bahwa Misbach akan menghadapi Martodharsono di arena vergadering. Vergadering SI Surakarta diadakan di taman Sriwedari dihadiri oleh sekitar 4000 orang yang sebagian besar adalah bumiputra dan orang-orang Arab yang merupakan kring-kring SI dari luar Solo dan memutuskan mendirikan TKNM di Surakarta (Djawi Hiswara, 25 Februari 1918).
Pengangkatan isu kristenisasi dan penghinaan agama Islam yang dilakukan oleh CSI mendapatkan sukses besar dengan terbentuk sub-sub komite TKNM dan terkumpulnya dana serta kembalinya dukungan dari kaum putihan yang kaya. Hal ini terlihat dengan pengharapan masyarakat ditujukan kepada TKNM yang baru terbentuk, yang diungkapkan dalam Islam Bergerak:
“saja berpengharapan kepada Comite TKNM moedah-moedahanlah dengan segera bergiat bekerdja akan menjampaikan betapa jang djadi toedjoeannja, dan haroeslah toean-toean kaoem Moeslimin memberikan toendjangan dengan sekoeat-koetnja bagai geraknja Comite dan djoega haroelah dengan sesegera-segeranja mamajoekan permintaan kepada Regeering akan dibantoe setjoekoepnja oentoek menjampaikan maksoednja, haroeslah Comite TKNM  mengabarkan kepada sekalian pendoedoek Moeslimin di Hindia apa jang akan dikerdjakan oleh Comite boeat menjampaikan maksoednja akan mengekalkan perasaan Islam kepada anak Hindia, sepandjang pendapatan saja jang lebih perloe Comite TKNM haroeslah lebih dahoeloe berdaja oepaja akan dapat mendirikan roemah-roemah sekolah jang sepadan dengan zamannja oentoek anak-anak kita kaoem moeslimin dengan peladjaran igama”(Islam Bergerak, 10 April 1918).

(Bersambung…..)

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (3 – habis)

Wednesday, 2 January 2013

Joko Prayitno

Pembangunan isu baik yang dilakukan melalui vergadering-vergadering, surat-surat kabar maupun pengumpulan dana merupakan bagian aktivitas TKNM yang terlihat pada masa-masa awal.  Pada perjalanan waktu TKNM tidak lebih dari alat pengumpul dana dari CSI pimpinan Tjokroaminoto untuk membangun basis dukungannya. Tidak adanya gerakan yang nyata dari TKNM membawa kekecewaan-kekecewaan bagi pendukungnya.

Setelah TKNM dibentuk dan tampaklah bahwa TKNM tidak memiliki kekuatan dan langkah untuk bergerak seperti yang diharapkan oleh pendukung-pendukungnya. Kekecewaan-kekecewaan mulai bermunculan di kalangan umat Islam. Hal ini dikarenakan TKNM hanya pada awalnya saja mengadakan gerakan anti-Martodharsono dan anti-Djawi Hiswara yang dianggap telah menghina Nabi Muhammad SAW dan agama Islam, tetapi setelah dukungan secara material didapatkan, TKNM tidak memiliki senjata yang ampuh untuk menghukum Martodharsono hanya sebatas himbauan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menghukum Martodharsono dan Djawi Hiswara.


