Wednesday, July 31, 2013

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (Bagian 1) 

Perkembangan politik di Surakarta memang menjadi suatu jalur pergerakan nasional yang dinamis tetapi pada sisi yang lain gerakan-gerakan ini juga dilaksanakan melalui gerakan budaya. Kota Surakarta merupakan acuan dari lahir dan berkembangnya pergerakan nasional tidak hanya secara politik tetapi juga menjadi barometer perkembangan budaya Jawa. Pada masa pergerakan nasional terutama pada tahun-tahun awal pergerakan berbagai gerakan budaya muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan nasional sendiri. Hal ini menjadi wajar karena terjadi stagnasi dari proses perkembangan budaya Jawa. Perkembangan bahasa sebagai alat pergaulan pada masa pergerakan telah beralih kepada bahasa Melayu sebagai lingua franca, tidak heran ketika pada tahun-tahun 1918 muncul gerakan nasionalisme Jawa yang diusung oleh kekuatan Keraton Surakarta.

Menurut Benedict R. Anderson, Jawa terutama kerajaan-kerajaannya telah mengalami dua krisis yang telah disangga bersama-sama oleh orang Jawa dan rakyat-rakyat terjajah lainnya. Pertama adalah krisis politiko-kultural dimana sejak permulaan abad ke-17 para penguasa Jawa benar-benar telah mengalami serangkaian kesalahan, kehinaan dan bencana yang hampir-hampir tak kunjung henti. Sejak akhir abad ke-18 raja-raja Pakubuwono, Hamengkubuwono dan Mangkunegoro, semuanya telah menjadi raja-raja kecil yang “berkuasa” dengan perkenan belanja dan bertahan hidup secara ekonomi demi subsidi Belanda. Ketidakmampuan golongan elit Jawa membebaskan ketertidasan rakyat dari belenggu penjajahan diungkapan secara gamblang oleh pujangga Keraton Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha yaitu:
“Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Parandene tan dadi, Paliyasing kalabendu….”
(Rajanya raja utama, Perdana menterinya tegak dalam kebenaran, Bupatinya konstan hati, Pembantunya sempurna, Namun tak seorang pun tetap tinggal, Zaman malapetaka)

Bait ini menunjukkan bahwa bahkan seorang raja yang turun menurun sempurna pun sekarang tidak mampu lagi untuk memenuhi tugas lamanya yang telah dirumuskannya sendiri yaitu guna mencegah kalabendu. Raja hanya mampu menunjukan kekuasaannya melalui berbagai politik simbol yang dipergunakan melalui berbagai gaya hidup, karya sastra, dan upacara-upacara yang dibesarkan melalui mitos-mitos.

Krisis kedua adalah krisis sastra dan bahasa yang menurut Benedict R. Anderson disebabkan kehancuran kerajaan Majapahit dan kehancuran peradaban pesisir Jawa yang dilakukan oleh Sultan Agung. Kehancuran dua kebudayaan ini dianggap sebagai jaman kegelapan Jawa yang pekat karena terobek-robek oleh berbagai macam peperangan, pembuangan, perampokan, pembantaian dan kelaparan. Krisis-krisis tersebut pada masa pergerakan menjadi sebuah gejolak-gejolak dalam masyarakat yang dituangkan dalam berbagai gerakan-gerakan. Gerakan-gerakan ini terimplementasikan dalam sebuah gerakan budaya yang memiliki dua arah terhadap dua kekuasaan yaitu kekuasaan kolonial dan feodal yang diwakili oleh raja, dan priyayi-priyayi pembantu raja. Dua arah gerakan budaya tersebut adalah budaya affirmative dan budaya kritis (Kuntowijoyo, 2004).

