Senin, 17 Juni 2013 , 05:55:00
|
KELUARGA DAHLAN. Dari kiri: Dahlan Ahmad Dahlan (anak nomor 4), Rambhai
Dahlan (anak nomor 1), Amphorn Sanafi atau Mina (anak nomor 6), Adnan
Dahlan (anak nomor 7), Dr Winai Dahlan (anak nomor 5), Phaiboon atau
Ismael Dahlan (anak nomor 2) dan Phairat Dahlan alias Pairat (anak nomor
3) bersama dengan kedua orang tua mereka, Irfan Dahlan dan Zahrah.
Foto: Istimewa Keluarga. |
SIAPA sangka, bila penyebaran Islam di
Thailand, yang mayoritas penduduknya beragama Budha, ternyata ada andil
keturunan KH Ahmad Dahlan, pendiri ormas Islam terbesar Muhammadiyah
yang juga pahlawan nasional Indonesia. Jawa Pos National Network (JPNN)
beberapa waktu lalu bertemu dengan salah satu cucu KH Ahmad Dahlan di
Bangkok, Thailand, yang kemudian mengungkap kisah perjalanan keluarganya
dan perjuangan mereka menyebarkan Islam di Thailand hingga saat ini.
Laporan: Afni Zulkifli-Bangkok
Setelah berkomunikasi sejak pagi, barulah menjelang sore waktu Thailand,
JPNN bertemu dengan Amphom Dahlan (60) di kantor Kedutaan Besar
Republik Indonesia Bangkok.
Perawakannya sedang, pembawaannya ramah dan wajahnya sangat khas
Indonesia. Namun begitu mengajaknya berbicara, barulah diketahui bahwa
ia warga asli Thailand. Bahasa Inggrisnya lancar, begitu juga bahasa
Thai (bahasa nasional Thailand). Namun sesekali, ia juga bisa
berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
“Soal bahasa, nanti ada ceritanya sendiri. Kita masih punya waktu
panjang untuk bercerita hari ini,” kata Amphom dalam bahasa Indonesia
yang fasih.
Dengan bahasa ‘gado-gado’ campuran Inggris dan Indonesia, Amphom Dahlan
yang merupakan cucu dari KH Ahmad Dahlan, mulai berbagi kisah tentang
keluarganya.
“Ayah saya bernama Erfan Dahlan (dalam sejarahnya tertulis Irfan Dahlan)
atau dikenal dengan nama Jumhan Dahlan. Merupakan anak kandung dari KH
Ahmad Dahlan,” kata Amphom yang ingin disapa dengan nama Mina.
Dalam catatan sejarahnya, kakek Mina, KH Ahmad Dahlan menikah dengan
Siti Walidah yang tak lain adalah sepupunya sendiri yang juga anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah (organisasi
perempuan Muhammadiyah). Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH.
Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan,
Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Oleh Ayahnya KH Ahmad Dahlan, Irfan Dahlan dikirim belajar ke luar
negeri sejak masih muda. Sepulang dari belajar di Pakistan dan India,
sekitar 1930-an, Irfan akhirnya memilih menetap di Thailand dan
membangun keluarga di sana.
“Namun Ayah tidak mau bercerita apapun soal politik di Indonesia pada
anak-anaknya. Dia hanya selalu mengingatkan, bahwa kami adalah keturunan
KH Ahmad Dahlan, berasal dari Indonesia dan memiliki banyak saudara di
sana. Hanya itu saja,” kata Mina.
Meski meninggalkan tanah air dan menetap di negeri orang, darah pejuang
Islam layaknya sang Ayah, sepertinya tak bisa hilang begitu saja dari
Erfan Dahlan dan keturunannya kelak di Thailand. Bisa dikatakan mereka
memperjuangkan Islam di negeri Gajah Putih selama hampir 83 tahun,
hingga hari ini.
Dimulai sekitar tahun 1930. Setelah menyelesaikan pendidikan di India,
atas restu kedua orang tuanya, Erfan Dahlan tinggal dan bekerja dengan
seorang Doktor keturunan India di Thailand Selatan. Sekitar tahun 1932,
Erfan memilih berhenti bekerja dan pergi ke Bangkok. Di Ibukota negara
ini, ia bekerja sekaligus berdakwah. Ketika itu Islam masih belum
terlalu dikenal di Thailand karena mayoritas agamanya adalah Budha.