Gambar Dalam Penanggalan Wuku

Kekecewaan-kekecewaan tersebut dapat terlihat di berbagai daerah yang mendirikan komite-komite TKNM. Komite-komite TKNM tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya karena tidak memiliki dana, sedangkan dana yang ada semuanya masuk ke kas CSI di Surabaya. Sedangkan dalam pembentukannya TKNM bermaksud mendirikan sekolah-sekolah agama Islam. Tetapi dalam kenyataannya sejak berdiri dan terkumpulnya dana hal tersebut tidak terlaksana.Di Solo penyumbang terbanyak adalah H. Misbach dan pedagang batik lainnya dan mempercayakan kepemimpinan TKNM kepada pegawai keagamaan yang progresif, kiai, dan guru ngaji. Tetapi janji yang tidak pernah dilaksanakan oleh bestuur komite TKNM membuat mereka kecewa dan hal ini terungkap dalam sebuah artikel di Islam Bergerak yang berbunyi:
“maka kami tahoe dengan terang bahwa Comite TKNM di Soerabaia adalah mempoenjai wang kas jang begitoe besar dan dalam masa ini beloem begitoe terpakai hendaklah wang kas tadi lekas-lekas dikerdjakannja, kami telah mengerti betoel bahwa maksoed Comite TKNM hendaklah mendirikan sekolahan Kweekschool, poerbaganda tentang agama dan menjitak boekoe-boekoe dari sebab maksoed Comite TKNM adalah begitoe besar sekali maka dari pendapetan kami adalah mahal sekali akan kedjadiannja djikalau Comite TKNM hendaklah menoenggoe-menoenggoe sadja akan koempoelnja wang sampai kedjadian maksoed tadi, soedah barang tentoe terpaksa soenggoe jang terlaloe lamanja”(Islam Bergerak, 20 November 1918).
Artikel ini meminta agar komite TKNM merubah rencana kegiatannya itu menjadi pengumpul uang saja untuk membantu organisasi lain yang kekurangan uang, karena banyak organisasi yang bermaksud sama dengan TKNM tetapi bergerak dengan kurangnya uang. Selain hal tersebut kritik pedas juga menyertai dalam artikel ini:
“menilik pendapatan wang derma jang telah ditrima oleh Comite, soedah begitoe banjak, tetapi maksoednja djatoeh kosong sadja, dari itoe teranglah pada kami bahwa Comite pande tjari wang tetapi tidak pande mengerdjakannja. Lain perhimpoenan seperti Mohammadijah di Djokja, Sidik Amanat Tableg di Solo, SI Semarang, SI Koedoes, SI Djocja, dan laen-laen, bisa mengerdjakan maksoednja, tetapi tidak pande tjari wang jang tjoekoep boeat bekal ongkosnja.Maka dari itoe kami mintak dengan keras hendaklah Comite TKNM di Soerabaia soeka memperhatikan Voorstel kami jang terseboet di atas. Apabila Comite tidak soeka memperhatikan voorstel kami, kami brani pastikan sebentar lagi wang Comite habis dimakan Rajap dan maksoed Comite tidak akan kedjadian”( Islam Bergerak, 20 November 1918).
Kritik pedas ini menambah kecurigaan terhadap komite TKNM yang berpusat di Surabaya tidak bersikap serius dalam membela agama Islam. Anggota-anggota komite TKNM di Solo sangat resah sehingga kembali mengeluarkan artikel untuk mengingatkan kembali komite TKNM yang berpusat di Surabaya agar memenuhi janjinya. Dalam artikel di Islam Bergerak bulan tanggal 10 Juni 1918 Mr. Zahid, menulis kekecewaannya terhadap kinerja TKNM. Mr. Zahid menulis dalam artikel tersebut kritik yang sangat pedas dan curiga adanya manipulasi penggunaan uang derma yang cukup besar. Ia mengatakan:
“Sjahdan saja mendengar chabar poela, bahwa kas Comite di Soerabaia ada banjak sekali, saja ada koeatir sampai sekarang masih nihil, djangan-djangan nanti oeang jang sebanjak itu dimakan “pest kepala hitam” ada-ada sadja! En, di Solo ada ada apa? Ja, baroe remboeg sadja, djangan-djangan nanti wang kas abis di makan remboeg sadja.Sesoenggohnja tioei itoe djika tiada dipraktekkan tida ada goenanja alias kosong sadja, apakah tida maloe kamoe Comite! Kamoe telah bertrijak-trijak setinggi langit sap toedjoe, abis bertrijak tinggal angop sadja, bangsa lain tinggal tertawa, tjis, tjis, tjis, kata bangsa lain, Comite wang kasnja djadi sate, dimakan pest kepala itam sampai kasnja tinggal melenge”(Islam Bergerak, 10 Juni 1918).
Kekecewaan juga ditujukan terhadap pengurus komite TKNM di Solo yang dianggap sebagai bangsa yang tengak-tenguk alias malas. Redaksi Islam Bergerak tidak dapat memberikan keterangan terhadap kegiatan komite TKNM, karena memang kenyataannya tidak ada kabar kegiatannya. Kenyataan menjadi jelas bahwa rencana untuk membangun TKNM yang bertujuan membela agama Islam tidak terlaksana, hanya digunakan sebagai kendaraan oleh CSI untuk mengisi kasnya yang kosong. Di Solo H. Misbach merasa kecewa terhadap Hisamzaijnie ketua TKNM dan juga pemimpin redaksi Medan Moeslimin milik H. Misbach. Akhirnya H. Misbach memecat Hisamzaijnie sebagai pemimpin redaksi Medan Moeslimin.
Keputusan untuk mengambil aksi mengecam tindakan Djawi Hiswara dilakukan Muhammadiyah di Yogyakarta yang mengirim surat terbuka untuk Gubernur Jendral Dukungan untuk menghukum Djojodikoro dan Martodharsono juga dilakukan melalui kecaman-kecaman di dalam surat kabar oleh individu-individu, terutama yang ditulis di surat kabar Islam Bergerak.
Komite Nasionalisme Jawa mengirimkan sebuah artikel di harian Neratja tanggal 23 Februari 1918 yang ditulis oleh pengurus Komite Nasionalisme Jawa yaitu R.M.S. Soerjokoesoemo, Satiman dan Abdul Rachman. Artikel ini menunjukkan adanya dua pendapat yaitu menyayangkan terbitnya artikel Djojodikoro dan kedua adalah reaksi yang berlebihan dari kelompok Islam. Komite Nasionalisme Jawa menganggap bahwa kehidupan beragama harus dipisahkan dengan politik sehingga tidak menimbulkan reaksi yang negatif. Komite Nasionalisme Jawa juga menganggap bahwa setiap agama ataupun kepercayaan berhak hidup dan berkembang tanpa harus dihalang-halangi oleh kekuatan politik. Apa yang dilakukan oleh Tentara Kanjeng Nabi Muhammad dianggap menghalangi perkembangan dan tumbuhnya kebudayaan Jawa yang sedang diusahakan (Neratja, 23 Februari 1918).
Menariknya adalah bahwa keraton Surakarta sebagai simbol panatagama tidak melakukan sebuah reaksi apapun terhadap polemik ini. Padahal baik CSI, TKNM, maupun Muhammadiyah telah meminta kepada Susuhunan untuk menghukum Martodharsono yang telah menghina agama Islam. Sikap diam dari keraton Surakarta disebabkan keraton juga pendukung dari berkembangnya budaya Jawa, sedangkan sejak lama kehidupan beragama keraton merupakan kehidupan beragama yang dilingkupi oleh budaya mistik kejawen. Baik raja, priyayi bangsawan, maupun abdi dalem adalah bagian integral dari kebudayaan kejawen yang masih memegang teguh tradisi. Sehingga polemik yang terjadi antara Martodharsono dan CSI tidak membuat keraton mengambil sebuah keputusan.
Reaksi terhadap artikel Djojodikoro di surat kabar Djawi Hiswara memunculkan gerakan TKNM dan kedua belah pihak mencoba melibatkan pemerintah kolonial Belanda untuk memutuskan konflik ini. Pihak Martodharsono meminta pemerintah memahami bahwa persoalan ini adalah persoalan agama dan sepatutnya pemerintah tidak mengambil tindakan apa-apa dan bersikap netral, sedangkan CSI dan organisasi Islam lainnya meminta pemerintah kolonial Belanda menghukum Martodharsono dan surat kabarnya. Hal ini didasarkan kepada sejauh mana pemerintah kolonial Belanda memperhatikan keberadaan agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Bumiputra. Dalam kasus Djawi Hiswara dan CSI maka terlihat bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak mengambil tindakan apapun. Pemerintah kolonial Belanda bersikap “netral” dalam kasus ini, pemberian ijin diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda bagi CSI untuk mengadakan vergadering-vergadering, dengan catatan bahwa vergadering-vergadering tersebut hanya membicarakan masalah agama Islam dan bukan berbicara masalah politik. Vergadering ini juga dijaga oleh polisi yang cukup besar untuk mengamankan acara tersebut, hal ini terlihat terutama dalam vergadering di kota Solo.