Gerakan politik yang telah modern juga menunjukan ke arah sana. Di Surakarta seperti telah dibahas di awal kekuatan politik terletak pada gerakan-gerakan Boedi Oetomo dan SI. Boedi Oetomo banyak didukung oleh kalangan priyayi dan bangsawan kerajaan sedangkan SI lebih banyak didukung oleh kalangan rakyat kecil dan pedagang. Dalam perjalanan gerakan SI Surakarta lebih banyak menggunakan budaya kritis dalam menghadapi dua kekuasaan yaitu kekuasaan kolonial dan feodal. Begitu pula menyikapi kondisi organisasi SI sendiri terutama CSI. Budaya kritis yang dilakukan digunakan sebagai penyeimbang kekuatan dari kekuatan dan kekuasaan CSI yang sangat besar. Selain itu, budaya kritis yang digunakan oleh SI Surakarta merupakan bagian dari konflik dengan CSI sendiri yang telah berlangsung cukup lama yaitu semenjak kekuasaan dan kepemimpinan SI berpindah ke kota Surabaya.

Bulan Januari 1918 tepatnya tanggal 9 dan 11 Januari, surat kabar Djawi Hiswara koran yang dipimpin oleh Martodharsono anggota SI Surakarta menerbitkan sebuah artikel dalam sebuah bahasa Jawa. Koran Djawi Hiswara terbit dalam dua bahasa Jawa dan Melayu. Artikel ini memuat percakapan antara Marto dan Djojo, percakapan ini rupanya diambil dari sebuah Suluk yang sangat terkenal mengenai ilmu makrifat dan Kejawen yaitu Suluk Gatoloco. Tokoh dalam serat ini yaitu Gatoloco merupakan seorang yang buruk rupa yang memiliki ilmu agama yang tinggi. Ia suka menghisap candu dan menganggap dirinya adalah utusan Tuhan. Percakapan Marto dan Djojo hampir tidak jauh berbeda dengan isi serat tersebut yaitu percakapan mengenai keberadaan Tuhan dan penggunaan candu serta minuman keras oleh para pelakunya.
Menjelang akhir percakapan Marto analogi bahwa wujud Gusti Allah adalah seperti angin yang tak berwujud. Sebelum melanjutkan percakapan kembali tentang Gusti Allah mereka beristirahat. Djojo merokok dan meminum minuman keras (ciu) sebagai penghangat badan. Akhir percakapan Djojo berkata: “inggih mangsuli bab badhe angrembag Gusti Allah rehning sampundalu punapa boten prayogi enjing-enjing kemawon, sarta mawi pirantos wilujwngan sekul wuduk, ciu, lan klelet, Gusti Kanjeng Nabi Rasul Sallaluhualihi wassalam, kados sabataning tiyang dipun wejang ( maguru). (Ya, kembali pada pembicaraan tentang Gusti Allah, karena sudah malam sebaiknya besok pagi saja dengan perlengkapan selametan, nasi uduk, minuman ciu dan tembakau, Gusti Kanjeng Nabi Rasul SAW, seperti kebanyakan orang dinasehati) (Djawi Hiswara, 11 Januari 1918).

Perkataan Djojo bahwa untuk membicarakan mengenai Tuhan maka harus dilengkapi dengan perlengkapan slametan yaitu nasi uduk, minuman ciu dan tembakau sesuai dengan nasehat Gusti Kanjeng Nabi Rasul S.A.W. Hal ini juga menjadi sebuah kebiasaan bagi masyarakat Jawa yang menganut javanism, bahwa slametan merupakan ritual untuk menyembah Gusti Allah, dan memberikan berbagai sesaji sebagai syaratnya. Perkataan-perkataan dalam percakapan tersebut menimbulkan polemik bagi kalangan umat Islam dan menganggap apa yang tertulis dalam artikel tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan agama Islam karena dalam agama Islam minuman beralkohol dan candu adalah haram hukumnya. (Bersambung)

http://phesolo.wordpress.com/2012/01/20/polemik-djawi-hisworo-abangan-versus-islam-bagian-1/

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (2)
Friday, 28 December 2012