Erfan mengajarkan Islam dengan cara baru. Saat itu muslim di Thailand
mempelajari Islam hanya dengan membaca Al Quran tanpa memahami apapun
artinya. Karena tidak ada satupun terjemahan Al Quran dalam bahasa
Thailand. Erfan yang dikenal cerdas sejak masih belia dan menguasai 9
bahasa dengan lancar (Bahasa Indonesia, Jawa, Belanda, Inggris, India,
Urdu , Arab, Thailand dan Jepang) mulai menerjemahkan dan mengajarkan
isi Al Quran dalam bahasa Thailand kepada murid-muridnya.
Ia juga berdakwah tentang ajaran Islam dengan konsep baru dan
mengajarkan gaya hidup seorang muslim yang penuh kasih sayang. Konsep
berdakwah Erfan Dahlan, berbeda dengan konsep dakwah pendahulunya yang
membawa ajaran Islam ke Thailand. Karena itu pula, murid Erfan Dahlan
kian hari bertambah banyak. Baik dari pendatang maupun penduduk lokal.
“Saat itu sebenarnya sudah ada pemukiman muslim, namanya kampung Jawa.
Sebagian besar penduduk di kampung ini bekerja di istana Raja untuk
mendekorasi taman. Beberapa diantara mereka menganut ajaran Islam yang
sudah bercampur kepercayaan, melenceng dari ajaran Al Quran dan Hadist.
Karena itu murid Erfan Dahlan tidak banyak dari kampung Jawa,” ungkap
Mina.
Berhadapan dengan penganut Islam bercampur kepercayaan seperti di
kampung Jawa, bukan berarti Erfan Dahlan menyerah begitu saja. Ia tetap
mendakwahkan Islam dengan berpedoman pada ajaran Al Quran dan Hadist di
pemukiman ini. Pada tahun 1932, Erfan Dahlan bertemu dengan Zahrah yang
dikenal dengan nama Thailand, Yupha. Ia merupakan anak Imam Masjid Jawa,
(Alm) Sukaimi, seorang pedagang asal Kendal, Jawa Tengah yang kemudian
menetap di Thailand. Zahrah juga cucu dari pimpinan orang Jawa di
Thailand, (Alm) Haji Mohamad Soleh, yang memberikan tanahnya (wakaf)
untuk membangun Masjid Jawa.
Setelah menikah, Erfan kemudian pindah ke kampung Jawa. Mereka memiliki
10 orang anak, 7 laki-laki dan 3 perempuan. Usai menikah, Erfan Dahlan
tercatat pernah bekerja di Kedutaan Besar Pakistan di Bangkok. Namun
aktifitas dakwahnya tak pernah berhenti. Bersama temannya, ia memiliki
perusahaan percetakan buku-buku Islam seperti ajaran sholat dan doa yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Thailand.
Bersama sang istri Zahrah, Erfan juga membantu pendidikan anak-anak
yatim. Suami istri ini pun menjadi aktivitas muslim yang menyiarkan
Islam di Thailand. Andil keduanya mendakwahkan ajaran Islam begitu
terasa. Zahrah bahkan tercatat sebagai salah satu pendiri Muslim Women
Association of Thailand (Assosiasi Perempuan Muslim Thailand) yang
khusus memberikan bantuan pendidikan kepada anak yatim. Organisasi
tersebut masih eksis hingga saat ini dan telah diakui keberadaannya oleh
pemerintah Thailand.
Setelah Meninggalnya Sang Ayah
Erfan Dahlan meninggal dunia pada tahun 1967 di Thailand. Meski ia
menetap dan memiliki keluarga di Thailand, namun hingga akhir hayatnya
ia menolak berganti kewarganegaraan.
“Kecintaannya pada Indonesia, dibawanya sampai mati. Ia meninggal
tercatat sebagai WNI. Beliau mendapatkan paspor istimewa dari pemerintah
Thailand. Sementara Ibu dan kami anak-anaknya, sudah berkewarganegaraan
Thailand, karena lahir dan besar di sini,” kata Mina mengenang rasa
cinta Ayahnya pada Indonesia.