Tuesday, July 30, 2013

Ahmad Dahlan vs. Djojodikoro & Martodarsono (Djawi Hisworo)

Oetoesan-Hindia, Hari Rebo, 27 Februari 1918


Oetoesan-Hindia, Hari Kemis, 31 Januari 1918



 Oetoesan-Hindia, Hari Rebo, 6 Februari 1918


Oetoesan-Hindia, Hari Saptoe, 9 Februari 1918


Oetoesan-Hindia, Hari Rebo, 13 Februari 1918


Thursday, July 11, 2013

Kitab Fiqh Muhammadiyah Awal

BUKU KITAB FIQH JILID TELU, yang dikarang dan diterbitkan oleh MUHAMMADIYYAH bagian TAMAN PUSTAKA Djokjakarta, terbit tahun 1343 Hijriyyah.

setelah membaca buku tersebut.... DAPAT DISIMPULKAN antara NU dan Muhammadiyyah, dari sisi amaliyahnya itu dulunya sama. antara lain : 1. bacaan iftitah, 2. sholawat yang menggunakan SAYYIDINA, 3. dzikir setelah sholat, DLL.

1. dalam bab WACAN SHOLAT LAN MA'NANE halaman 25, bacaan IFTITAH-nya KABIROWWALHAMDULILLAHI KATSIRO.... bukan ALLOHUMMA BAA'ID....

2. pada halaman 26 Fatihah menggunakan BASMALAH....

3. dalam halaman 29, sholawat yang dibaca dalam tahiyyat menggunakan SAYYIDINA

semua itu dipertegas dalam BAB PIRANGANE RUKUNE SHOLAT halaman 31-33. kecuali masalah sholawat. di bab ini dijelaskan sholawat adalah allohumma sholli 'ala Muhammad. hemat saya, penjelasan itu sekedar menunjukkan bahwa bacaan sholawat itu cukup dengan ALLOHUMMA SHOLLI 'ALAA MUHAMMAD, bukan membid'ahkan sayyidina....

dipertegas lagi dalam rukun hutbah halaman 57, membaca sholawat menggunakan sayyidina.

4. di halaman 27 dijelaskan adanya QUNUT dengan Dow ALLOHUMMAHDINII.....

5. halaman 57 khutbah jum'at, dua kali.

6. dzikir ba'da sholat pada halaman 40-42, dengan bacaan sbb:

- astaghfirullohah adziim alladzii paar ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum waatuubu ilaiih... 3 Kali

- allohumma antassalam.... 3 Kali

- subhaanalloh 33 Kali

- allohu Akbar 33 Kali

- alhamdulillah 33 kali

YANG MEMBUTUHKAN BUKUNYA SILAHKAN

Download

Retrieved from: http://pustaka-darulhikmah.blogspot.com/2013/05/kitab-fiqh-muhammadiyyah.html

Catatan: Tradisi fiqh di Muhammadiyah sebelum 1929 memang tak berbeda jauh dr tradisi di NU. Jadi, buku itu tak terlalu mengejutkan (justru mengokohkan pandangan yg selama ini beredar). Perubahan di muhammadiyah itu terjadi, diantaranya, krn pengaruh Haji Rasul (dan Muhammadiyah Sumatra Barat) yg cukup menentukan corak pemahaman fiqh Muhammadiyah. Adagium yg cukup dikenal: Muhammadiyah lahir di Yogya, tapi secara ideologi dibentuk di Sumatra Barat. Peacock sudah pernah membahas persoalan ini. Pembentukan Majlis Tarjih di sekitar tahun 1928 juga mengokohkan pergeseran ini. Pendeknya, fiqh bukan menjadi concern utama Muhammadiyah awal, mereka lebih sibuk pada feeding (panti asuhan), healing (rumah sakit), & schooling (sekolah).

Tuesday, July 2, 2013

Jejak Keluarga KH Ahmad Dahlan di Thailand

Senin, 17 Juni 2013 , 05:55:00
KELUARGA DAHLAN. Dari kiri: Dahlan Ahmad Dahlan (anak nomor 4), Rambhai Dahlan (anak nomor 1), Amphorn Sanafi atau Mina (anak nomor 6), Adnan Dahlan (anak nomor 7), Dr Winai Dahlan (anak nomor 5), Phaiboon atau Ismael Dahlan (anak nomor 2) dan Phairat Dahlan alias Pairat (anak nomor 3) bersama dengan kedua orang tua mereka, Irfan Dahlan dan Zahrah. Foto: Istimewa Keluarga.


SIAPA sangka, bila penyebaran Islam di Thailand, yang mayoritas penduduknya beragama Budha, ternyata ada andil keturunan KH Ahmad Dahlan, pendiri ormas Islam terbesar Muhammadiyah yang juga pahlawan nasional Indonesia. Jawa Pos National Network (JPNN) beberapa waktu lalu bertemu dengan salah satu cucu KH Ahmad Dahlan di Bangkok, Thailand, yang kemudian mengungkap kisah perjalanan keluarganya dan perjuangan mereka menyebarkan Islam di Thailand hingga saat ini.

Laporan: Afni Zulkifli-Bangkok


Setelah berkomunikasi sejak pagi, barulah menjelang sore waktu Thailand, JPNN bertemu dengan Amphom Dahlan (60) di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia Bangkok.

Perawakannya sedang, pembawaannya ramah dan wajahnya sangat khas Indonesia. Namun begitu mengajaknya berbicara, barulah diketahui bahwa ia warga asli Thailand. Bahasa Inggrisnya lancar, begitu juga bahasa Thai (bahasa nasional Thailand). Namun sesekali, ia juga bisa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia.