Joko Prayitno

Kemunculan artikel Djojodikoro yang berjudul Percakapan antara Marto dan Djojo di koran Djawi Hiswara direspon keras oleh anggota-anggota CSI yang berkedudukan di Surabaya. Mereka menganggap apa yang telah dimuat dalam harian Djawi Hiswara sebagai bentuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Seperti dalam Oetoesan Hindia Abikoesno Tjokrosoejoso, adik Tjokroaminoto dan sekretaris SI Surabaya, berseru agar membela Islam dan menuntut Sunan serta pemerintah Hindia agar menghukum Martodharsono dan Djojodikoro.
gambar-dewa-dalam-penanggalan-wuku-11
Gambar Dewa Dalam Penanggalan Wuku 1
Martodharsono menjelaskan bahwa ia telah memberi catatan di bawah tulisan Djojodikoro sebagai maksud bahwa apa yang ditulis oleh Djojodikoro mengandung maksud lain dan tidak berusaha untuk menyalakan api kemarahan kaum muslimin. Dalam catatan Martodharsono menulis:
“rembag makaten poeniko jektosipoen boten kenging dipoen gelar hing serat kabar, hawit sampoen mesti damel sak serik dateng hingkang boten doengkap”.(pertjakapan selakoe ini ini sesoenggoehnja tidak boleh dihampar di soerat kabar, sebab soedah tentoe bikin koerang senang hati pada jang tidak mengerti.). “bahwa saja tidak sadja menegah pada Djojodikoro djoega memaloemkan kalaoe toelisan mana arti lain sopaja djangan ada jang menerima salah, sedangkan dimaksoednja, jang dikatakan rasoel dalam pertjakapan itoe, boekan Nabi kita s.a.w. Kandjeng Nabi Moehammad Rasoel Allah, tetapi rasoel rasa (gevoel) nja masing-masing, djadi siapa jang bertjakap ialah jang mempoenjainja. Demikianlah maananja jang saja kira tiap-tiap orang abangan misti mengarti, asal sadja telah pernah bergoeroe tentang ilmoe jang oemoemnja di bilang ilmoe kematian…”(Djawi Hiswara, 4 Februari 1918).
Martodharsono berbalik menyerang apa yang dilakukan oleh Abikoesno Tjokrosoejoso sebagai manuver politik dari konflik yang terjadi di tubuh SI dan dendam pribadi CSI terhadap Martodharsono. Dalam pernyataannya Martodharsono mengatakan:
“Perkara koeno kata saja, ja’ni sebatas congres CSI di Djocja (Jogjakarta) dan pilihan President, wektoe mana saja misih djadi Redacteurnja Sarootomo, moelai itoe dan selandjoetnja saja selaloe tinggal di fihak jang saja pandang bagoes lagi toeloes haloeannja seperti toean Semaoen, toean Marco, djuga toean Sneevliet dan toean Baars, walaoepoen Belanda, atjapkali saja bintjangkan dan saja poedji, tetapi sebaliknja saja djadi gagoe daripada saja misti memoedji Tjokroaminoto jang moedah poetoeskan djandjinja, antara toean Hadji Samanhoedi, bapa SI itoe, pada hal djandji mana terkoentji dengan soempah, lebih teges saja tidak pernah memoedji akan dia, melingkan membilangkan sadja apa jang ada dengan sebenarnja. Itu sebab complotnja amat membentji pada saja.”(Ibid.)
Pembelaan ini mengungkapkan bahwa dalam tubuh CSI sendiri telah terjadi konflik kepentingan antara pihak CSI dan komunis. Martodharsono melaporkan bahwa ia telah menunjukan sikap keberpihakannya kepada kelompok sayap kiri Semarang ketika ia masih menjadi redaktur surat kabar Sarotomo.
Martodharsono menduga bahwa hal ini disebabkan oleh kedekatan dirinya dan Djawi Hiswara dengan kelompok komunis di Semarang. Menurut Takashi Shiraishi munculnya artikel Djojodikoro di Djawi Hiswara memberikan kesempatan emas kepada Tjokroaminoto sebagai pimpinan CSI untuk melakukan tiga hal, yaitu:
1.         memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memperdulikan Islam
2.         menghimpun saudagar-saudagar santri dan Arab, menghimpun uang
3.         menggerakkan SI-SI yang terbengkalai di bawah pimpinannya dalam semangat membela Islam lalu menyerang musuh-musuh lamanya   dari Surakarta, Martodharsono, Samanhoedi, Sosrokoernio (Takashi Shiraishi, 1997).