Saat meninggal, Erfan Dahlan meninggalkan 10 orang anak yang tidak
begitu banyak tahu tentang sejarah leluhur ayah mereka. Meski pernah
diceritakan tentang KH Ahmad Dahlan, namun Mina dan saudara-saudaranya
tak pernah sekalipun bertemu sang Kakek. “Ayah begitu tertutup tentang
cerita keluarganya dan kami tidak mau bertanya terlalu jauh,” ujar Mina
diplomatis.
Mina hanya mengenang, sepeninggal Ayahnya, kehidupan mereka sempat
mengalami pasang surut. Dari 10 anaknya, hanya kakak tertuanya yang
sudah bekerja dan berpenghasilan tetap. Namun Zahrah mengajarkan
anak-anaknya untuk tetap sabar dan tegar meski sudah menjadi anak yatim.
Sementara berusaha menghidupi anak-anaknya, Zahrah tetap aktif di
organisasi dakwah muslim dan tetap membantu anak-anak yatim lainnya.
Zahrah meninggal dunia pada tahun 1992. Meninggalkan putri putri yang
kesemuanya berhasil meraih gelar Sarjana. Bahkan tiga diantaranya,
pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat.
Keberhasilan ini ungkap Mina, diraih saudara-saudaranya dengan susah
payah. Tak jarang mereka yang ditinggal sang Ayah saat berusia masih
begitu belia, terpaksa harus berjualan kue olahan Ibu mereka Zahrah,
demi mendapatkan uang sekolah. Di depan rumah, keluarga Erfan Dahlan
juga pernah membuka warung kecil demi memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
“Saudara saya Dr Winai Dahlan, dulu pernah menjadi pembuat roti di rumah
temannya. Untuk pendidikan, bila ada saudara yang sudah bekerja, ia
akan membantu adik-adiknya untuk sekolah. Hingga akhirnya semua menjadi
sarjana,” ungkap Mina dengan penuh rasa bangga.
Selain itu, menjadi keluarga pendakwah sepertinya juga sudah mengalir di
keturunan KH Ahmad Dahlan di Thailand ini. Terbukti hingga kini,
beberapa cucu pendiri Muhammadiyah ini masih melakukan dakwah bahkan
memegang beberapa organisasi penting berbasis Islam di Thailand.
Anak ke 5 Erfan Dahlan bernama Dr Winai Dahlan. Sosoknya sangat dikenal
sebagai aktivis Muslim besar di Thailand. Ia juga dikenal sebagai
pendakwah yang diundang ke beberapa negara, dosen tetap di Universitas
Chulalongkorn Thailand dan saat ini menjabat sebagai Direktur Halal
Science Center, sebuah pusat penelitian sertifikasi halal di Thailand
(diceritakan pada tulisan selanjutnya).
Anak ke 4 bernama Dahlan Ahmad Dahlan. Saat ini tercatat sebagai salah
satu pendakwah terkenal di Propinsi Thailand Selatan. Ia mengusung
metode dakwah dengan tema ‘Kekuatan Muslim’. Dahlan Ahmad Dahlan,
mengajarkan tentang konsep sesungguhnya kehidupan muslim yang mandiri
dan cinta damai.
“Konsep dakwah ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah Thailand
untuk dikembangkan di Thailand Selatan. Organisasi dakwah ini sama
sekali tidak ada kaitannya dengan politik. Perihal konflik di sana,
saudara saya memandangnya bukan karena konflik agama melainkan konflik
politik. Kami sangat menghindari berbicara tentang politik,” tegas Mina.
Sementara anak ke 7, bernama Adnan Dahlan atau dikenal dengan nama
Thailand, Arthorn Dahlan. Menetap di Propinsi Krabi, Thailand Selatan,
Adnan saat ini bekerja sama dengan Majelis Ulama berbagai Propinsi
lainnya di Thailand untuk mengembangkan sistem koperasi Syariah.