“Soal bahasa, nanti ada ceritanya sendiri. Kita masih punya waktu panjang untuk bercerita hari ini,” kata Amphom dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Dengan bahasa ‘gado-gado’ campuran Inggris dan Indonesia, Amphom Dahlan yang merupakan cucu dari KH Ahmad Dahlan, mulai berbagi kisah tentang keluarganya.

“Ayah saya bernama Erfan Dahlan (dalam sejarahnya tertulis Irfan Dahlan) atau dikenal dengan nama Jumhan Dahlan. Merupakan anak kandung dari KH Ahmad Dahlan,” kata Amphom yang ingin disapa dengan nama Mina.

Dalam catatan sejarahnya, kakek Mina, KH Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang tak lain adalah sepupunya sendiri yang juga anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah). Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Oleh Ayahnya KH Ahmad Dahlan, Irfan Dahlan dikirim belajar ke luar negeri sejak masih muda. Sepulang dari belajar di Pakistan dan India, sekitar 1930-an, Irfan akhirnya memilih menetap di Thailand dan membangun keluarga di sana. 

 “Namun Ayah tidak mau bercerita apapun soal politik di Indonesia pada anak-anaknya. Dia hanya selalu mengingatkan, bahwa kami adalah keturunan KH Ahmad Dahlan, berasal dari Indonesia dan memiliki banyak saudara di sana. Hanya itu saja,” kata Mina.

Meski meninggalkan tanah air dan menetap di negeri orang, darah pejuang Islam layaknya sang Ayah, sepertinya tak bisa hilang begitu saja dari Erfan Dahlan dan keturunannya kelak di Thailand. Bisa dikatakan mereka memperjuangkan Islam di negeri Gajah Putih selama hampir 83 tahun, hingga hari ini.

Dimulai sekitar tahun 1930. Setelah menyelesaikan pendidikan di India, atas restu kedua orang tuanya, Erfan Dahlan tinggal dan bekerja dengan seorang Doktor keturunan India di Thailand Selatan. Sekitar tahun 1932, Erfan memilih berhenti bekerja dan pergi ke Bangkok. Di Ibukota negara ini, ia bekerja sekaligus berdakwah. Ketika itu Islam masih belum terlalu dikenal di Thailand karena mayoritas agamanya adalah Budha.

Erfan mengajarkan Islam dengan cara baru. Saat itu muslim di Thailand mempelajari Islam hanya dengan membaca Al Quran tanpa memahami apapun artinya. Karena tidak ada satupun terjemahan Al Quran dalam bahasa Thailand. Erfan yang dikenal cerdas sejak masih belia dan menguasai 9 bahasa dengan lancar (Bahasa Indonesia, Jawa, Belanda, Inggris, India, Urdu , Arab, Thailand dan  Jepang) mulai menerjemahkan dan mengajarkan isi Al Quran dalam bahasa Thailand kepada murid-muridnya.

Ia juga berdakwah tentang ajaran Islam dengan konsep baru dan mengajarkan gaya hidup seorang muslim yang penuh kasih sayang. Konsep berdakwah Erfan Dahlan, berbeda dengan konsep dakwah pendahulunya yang membawa ajaran Islam ke Thailand. Karena itu pula, murid Erfan Dahlan kian hari bertambah banyak. Baik dari pendatang maupun penduduk lokal.

“Saat itu sebenarnya sudah ada pemukiman muslim, namanya kampung Jawa. Sebagian besar penduduk di kampung ini bekerja di istana Raja untuk mendekorasi taman. Beberapa diantara mereka menganut ajaran Islam yang sudah bercampur kepercayaan, melenceng dari ajaran Al Quran dan Hadist. Karena itu murid Erfan Dahlan tidak banyak dari kampung Jawa,” ungkap Mina.

Berhadapan dengan penganut Islam bercampur kepercayaan seperti di kampung Jawa, bukan berarti Erfan Dahlan menyerah begitu saja. Ia tetap mendakwahkan Islam dengan berpedoman pada ajaran Al Quran dan Hadist di pemukiman ini. Pada tahun 1932, Erfan Dahlan bertemu dengan Zahrah yang dikenal dengan nama Thailand, Yupha. Ia merupakan anak Imam Masjid Jawa, (Alm) Sukaimi, seorang pedagang asal Kendal, Jawa Tengah yang kemudian menetap di Thailand. Zahrah juga cucu dari pimpinan orang Jawa di Thailand, (Alm) Haji Mohamad Soleh, yang memberikan tanahnya (wakaf) untuk membangun Masjid Jawa.  

Setelah menikah, Erfan kemudian pindah ke kampung Jawa. Mereka memiliki 10 orang anak, 7 laki-laki dan 3 perempuan. Usai menikah, Erfan Dahlan tercatat pernah bekerja di Kedutaan Besar Pakistan di Bangkok. Namun aktifitas dakwahnya tak pernah berhenti. Bersama temannya, ia memiliki perusahaan percetakan buku-buku Islam seperti ajaran sholat dan doa yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Thailand.

Bersama sang istri Zahrah, Erfan juga membantu pendidikan anak-anak yatim. Suami istri ini pun menjadi aktivitas muslim yang menyiarkan Islam di Thailand. Andil keduanya mendakwahkan ajaran Islam begitu terasa. Zahrah bahkan tercatat sebagai salah satu pendiri Muslim Women Association of Thailand (Assosiasi Perempuan Muslim Thailand) yang khusus memberikan bantuan pendidikan kepada anak yatim. Organisasi tersebut masih eksis hingga saat ini dan telah diakui keberadaannya oleh pemerintah Thailand.

Setelah Meninggalnya Sang Ayah

Erfan Dahlan meninggal dunia pada tahun 1967 di Thailand. Meski ia menetap dan memiliki keluarga di Thailand, namun hingga akhir hayatnya ia menolak berganti kewarganegaraan.