Langkah lain yang dilakukan oleh Tjokroaminoto adalah mengadakan reli SI yang panjang bersama Hasan bin Semit pemimpin Al Irsyad Surabaya dan juga komisaris CSI untuk membicarakan “masalah Djawi Hiswara”. Pada awal Februari di Surabaya didirikan Komite Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum muslimin”. Tjoroaminoto menjabat sebagai ketua, Sosrokardono sebagai sekretaris, Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib seorang pemimpin Al Irsyad Surabaya sebagai bendahara. Kunci TKNM terletak pada dua kata, tentara yang menandakan militansi, dan Muhammad, lambang persatuan kaum putihan. Kini tentara kaum putihan untuk pertama kalinya dalam politik pergerakan diarahkan kepada kaum abangan.
Seruan TKNM yang militan untuk membela Islam terbukti sangat berhasil. Vergadering di Surabaya pada 6 Februari 1918 berhasil mengumpulkan dana lebih dari tiga ribu gulden. Reli protes yang diadakan serentak pada tanggal 24 Februari 1918 di empat puluh dua tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatra dihadiri lebih dari 150.000 orang dan berhasil mengumpulkan dana lebih dari sepuluh ribu gulden. Subkomite TKNM didirikan hampir di seluruh Jawa kecuali Semarang dan Jogyakarta. Sejumlah SI lokal yang terbengkalai berhasil dibangkitkan kembali dibawah pimpinan subkomite-subkomite TKNM.
Tulisan Djojodikoro di Djawi Hiswara tidak menimbulkan protes di Surakarta, tetapi ketika isu tersebut dibuat menjadi isu nasional kaum muda Islam Surakarta tidak bisa lagi mengabaikannya. Pada 9 Februari 1918 bestuur SI Surakarta memutuskan untuk mengadakan vergadering umum protes pada 24 Februari, sebagaimana yang diminta Tjokroaminoto. Kekuatan penggerak di balik kampanye anti-Martodharsono, anti-Djawi Hiswara ini adalah H. Misbach, H. Hisamzaijnie, adviseur CSI, dan R. Ng. Poerwodihardjo, guru sekolah bumiputra Kasunanan dan pemimpin serikat guru (Perserikatan Goeroe Hindia Belanda). Tatkala menjelang rapat umum semakin dekat, kasak-kusuk menyebar bahwa Misbach akan menghadapi Martodharsono di arena vergadering. Vergadering SI Surakarta diadakan di taman Sriwedari dihadiri oleh sekitar 4000 orang yang sebagian besar adalah bumiputra dan orang-orang Arab yang merupakan kring-kring SI dari luar Solo dan memutuskan mendirikan TKNM di Surakarta (Djawi Hiswara, 25 Februari 1918).
Pengangkatan isu kristenisasi dan penghinaan agama Islam yang dilakukan oleh CSI mendapatkan sukses besar dengan terbentuk sub-sub komite TKNM dan terkumpulnya dana serta kembalinya dukungan dari kaum putihan yang kaya. Hal ini terlihat dengan pengharapan masyarakat ditujukan kepada TKNM yang baru terbentuk, yang diungkapkan dalam Islam Bergerak:
“saja berpengharapan kepada Comite TKNM moedah-moedahanlah dengan segera bergiat bekerdja akan menjampaikan betapa jang djadi toedjoeannja, dan haroeslah toean-toean kaoem Moeslimin memberikan toendjangan dengan sekoeat-koetnja bagai geraknja Comite dan djoega haroelah dengan sesegera-segeranja mamajoekan permintaan kepada Regeering akan dibantoe setjoekoepnja oentoek menjampaikan maksoednja, haroeslah Comite TKNM  mengabarkan kepada sekalian pendoedoek Moeslimin di Hindia apa jang akan dikerdjakan oleh Comite boeat menjampaikan maksoednja akan mengekalkan perasaan Islam kepada anak Hindia, sepandjang pendapatan saja jang lebih perloe Comite TKNM haroeslah lebih dahoeloe berdaja oepaja akan dapat mendirikan roemah-roemah sekolah jang sepadan dengan zamannja oentoek anak-anak kita kaoem moeslimin dengan peladjaran igama”(Islam Bergerak, 10 April 1918).