“Alhamdulillah, ajaran Kakek KH Ahmad Dahlan selalu disampaikan Ayah
Erfan dan Ibu Zahrah kepada kami anak-anaknya. Banyak pesan baik yang
selalu kami kenang. Mereka mengatakan bahwa warisan terbaik bagi anak
cucu adalah pendidikan yang baik. Janganlah pernah malu pada kemiskinan
tapi malulah ketika berbuat hal yang salah. Jangan malas bekerja dan
harus ikhlas saat membantu orang lain. Jangan pernah menghina yang
kecil, karena suatu ketika, mereka bisa saja diangkat derajatnya dan
menjadi orang besar. Jangan pernah meminta belas kasihan dan tetap
menjaga iman,” ungkap Mina dengan suara tegas.
(bersambung)
http://www.jpnn.com/read/2013/06/17/177256/Anak-Menyebarkan-Islam,-Cucu-Konsisten-Berdakwah-
------------------
Selasa, 18 Juni 2013 , 07:04:00
|
REUNI. Pertemuan Keluarga KH Ahmad Dahlan dari Thailand dan Indonesia.
Pertemuan ini digelar di Indonesia. Foto: Istimewa Keluarga |
Erfan Dahlan (Dalam sejarahnya tertulis dengan nama
Irfan Dahlan), memilih hijrah dan menetap di Thailand sejak tahun 1930.
Ia kemudian menikah dengan Zahrah, aktivitas perempuan muslim Thailand
yang juga memiliki garis keturunan dari Jawa Tengah. Mereka memilikin 10
orang anak dan beberapa diantaranya kemudian menjadi pendakwah bahkan
menyiarkan Islam hingga hari ini.
Namun sayangnya mereka tak banyak tahu tentang sosok besar kakek mereka,
pendiri Muhammadiyah yang juga pahlawan Nasional Indonesia, KH Ahmad
Dahlan. Hingga akhirnya mereka mengunjungi Indonesia yang diakui
mengubah banyak hal setelahnya.
Laporan: Afni Zulkifli-Bangkok
Saat JPNN bertanya, sejauh mana pemahaman cucu KH Ahmad Dahlan tentang
kakek mereka, Mina (anak ke 6 Erfan Dahlan) mengaku tak banyak tahu
tentang tokoh sentral Muhammadiyah asal Yogjakarta itu. Meski pernah
diceritakan sang Ayah, namun Mina dan saudara-saudaranya tak pernah
mendapatkan cerita utuh tentang sepak terjang sang kakek hingga dikenal
sebagai salah satu pahlawan nasional.
“Tidak banyak hal yang kami tahu soal KH Ahmad Dahlan atau pun
Muhammadiyah, karena kami juga tidak banyak bertanya tentang itu. Kami
juga tidak pernah mengunjungi Indonesia sebelumnya,” kata Mina.
Besarnya dampak menjadi keturunan KH Ahmad Dahlan, baru dirasakan Mina
dan saudara-saudaranya sepeninggalan Ayahnya. Banyak orang dari
Indonesia, selain mengunjungi Mesjid Jawa (yang juga didirikan oleh
keluarga Zahrah-ibu Mina), kemudian datang berkunjung ke rumah mereka di
Bangkok. Tujuannya sekedar bersilahturahmi dengan keturunan KH Ahmad
Dahlan.
“Abang saya Dr Winai, pernah bertemu dengan Ketua Muhammadiyah Din
Syamsudin. Namun kami tidak banyak tahu soal Muhammadiyah karena yang
datang kemari hanya masyarakat biasa saja. Mereka mengunjungi Mesjid
Jawa dan bersilahturahmi,” kata Mina dalam bahasa Inggris bercampur
bahasa Indonesia.
Ketidaktahuan mereka tentang sosok KH Ahmad Dahlan terasa wajar. Meski
Ayah mereka, Erfan Dahlan, meninggal dengan status Warga Negara
Indonesia, namun Ibu mereka, Zahra, tercatat sebagai warga negara
Thailand. Begitu pula dengan Mina dan 9 saudara lainnya yang lahir dan
besar di Thailand. Sebelumnya mereka juga tak pernah berkomunikasi
dengan keluarga besar KH Ahmad Dahlan di Indonesia.