“Kecintaannya pada Indonesia, dibawanya sampai mati. Ia meninggal tercatat sebagai WNI. Beliau mendapatkan paspor istimewa dari pemerintah Thailand. Sementara Ibu dan kami anak-anaknya, sudah berkewarganegaraan Thailand, karena lahir dan besar di sini,” kata Mina mengenang rasa cinta Ayahnya pada Indonesia.

Saat meninggal, Erfan Dahlan meninggalkan 10 orang anak yang tidak begitu banyak tahu tentang sejarah leluhur ayah mereka. Meski pernah diceritakan tentang KH Ahmad Dahlan, namun Mina dan saudara-saudaranya tak pernah sekalipun bertemu sang Kakek. “Ayah begitu tertutup tentang cerita keluarganya dan kami tidak mau bertanya terlalu jauh,” ujar Mina diplomatis.

Mina hanya mengenang, sepeninggal Ayahnya, kehidupan mereka sempat mengalami pasang surut. Dari 10 anaknya, hanya kakak tertuanya yang sudah bekerja dan berpenghasilan tetap. Namun Zahrah mengajarkan anak-anaknya untuk tetap sabar dan tegar meski sudah menjadi anak yatim. Sementara berusaha menghidupi anak-anaknya, Zahrah tetap aktif di organisasi dakwah muslim dan tetap membantu anak-anak yatim lainnya.

Zahrah meninggal dunia pada tahun 1992. Meninggalkan putri putri yang kesemuanya berhasil meraih gelar Sarjana. Bahkan tiga diantaranya, pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat.

Keberhasilan ini ungkap Mina, diraih saudara-saudaranya dengan susah payah. Tak jarang mereka yang ditinggal sang Ayah saat berusia masih begitu belia, terpaksa harus berjualan kue olahan Ibu mereka Zahrah, demi mendapatkan uang sekolah. Di depan rumah, keluarga Erfan Dahlan juga pernah membuka warung kecil demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Saudara saya Dr Winai Dahlan, dulu pernah menjadi pembuat roti di rumah temannya. Untuk pendidikan, bila ada saudara yang sudah bekerja, ia akan membantu adik-adiknya untuk sekolah. Hingga akhirnya semua menjadi sarjana,” ungkap Mina dengan penuh rasa bangga.

Selain itu, menjadi keluarga pendakwah sepertinya juga sudah mengalir di keturunan KH Ahmad Dahlan di Thailand ini. Terbukti hingga kini, beberapa cucu pendiri Muhammadiyah ini masih melakukan dakwah bahkan memegang beberapa organisasi penting berbasis Islam di Thailand.

Anak ke 5 Erfan Dahlan bernama Dr Winai Dahlan. Sosoknya sangat dikenal sebagai aktivis Muslim besar di Thailand. Ia juga dikenal sebagai pendakwah yang diundang ke beberapa negara, dosen tetap di Universitas Chulalongkorn Thailand dan saat ini menjabat sebagai Direktur Halal Science Center, sebuah pusat penelitian sertifikasi halal di Thailand (diceritakan pada tulisan selanjutnya).

Anak ke 4 bernama Dahlan Ahmad Dahlan. Saat ini tercatat sebagai salah satu pendakwah terkenal di Propinsi Thailand Selatan. Ia mengusung metode dakwah dengan tema ‘Kekuatan Muslim’. Dahlan Ahmad Dahlan, mengajarkan tentang konsep sesungguhnya kehidupan muslim yang mandiri dan cinta damai.

“Konsep dakwah ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah Thailand untuk dikembangkan di Thailand Selatan. Organisasi dakwah ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan politik. Perihal konflik di sana, saudara saya memandangnya bukan karena konflik agama melainkan konflik politik. Kami sangat menghindari berbicara tentang politik,” tegas Mina.

Sementara anak ke 7, bernama Adnan Dahlan atau dikenal dengan nama Thailand, Arthorn Dahlan. Menetap di Propinsi Krabi, Thailand Selatan, Adnan saat ini bekerja sama dengan Majelis Ulama berbagai Propinsi lainnya di Thailand untuk mengembangkan sistem koperasi Syariah.

“Alhamdulillah, ajaran Kakek KH Ahmad Dahlan selalu disampaikan Ayah Erfan dan Ibu Zahrah kepada kami anak-anaknya. Banyak pesan baik yang selalu kami kenang. Mereka mengatakan bahwa warisan terbaik bagi anak cucu adalah pendidikan yang baik. Janganlah pernah malu pada kemiskinan tapi malulah ketika berbuat hal yang salah. Jangan malas bekerja dan harus ikhlas saat membantu orang lain. Jangan pernah menghina yang kecil, karena suatu ketika, mereka bisa saja diangkat derajatnya dan menjadi orang besar. Jangan pernah meminta belas kasihan dan tetap menjaga iman,” ungkap Mina dengan suara tegas.(bersambung)

http://www.jpnn.com/read/2013/06/17/177256/Anak-Menyebarkan-Islam,-Cucu-Konsisten-Berdakwah- 
------------------

Selasa, 18 Juni 2013 , 07:04:00

Jejak Keluarga KH Ahmad Dahlan Di Thailand (2)
Sadar Jadi Cucu Pahlawan Setelah Mengunjungi Indonesia


REUNI. Pertemuan Keluarga KH Ahmad Dahlan dari Thailand dan Indonesia. Pertemuan ini digelar di Indonesia. Foto: Istimewa Keluarga

Erfan Dahlan (Dalam sejarahnya tertulis dengan nama Irfan Dahlan), memilih hijrah dan menetap di Thailand sejak tahun 1930. Ia kemudian menikah dengan Zahrah, aktivitas perempuan muslim Thailand yang juga memiliki garis keturunan dari Jawa Tengah. Mereka memilikin 10 orang anak dan beberapa diantaranya kemudian menjadi pendakwah bahkan menyiarkan Islam hingga hari ini.
Namun sayangnya mereka tak banyak tahu tentang sosok besar kakek mereka, pendiri Muhammadiyah yang juga pahlawan Nasional Indonesia, KH Ahmad Dahlan. Hingga akhirnya mereka mengunjungi Indonesia yang diakui mengubah banyak hal setelahnya.