(Bersambung…..)

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (3 – habis)

Wednesday, 2 January 2013

Joko Prayitno

Pembangunan isu baik yang dilakukan melalui vergadering-vergadering, surat-surat kabar maupun pengumpulan dana merupakan bagian aktivitas TKNM yang terlihat pada masa-masa awal.  Pada perjalanan waktu TKNM tidak lebih dari alat pengumpul dana dari CSI pimpinan Tjokroaminoto untuk membangun basis dukungannya. Tidak adanya gerakan yang nyata dari TKNM membawa kekecewaan-kekecewaan bagi pendukungnya.

Setelah TKNM dibentuk dan tampaklah bahwa TKNM tidak memiliki kekuatan dan langkah untuk bergerak seperti yang diharapkan oleh pendukung-pendukungnya. Kekecewaan-kekecewaan mulai bermunculan di kalangan umat Islam. Hal ini dikarenakan TKNM hanya pada awalnya saja mengadakan gerakan anti-Martodharsono dan anti-Djawi Hiswara yang dianggap telah menghina Nabi Muhammad SAW dan agama Islam, tetapi setelah dukungan secara material didapatkan, TKNM tidak memiliki senjata yang ampuh untuk menghukum Martodharsono hanya sebatas himbauan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menghukum Martodharsono dan Djawi Hiswara.