Namun demikian Mina mengatakan, Indonesia baginya bukan negara asing.
Mereka banyak diceritakan tentang negara asal Ayah dan keluarga Ibu
mereka itu. Bahkan Zahra sekitar tahun 1986 pernah mengunjungi
saudaranya di Jawa Tengah.”Mungkin karena terlalu sayangnya, sampai 3
bulan ditahan untuk tinggal bersama keluarganya di Indonesia,” kata Mina
sambil tertawa.
Setelah itu beberapa kali Mina dan saudara-saudaranya mulai mengunjungi
Indonesia terutama Yogyakarta. Salah satu kunjungan yang paling
berkesan, ketika mereka diundang menghadiri 1 Abad Muhammdiyah.
Kunjungan itulah kata Mina yang mengubah banyak hal pemahaman dan rasa
cinta mereka pada sang kakek, KH Ahmad Dahlan.
“Kami para cucu, merasa kaget sekali melihat banyak orang datang
mengusung poster KH Ahmad Dahlan. Stadion hanya dalam waktu singkat,
sudah diisi ribuan orang. Kami baru sadar ternyata kakek kami orang
besar di Indonesia. Saya sendiri sampai merinding melihat lautan massa
Muhammadiyah yang hadir ketika itu,” kata Mina mengungkap rasa
bangganya.
Seketika setelah kunjungan itu, rasa bangga menjadi keturunan KH Ahmad
Dahlan, ditularkan Mina dan saudara-saudaranya kepada putra putri mereka
(Cicit-generasi ketiga KH Ahmad Dahlan) yang tersebar di Thailand
hingga Amerika Serikat. Tidak hanya sekedar rasa bangga, mereka pun
menjadikan nama Dahlan, sebagai nama resmi garis keturunan keluarga.
Keluarga besarnya di Thailand mulai memikirkan bahwa sejarah tak boleh
terhapus begitu saja. Apalagi salah satu amanat Ayah mereka, adalah
untuk tetap mengingat KH Ahmad Dahlan dan tanah leluhur bernama
Indonesia.
“Karena kami ini generasi berikutnya, merasa bertanggungjawab untuk
meneruskan cerita sejarah pada cucu dan cicit KH Ahmad Dahlan.
Bagaimanapun, kami memiliki darah Indonesia dan harus menghormati para
leluhur,” kata Mina.
Pada bulan April 2013, akhirnya dipimpin oleh Dr Winai Dahlan, keluarga
besar KH Ahmad Dahlan yang terdiri dari 22 orang cucu dan cicit yang
datang dari Bangkok dan AS, melakukan perjalanan ke Indonesia. Selain
ziarah makam, mereka juga bertemu dengan keturunan KH Ahmad Dahlan
lainnya di Jakarta dan Yogjakarta.
Mereka juga mengunjungi Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII). Tujuannya
agar cucu dan cicit KH Ahmad Dahlan, mengetahui tentang asal usul
leluhur mereka. Bersama keluarga lainnya yang baru bertemu setelah
puluhan tahun, kini sudah mulai terjalin kembali tali persaudaraan yang
semula tak saling mengenal satu sama lain.
“Kini sudah tercipta hubungan baru antar mereka di generasinya. Dengan
berkunjung ke Indonesia, rasa bangga menjadi keturunan KH Ahmad Dahlan
begitu terasa. Indonesia kini menjadi negara asal leluhur atau negara
kedua (second home town) buat kami,” ungkap Mina.
Apakah punya rencana untuk kembali ke Indonesia? Mendapat pertanyaan ini
Mina hanya tertawa lepas. Ia mengatakan bahwa Thailand adalah tanah
kelahirannya, namun Indonesia akan selalu tetap di hati ia dan
saudara-saudaranya. Suatu ketika ungkap Mina, saat KH Ahmad Dahlan
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, ada utusan pemerintah Indonesia
yang datang ke keluarganya menyampaikan hadiah berupa satu unit rumah
yang disebutnya terletak di Jakarta.