Laporan: Afni Zulkifli-Bangkok

Saat JPNN bertanya, sejauh mana pemahaman cucu KH Ahmad Dahlan tentang kakek mereka, Mina (anak ke 6 Erfan Dahlan) mengaku tak banyak tahu tentang tokoh sentral Muhammadiyah asal Yogjakarta itu. Meski pernah diceritakan sang Ayah, namun Mina dan saudara-saudaranya tak pernah mendapatkan cerita utuh tentang sepak terjang sang kakek hingga dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional.

“Tidak banyak hal yang kami tahu soal KH Ahmad Dahlan atau pun Muhammadiyah, karena kami juga tidak banyak bertanya tentang itu. Kami juga tidak pernah mengunjungi Indonesia sebelumnya,” kata Mina.

Besarnya dampak menjadi keturunan KH Ahmad Dahlan, baru dirasakan Mina dan saudara-saudaranya sepeninggalan Ayahnya. Banyak orang dari Indonesia, selain mengunjungi Mesjid Jawa (yang juga didirikan oleh keluarga Zahrah-ibu Mina), kemudian datang berkunjung ke rumah mereka di Bangkok. Tujuannya sekedar bersilahturahmi dengan keturunan KH Ahmad Dahlan.

“Abang saya Dr Winai, pernah bertemu dengan Ketua Muhammadiyah Din Syamsudin. Namun kami tidak banyak tahu soal Muhammadiyah karena yang datang kemari hanya masyarakat biasa saja. Mereka mengunjungi Mesjid Jawa dan bersilahturahmi,” kata Mina dalam bahasa Inggris bercampur bahasa Indonesia.

Ketidaktahuan mereka tentang sosok KH Ahmad Dahlan terasa wajar. Meski Ayah mereka, Erfan Dahlan, meninggal dengan status Warga Negara Indonesia, namun Ibu mereka, Zahra, tercatat sebagai warga negara Thailand. Begitu pula dengan Mina dan 9 saudara lainnya yang lahir dan besar di Thailand. Sebelumnya mereka juga tak pernah berkomunikasi dengan keluarga besar KH Ahmad Dahlan di Indonesia.

Namun demikian Mina mengatakan, Indonesia baginya bukan negara asing. Mereka banyak diceritakan tentang negara asal Ayah dan keluarga Ibu mereka itu. Bahkan Zahra sekitar tahun 1986 pernah mengunjungi saudaranya di Jawa Tengah.”Mungkin karena terlalu sayangnya, sampai 3 bulan ditahan untuk tinggal bersama keluarganya di Indonesia,” kata Mina sambil tertawa.

Setelah itu beberapa kali Mina dan saudara-saudaranya mulai mengunjungi Indonesia terutama Yogyakarta. Salah satu kunjungan yang paling berkesan, ketika mereka diundang  menghadiri 1 Abad Muhammdiyah. Kunjungan itulah kata Mina yang mengubah banyak hal pemahaman dan rasa cinta mereka pada sang kakek, KH Ahmad Dahlan.

“Kami para cucu, merasa kaget sekali melihat banyak orang datang mengusung poster KH Ahmad Dahlan. Stadion hanya dalam waktu singkat, sudah diisi ribuan orang. Kami baru sadar ternyata kakek kami orang besar di Indonesia. Saya sendiri sampai merinding melihat lautan massa Muhammadiyah yang hadir ketika itu,” kata Mina mengungkap rasa bangganya.

Seketika setelah kunjungan itu, rasa bangga menjadi keturunan KH Ahmad Dahlan, ditularkan Mina dan saudara-saudaranya kepada putra putri mereka (Cicit-generasi ketiga KH Ahmad Dahlan) yang tersebar di Thailand hingga Amerika Serikat. Tidak hanya sekedar rasa bangga, mereka pun menjadikan nama Dahlan, sebagai nama resmi garis keturunan keluarga.

Keluarga besarnya di Thailand mulai memikirkan bahwa sejarah tak boleh terhapus begitu saja. Apalagi salah satu amanat Ayah mereka, adalah untuk tetap mengingat KH Ahmad Dahlan dan tanah leluhur bernama Indonesia.

“Karena kami ini generasi berikutnya, merasa bertanggungjawab untuk meneruskan cerita sejarah pada cucu dan cicit KH Ahmad Dahlan. Bagaimanapun, kami memiliki darah Indonesia dan harus menghormati para leluhur,” kata Mina.

Pada bulan April 2013, akhirnya dipimpin oleh Dr Winai Dahlan, keluarga besar KH Ahmad Dahlan yang terdiri dari 22 orang cucu dan cicit yang datang dari Bangkok dan AS, melakukan perjalanan ke Indonesia. Selain ziarah makam, mereka juga bertemu dengan keturunan KH Ahmad Dahlan lainnya di Jakarta dan Yogjakarta.

Mereka juga mengunjungi Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII). Tujuannya agar cucu dan cicit KH Ahmad Dahlan, mengetahui tentang asal usul leluhur mereka. Bersama keluarga lainnya yang baru bertemu setelah puluhan tahun, kini sudah mulai terjalin kembali tali persaudaraan yang semula tak saling mengenal satu sama lain.

“Kini sudah tercipta hubungan baru antar mereka di generasinya. Dengan berkunjung ke Indonesia, rasa bangga menjadi keturunan KH Ahmad Dahlan begitu terasa. Indonesia kini menjadi negara asal leluhur atau negara kedua (second home town) buat kami,” ungkap Mina.

Apakah punya rencana untuk kembali ke Indonesia? Mendapat pertanyaan ini Mina hanya tertawa lepas. Ia mengatakan bahwa Thailand adalah tanah kelahirannya, namun Indonesia akan selalu tetap di hati ia dan saudara-saudaranya. Suatu ketika ungkap Mina, saat KH Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, ada utusan pemerintah Indonesia yang datang ke keluarganya menyampaikan hadiah berupa satu unit rumah yang disebutnya terletak di Jakarta.