“Kami tidak tahu persis letaknya. Tapi rumah itu pada akhirnya kami
tolak dan diserahkan kepada organisasi di sana (Muhammadiyah) untuk
dijadikan pustaka atau museum KH Ahmad Dahlan saja. Karena lebih
bermanfaat demi melanjutkan perjuangan beliau. Saya tidak tahu bagaimana
nasib rumah tersebut,” kata Mina.
Bagi Mina dan saudara-saudaranya, menyandang status sebagai keturunan
pejuang besar sekelas KH Ahmad Dahlan, sudah menjadi penghargaan
tersendiri. Ia mengatakan, bahwa garis keturunan KH Ahmad Dahlan di
Thailand awalnya malah tak mengerti tentang siapa sosok besar pendiri
Muhammadiyah tersebut. Namun mereka sekelurga telah memiliki semangat
juang yang sama dengan sang kakek.
“Allah Swt maha pengatur. Ia menjadikan keturunan KH Ahmad Dahlan di
Thailand, juga melakukan dakwah dan menyiarkan Islam meski mereka tak
tahu apapun tentang beliau sebelumnya,” kata Mina.
Sama seperti semangat yang ditularkan KH Ahmad Dahlan, yang menjadikan
Muhammdiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak
di bidang pendidikan, begitu pula dengan keturunannya di Thailand. Jauh
sebelum mereka tahu siapa kakek mereka, Erfan Dahlan dan anak-anaknya
sudah menjalankan berbagai kegiatan dakwah dan sosial.
Erfan Dahlan memimpin dakwah Islam di Thailand hingga akhir hayatnya,
begitu pula dengan istrinya Zahrah yang mendirikan Women Association of
Thailand atau Asosiasi Perempuan Muslim Thailand. Sepeninggal keduanya,
anak-anak mereka (cucu KH Ahmad Dahlan) mendirikan Yayasan bernama
Erfan-Yupha Dahlan untuk tetap mendukung kegiatan Muslim Women
Association yang berkonsentrasi membantu pendidikan anak-anak miskin dan
anak yatim.
“Yayasan ini didanai murni oleh keluarga besar Erfan Dahlan di Thailand.
Konsentrasinya untuk kegiatan sosial dan dananya berasal dari
penghasilan kami sendiri,” kata Mina.
Bolehkah minta foto kegiatan Yayasannya? “O, jangan. Kami tidak pernah
mendokumentasikan kegiatan yayasan. Kata Ayah, Kakek mengajarkan bahwa
berbuat baik itu cukuplah Allah saja yang tahu. Kalau perlu ketika
tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu mengetahui,” kata Mina
menjelaskan alasannya menolak permintaan JPNN.(bersambung)
http://www.jpnn.com/read/2013/06/18/177440/Sadar-Jadi-Cucu-Pahlawan-Setelah-Mengunjungi-Indonesia-
------------------
Rabu, 19 Juni 2013 , 01:48:00
|
Dr Winai Dahlan, Direktur pusat kajian halal atau Halal Science Center
di kampus Chulalongkorn University, saat memberikan paparan kepada para
peneliti di HSC. Foto: Istimewa |
“Tidak masalah apakah harus jadi orang Thailand
atau Indonesia, apapun bisa kita dilakukan semampu kita demi
kemaslahatan umat muslim dunia”. Itulah pesan Erfan Dahlan pada
anak-anaknya. Erfan (dalam sejarah tertulis Irfan Dahlan) adalah putra
KH Ahmad Dahlan, pendiri ormas Muhammadiyah sekaligus pahlawan nasional
Indonesia, yang memilih berkeluarga dan menetap di Thailand. Kini
nasehat itu menjadi landasan perjuangan salah satu putranya, Prof Dr
Winai Dahlan.
Laporan: Afni Zulkifli-Bangkok
Awalnya JPNN bertemu dengan Amphom Dahlan atau yang akrab disapa Mina.
Ia anak ke 6 dari 10 bersaudara, putra putri Erfan Dahlan yang juga
berarti cucu KH Ahmad Dahlan. Mina merekomendasikan JPNN untuk bertemu
dengan saudaranya, Winai Dahlan yang saat ini tercatat sebagai Direktur
Halal Science Center di kampus Chulalongkorn University. Lembaga ini
merupakan laboratorium pemeriksaan makanan halal yang juga memberikan
pendidikan tentang halal kepada mahasiswa, pebisnis dan masyarakat.
“Ini merupakan satu-satunya lembaga riset halal dan terbesar di dunia.
Menjadi pusat kajian terkemuka dan karenanya Dr Winai sering dipanggil
keliling dunia untuk memaparkan tentang konsep halal secara ilmiah,”
terang Mina.
Namun sayang ketika dihubungi, Dr Winai sedang berada di provinsi
lainnya di Selatan Thailand dan baru kembali dua hari kemudian ke
Bangkok. Untuk tetap dapat melanjutkan wawancara, melalui pembicaraan
telepon, Dr Winai meminta JPNN mengirimkan daftar pertanyaan yang akan
dijawabnya melalui email. Sementara Mina tetap diminta mewakili untuk
menceritakan kembali perjuangan kakaknya mendirikan HSC yang terkenal di
dunia tersebut.
Mina menjelaskan bahwa HSC bukan lembaga yang mengeluarkan sertifikat
halal, namun membantu The Central Islamic Council Of Thailand (MUI-nya
Thailand) mengeluarkan sertifikat hasil pengecekan secara random.
“Semuanya berawal dari rasa mencintai Islam. Di Thailand perkembangan
Islam kian meningkat, namun kepastian soal halal masih kurang,” kata
Mina.
Pada tahun 1994, Dr Winai Dahlan yang saat itu tercatat sebagai Dekan
Fakultas Ilmu Kesehatan, Chulalongkorn University (Universitas pertama
dan terbesar di Thailand), dengan inisiasi sendiri menggunakan
laboratorium di Fakultas kampusnya mengecek makanan yang sengaja
dibawanya dari pasar tradisional.
“Ketika itu ia mengecek satu sosis ayam dengan logo halal (versi MUI-nya
Thailand). Namun setelah dicek lab, ternyata sosis itu bercampur dengan
daging babi,” ungkap Mina.
Melalui balasan email beberapa hari kemudian, Dr Winai pun menerangkan
bahwa temuannya tentang sosis bercampur babi telah menghebohkan kalangan
muslim di Thailand ketika itu. Sadar bahwa jaminan mengkonsumsi yang
halal adalah wajib hukumnya bagi seorang muslim, Dr Winai mulai
mendapatkan banyak sponsor untuk membangun laboratorium yang lebih besar
lagi. Fokusnya tidak hanya soal halal, tapi juga jaminan bahwa makanan
itu layak untuk dikonsumsi.
Bahkan pada tahun 2004, Dr. Winai mendapat dukungan dana penuh dari
Pemerintah Thailand membangun Halal Science Centre (HSC) di Universitas
Chulalongkorn dimana Dr. Winai menjadi Direkturnya hingga saat ini. HSC
membantu Central Islamic Council Of Thailand mengecek makanan yang telah
terdapat logo Halal secara random.
“Peran HSC tidak hanya mengecek makanan halal saja, tapi juga
menganalisa halal secara ilmiah dengan menggunakan tekhnologi dan
inovasi. Apa yang sudah dilakukan ini telah berbuah banyak penghargaan
di tingkat nasional dan juga internasional,” terang Dr Winai melalui
email.
Berkat dukungan dari pemerintah Thailand, kini HSC telah berkembang
menjadi satu lembaga riset halal terbesar di dunia. Di Laboratorium HSC
terdapat berbagai peralatan modern dan canggih yang berguna untuk
mengidentifikasi status makanan apakah layak mendapat lisensi halal atau
tidak.
Alat-alat laboratorium di HSC juga terbilang cukup mahal. Nilainya bisa
mencapai ratusan juta hingga puluhah miliar rupiah. Ada alat bernama Gas
Chromatography Coupled with Mass Spectrometry (GC-MS). Alat ini dapat
mendeteksi kandungan lemak babi hingga spesifik di ukuran milimikron.
Ada pula alat bernama Gas-Liquid Chromatography (GLC) yang mampu
mengetahui kandungan alkohol dalam makanan. Sedangkan alat bernama Real
Time Polymerase Chain Reaction, disebut mampu menganalisis DNA binatang
yang terkandung dalam produk makanan olahan.