“Kami tidak tahu persis letaknya. Tapi rumah itu pada akhirnya kami tolak dan diserahkan kepada organisasi di sana (Muhammadiyah) untuk dijadikan pustaka atau museum KH Ahmad Dahlan saja. Karena lebih bermanfaat demi melanjutkan perjuangan beliau. Saya tidak tahu bagaimana nasib rumah tersebut,” kata Mina.

Bagi Mina dan saudara-saudaranya, menyandang status sebagai keturunan pejuang besar sekelas KH Ahmad Dahlan, sudah menjadi penghargaan tersendiri. Ia mengatakan, bahwa garis keturunan KH Ahmad Dahlan di Thailand awalnya malah tak mengerti tentang siapa sosok besar pendiri Muhammadiyah tersebut. Namun mereka sekelurga telah memiliki semangat juang yang sama dengan sang kakek.

“Allah Swt maha pengatur. Ia menjadikan keturunan KH Ahmad Dahlan di Thailand, juga melakukan dakwah dan menyiarkan Islam meski mereka tak tahu apapun tentang beliau sebelumnya,” kata Mina.

Sama seperti semangat yang ditularkan KH Ahmad Dahlan, yang menjadikan Muhammdiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan, begitu pula dengan keturunannya di Thailand. Jauh sebelum mereka tahu siapa kakek mereka, Erfan Dahlan dan anak-anaknya sudah menjalankan berbagai kegiatan dakwah dan sosial.

Erfan Dahlan memimpin dakwah Islam di Thailand hingga akhir hayatnya, begitu pula dengan istrinya Zahrah yang mendirikan Women Association of Thailand atau Asosiasi Perempuan Muslim Thailand. Sepeninggal keduanya, anak-anak mereka (cucu KH Ahmad Dahlan) mendirikan Yayasan bernama Erfan-Yupha Dahlan  untuk tetap mendukung kegiatan Muslim Women Association yang berkonsentrasi membantu pendidikan anak-anak miskin dan anak yatim.

“Yayasan ini didanai murni oleh keluarga besar Erfan Dahlan di Thailand. Konsentrasinya untuk kegiatan sosial dan dananya berasal dari penghasilan kami sendiri,” kata Mina.

Bolehkah minta foto kegiatan Yayasannya? “O, jangan. Kami tidak pernah mendokumentasikan kegiatan yayasan. Kata Ayah, Kakek mengajarkan bahwa berbuat baik itu cukuplah Allah saja yang tahu. Kalau perlu ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu mengetahui,” kata Mina menjelaskan alasannya menolak permintaan JPNN.(bersambung)

http://www.jpnn.com/read/2013/06/18/177440/Sadar-Jadi-Cucu-Pahlawan-Setelah-Mengunjungi-Indonesia- 
------------------
Rabu, 19 Juni 2013 , 01:48:00

Jejak Keluarga KH Ahmad Dahlan Di Thailand (3-Tamat)
Mendirikan Lembaga Riset Halal Terbesar Di Dunia


Dr Winai Dahlan, Direktur pusat kajian halal atau Halal Science Center di kampus Chulalongkorn University, saat memberikan paparan kepada para peneliti di HSC. Foto: Istimewa
 “Tidak masalah apakah harus jadi orang Thailand atau Indonesia, apapun bisa kita dilakukan semampu kita demi kemaslahatan umat muslim dunia”. Itulah pesan Erfan Dahlan pada anak-anaknya. Erfan (dalam sejarah tertulis Irfan Dahlan) adalah putra KH Ahmad Dahlan, pendiri ormas Muhammadiyah sekaligus pahlawan nasional Indonesia, yang memilih berkeluarga dan menetap di Thailand. Kini nasehat itu menjadi landasan perjuangan salah satu putranya, Prof Dr Winai Dahlan.


Laporan: Afni Zulkifli-Bangkok

Awalnya JPNN bertemu dengan Amphom Dahlan atau yang akrab disapa Mina. Ia anak ke 6 dari 10 bersaudara, putra putri Erfan Dahlan yang juga berarti cucu KH Ahmad Dahlan. Mina merekomendasikan JPNN untuk bertemu dengan saudaranya, Winai Dahlan yang saat ini tercatat sebagai Direktur Halal Science Center di kampus Chulalongkorn University. Lembaga ini merupakan laboratorium pemeriksaan makanan halal yang juga memberikan pendidikan tentang halal kepada mahasiswa, pebisnis dan masyarakat.

“Ini merupakan satu-satunya lembaga riset halal dan terbesar di dunia. Menjadi pusat kajian terkemuka dan karenanya Dr Winai sering dipanggil keliling dunia untuk memaparkan tentang konsep halal secara ilmiah,” terang Mina.

Namun sayang ketika dihubungi, Dr Winai sedang berada di provinsi lainnya di Selatan Thailand dan baru kembali dua hari kemudian ke Bangkok. Untuk tetap dapat melanjutkan wawancara, melalui pembicaraan telepon, Dr Winai meminta JPNN mengirimkan daftar pertanyaan yang akan dijawabnya melalui email. Sementara Mina tetap diminta mewakili untuk menceritakan kembali perjuangan kakaknya mendirikan HSC yang terkenal di dunia tersebut.
Mina menjelaskan bahwa HSC bukan lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal, namun membantu The Central Islamic Council Of Thailand (MUI-nya Thailand) mengeluarkan sertifikat hasil pengecekan secara random.

“Semuanya berawal dari rasa mencintai Islam. Di Thailand perkembangan Islam kian meningkat, namun kepastian soal halal masih kurang,” kata Mina.
Pada tahun 1994, Dr Winai Dahlan yang saat itu tercatat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Chulalongkorn University (Universitas pertama dan terbesar di Thailand), dengan inisiasi sendiri menggunakan laboratorium di Fakultas kampusnya mengecek makanan yang sengaja dibawanya dari pasar tradisional.  