Tidak hanya meneliti kandungan haram pada makanan dan minuman, HSC yang
digawangi Dr Winai, juga mempelajari kandungan zat yang haram pada alat
kosmetik dan alat kesehatan. Salah satu nama alat yang digunakan adalah
Inductively Coupled Plasma Spectrometry.
“HSC menjadi berkembang berkat dukungan penuh dana dari pemerintah kerajaan Thailand,” tegas Dr Winai
Dengan lembaga riset ilmiah yang dipimpinnya saat ini, Dr Winai
menginginkan agar HSC menjadi pelopor terciptanya sistim dan proses
produksi makanan halal di seluruh dunia (Halal Assurance and Liability
quality System) atau dikenal dengan istilah HAL-Q.
“Sistim Hal-Q kini telah dikenal seluruh dunia dan HSC menginginkan agar
Hal-Q bisa menjadi standard dunia. Sehingga seorang muslim, benar-benar
mendapatkan pengetahuan soal halal dan haramnya makanan atau apapun
yang mereka konsumsi atau gunakan,” terang Dr Winai.
Dengan nama besarnya kini di Thailand, bukan berarti Dr Winai melupakan
tentang tanah leluhurnya, Indonesia. Ia kini sudah mewujudkan pesan sang
Ayah yang diwarisi dari nasehat sang kakek, KH Ahmad Dahlan. Bahwa
dimanapun, asalkan ada kemauan dan rasa cinta pada Islam, pasti akan
diberikan jalan untuk memberi kontribusi besar bagi agama dan juga
bangsa.
“Dr Winai telah menjalin kerjasama juga dengan beberapa Universitas di
Indonesia. Ia sudah beberapa kali diundang datang. Dengan populasi
muslim terbesar di dunia, harusnya Indonesia juga memiliki lembaga riset
seperti HSC. Mungkin memang sudah ditakdirkan Tuhan, cucu KH Ahmad
Dahlan yang menjadi pelopornya lebih dulu,” ujar Mina tentang keinginan
saudaranya merintis semangat halal di dunia.
“Dr Winai sangat menginginkan terjalinnya kerjasama yang baik antara HSC
dengan berbagai negara lainnya, tujuan utamanya untuk melindungi
muslim,” kata Wina.
Bangga Menguasai Bahasa Indonesia
Hari sudah beranjak malam. Tak terasa sudah hampir 4,5 jam pembicaraan
JPNN dengan Mina, cucu KH Ahmad Dahlan. Diakhir pertemuan, karena rasa
penasaran, JPNN pun bertanya, bagaimana Mina bisa menguasai banyak
kata-kata dalam bahasa Indonesia. Sementara saudara lainnya tidak bisa
lagi berbahasa asal leluhur mereka itu.
Mina akhirnya menjawab bahwa ia saat ini bekerja di Kedutaan Besar
Republik Indonesia (KBRI) Bangkok.”Saya sudah bekerja sejak tahun 1977,
artinya sekitar 35 tahun,” jawabnya.
“Semua tidak direncanakan. Saat saya diterima bekerja di KBRI Bangkok,
keluarga sempat berdiskusi. Akhirnya kami mengembalikan semua ini adalah
keinginan Allah. Di keluarga kami, hanya ada dua yang bisa berbicara
bahasa Indonesia,” kata Mina.
“Pertama kakak saya bernama Rambhai atau Marifah (anak tertua Erfan
Dahlan) karena ia juga bekerja di kedutaan dan saya sendiri. Saya bangga
bisa berbicara bahasa Indonesia dan saat ini mengajar bahasa Indonesia
dasar. Murid saya kebanyakan para pebisnis Thailand yang membutuhkan
penerjemah untuk pebisnis di Indonesia. Mungkin ini salah satu jalan,
agar kami tetap dekat dengan tanah leluhur kami. Salam dari kami untuk
rakyat Indonesia,” kata Mina menitip pesan.(TAMAT)
http://www.jpnn.com/read/2013/06/19/177575/Mendirikan-Lembaga-Riset-Halal-Terbesar-Di-Dunia-