“Ketika itu ia mengecek satu sosis ayam dengan logo halal (versi MUI-nya Thailand). Namun setelah dicek lab, ternyata sosis itu bercampur dengan daging babi,” ungkap Mina.

Melalui balasan email beberapa hari kemudian, Dr Winai pun menerangkan bahwa temuannya tentang sosis bercampur babi telah menghebohkan kalangan muslim di Thailand ketika itu. Sadar bahwa jaminan mengkonsumsi yang halal adalah wajib hukumnya bagi seorang muslim, Dr Winai mulai mendapatkan banyak sponsor untuk membangun laboratorium yang lebih besar lagi. Fokusnya tidak hanya soal halal, tapi juga jaminan bahwa makanan itu layak untuk dikonsumsi.

Bahkan pada tahun 2004, Dr. Winai mendapat dukungan dana penuh dari Pemerintah Thailand membangun Halal Science Centre (HSC) di Universitas Chulalongkorn dimana Dr. Winai menjadi Direkturnya hingga saat ini. HSC membantu Central Islamic Council Of Thailand mengecek makanan yang telah terdapat logo Halal secara random.

“Peran HSC tidak hanya mengecek makanan halal saja, tapi juga menganalisa halal secara ilmiah dengan menggunakan tekhnologi dan inovasi. Apa yang sudah dilakukan ini telah berbuah banyak penghargaan di tingkat nasional dan juga internasional,” terang Dr Winai melalui email.
Berkat dukungan dari pemerintah Thailand, kini HSC telah berkembang menjadi satu lembaga riset halal terbesar di dunia. Di Laboratorium HSC terdapat berbagai peralatan modern dan canggih yang berguna untuk mengidentifikasi status makanan apakah layak mendapat lisensi halal atau tidak.

Alat-alat laboratorium di HSC juga terbilang cukup mahal. Nilainya bisa mencapai ratusan juta hingga puluhah miliar rupiah. Ada alat bernama Gas Chromatography Coupled with Mass Spectrometry (GC-MS). Alat ini dapat mendeteksi kandungan lemak babi hingga spesifik di ukuran milimikron.

Ada pula alat bernama Gas-Liquid Chromatography (GLC) yang mampu mengetahui kandungan alkohol dalam makanan. Sedangkan alat bernama Real Time Polymerase Chain Reaction, disebut mampu menganalisis DNA binatang yang terkandung dalam produk makanan olahan.

Tidak hanya meneliti kandungan haram pada makanan dan minuman, HSC yang digawangi Dr Winai, juga mempelajari kandungan zat yang haram pada alat kosmetik dan alat kesehatan. Salah satu nama alat yang digunakan adalah Inductively Coupled Plasma Spectrometry.
“HSC menjadi berkembang berkat dukungan penuh dana dari pemerintah kerajaan Thailand,” tegas Dr Winai

Dengan lembaga riset ilmiah yang dipimpinnya saat ini, Dr Winai menginginkan agar HSC menjadi pelopor terciptanya sistim dan proses  produksi  makanan halal di seluruh dunia (Halal Assurance and Liability quality System) atau dikenal dengan istilah HAL-Q.

“Sistim Hal-Q kini telah dikenal seluruh dunia dan HSC menginginkan agar Hal-Q bisa menjadi standard dunia. Sehingga seorang muslim, benar-benar mendapatkan pengetahuan soal halal dan haramnya makanan atau apapun yang mereka konsumsi atau gunakan,” terang Dr Winai.

Dengan nama besarnya kini di Thailand, bukan berarti Dr Winai melupakan tentang tanah leluhurnya, Indonesia. Ia kini sudah mewujudkan pesan sang Ayah yang diwarisi dari nasehat sang kakek, KH Ahmad Dahlan. Bahwa dimanapun, asalkan ada kemauan dan rasa cinta pada Islam, pasti akan diberikan jalan untuk memberi kontribusi besar bagi agama dan juga bangsa.

“Dr Winai telah menjalin kerjasama juga dengan beberapa Universitas di Indonesia. Ia sudah beberapa kali diundang datang. Dengan populasi muslim terbesar di dunia, harusnya Indonesia juga memiliki lembaga riset seperti HSC. Mungkin memang sudah ditakdirkan Tuhan, cucu KH Ahmad Dahlan yang menjadi pelopornya lebih dulu,” ujar Mina tentang keinginan saudaranya merintis semangat halal di dunia.
“Dr Winai sangat menginginkan terjalinnya kerjasama yang baik antara HSC dengan berbagai negara lainnya, tujuan utamanya untuk melindungi muslim,” kata Wina.

Bangga Menguasai Bahasa Indonesia

Hari sudah beranjak malam. Tak terasa sudah hampir 4,5 jam pembicaraan JPNN dengan Mina, cucu KH Ahmad Dahlan. Diakhir pertemuan, karena rasa penasaran, JPNN pun bertanya, bagaimana Mina bisa menguasai banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia. Sementara saudara lainnya tidak bisa lagi berbahasa asal leluhur mereka itu.

Mina akhirnya menjawab bahwa ia saat ini bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok.”Saya sudah bekerja sejak tahun 1977, artinya sekitar 35 tahun,” jawabnya.

“Semua tidak direncanakan. Saat saya diterima bekerja di KBRI Bangkok, keluarga sempat berdiskusi. Akhirnya kami mengembalikan semua ini adalah keinginan Allah. Di keluarga kami,  hanya ada dua yang bisa berbicara bahasa Indonesia,” kata Mina.

“Pertama kakak saya bernama Rambhai atau Marifah (anak tertua Erfan Dahlan) karena ia juga bekerja di kedutaan dan saya sendiri. Saya bangga bisa berbicara bahasa Indonesia dan saat ini mengajar bahasa Indonesia dasar. Murid saya kebanyakan para pebisnis Thailand yang membutuhkan penerjemah untuk pebisnis di Indonesia.  Mungkin ini salah satu jalan, agar kami tetap dekat dengan tanah leluhur kami. Salam dari kami untuk rakyat Indonesia,” kata Mina menitip pesan.(TAMAT)