Gambar Dalam Penanggalan Wuku

Kekecewaan-kekecewaan tersebut dapat terlihat di berbagai daerah yang mendirikan komite-komite TKNM. Komite-komite TKNM tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya karena tidak memiliki dana, sedangkan dana yang ada semuanya masuk ke kas CSI di Surabaya. Sedangkan dalam pembentukannya TKNM bermaksud mendirikan sekolah-sekolah agama Islam. Tetapi dalam kenyataannya sejak berdiri dan terkumpulnya dana hal tersebut tidak terlaksana.Di Solo penyumbang terbanyak adalah H. Misbach dan pedagang batik lainnya dan mempercayakan kepemimpinan TKNM kepada pegawai keagamaan yang progresif, kiai, dan guru ngaji. Tetapi janji yang tidak pernah dilaksanakan oleh bestuur komite TKNM membuat mereka kecewa dan hal ini terungkap dalam sebuah artikel di Islam Bergerak yang berbunyi:
“maka kami tahoe dengan terang bahwa Comite TKNM di Soerabaia adalah mempoenjai wang kas jang begitoe besar dan dalam masa ini beloem begitoe terpakai hendaklah wang kas tadi lekas-lekas dikerdjakannja, kami telah mengerti betoel bahwa maksoed Comite TKNM hendaklah mendirikan sekolahan Kweekschool, poerbaganda tentang agama dan menjitak boekoe-boekoe dari sebab maksoed Comite TKNM adalah begitoe besar sekali maka dari pendapetan kami adalah mahal sekali akan kedjadiannja djikalau Comite TKNM hendaklah menoenggoe-menoenggoe sadja akan koempoelnja wang sampai kedjadian maksoed tadi, soedah barang tentoe terpaksa soenggoe jang terlaloe lamanja”(Islam Bergerak, 20 November 1918).
Artikel ini meminta agar komite TKNM merubah rencana kegiatannya itu menjadi pengumpul uang saja untuk membantu organisasi lain yang kekurangan uang, karena banyak organisasi yang bermaksud sama dengan TKNM tetapi bergerak dengan kurangnya uang. Selain hal tersebut kritik pedas juga menyertai dalam artikel ini:
“menilik pendapatan wang derma jang telah ditrima oleh Comite, soedah begitoe banjak, tetapi maksoednja djatoeh kosong sadja, dari itoe teranglah pada kami bahwa Comite pande tjari wang tetapi tidak pande mengerdjakannja. Lain perhimpoenan seperti Mohammadijah di Djokja, Sidik Amanat Tableg di Solo, SI Semarang, SI Koedoes, SI Djocja, dan laen-laen, bisa mengerdjakan maksoednja, tetapi tidak pande tjari wang jang tjoekoep boeat bekal ongkosnja.Maka dari itoe kami mintak dengan keras hendaklah Comite TKNM di Soerabaia soeka memperhatikan Voorstel kami jang terseboet di atas. Apabila Comite tidak soeka memperhatikan voorstel kami, kami brani pastikan sebentar lagi wang Comite habis dimakan Rajap dan maksoed Comite tidak akan kedjadian”( Islam Bergerak, 20 November 1918).
Kritik pedas ini menambah kecurigaan terhadap komite TKNM yang berpusat di Surabaya tidak bersikap serius dalam membela agama Islam. Anggota-anggota komite TKNM di Solo sangat resah sehingga kembali mengeluarkan artikel untuk mengingatkan kembali komite TKNM yang berpusat di Surabaya agar memenuhi janjinya. Dalam artikel di Islam Bergerak bulan tanggal 10 Juni 1918 Mr. Zahid, menulis kekecewaannya terhadap kinerja TKNM. Mr. Zahid menulis dalam artikel tersebut kritik yang sangat pedas dan curiga adanya manipulasi penggunaan uang derma yang cukup besar. Ia mengatakan:
“Sjahdan saja mendengar chabar poela, bahwa kas Comite di Soerabaia ada banjak sekali, saja ada koeatir sampai sekarang masih nihil, djangan-djangan nanti oeang jang sebanjak itu dimakan “pest kepala hitam” ada-ada sadja! En, di Solo ada ada apa? Ja, baroe remboeg sadja, djangan-djangan nanti wang kas abis di makan remboeg sadja.Sesoenggohnja tioei itoe djika tiada dipraktekkan tida ada goenanja alias kosong sadja, apakah tida maloe kamoe Comite! Kamoe telah bertrijak-trijak setinggi langit sap toedjoe, abis bertrijak tinggal angop sadja, bangsa lain tinggal tertawa, tjis, tjis, tjis, kata bangsa lain, Comite wang kasnja djadi sate, dimakan pest kepala itam sampai kasnja tinggal melenge”(Islam Bergerak, 10 Juni 1918).
Kekecewaan juga ditujukan terhadap pengurus komite TKNM di Solo yang dianggap sebagai bangsa yang tengak-tenguk alias malas. Redaksi Islam Bergerak tidak dapat memberikan keterangan terhadap kegiatan komite TKNM, karena memang kenyataannya tidak ada kabar kegiatannya. Kenyataan menjadi jelas bahwa rencana untuk membangun TKNM yang bertujuan membela agama Islam tidak terlaksana, hanya digunakan sebagai kendaraan oleh CSI untuk mengisi kasnya yang kosong. Di Solo H. Misbach merasa kecewa terhadap Hisamzaijnie ketua TKNM dan juga pemimpin redaksi Medan Moeslimin milik H. Misbach. Akhirnya H. Misbach memecat Hisamzaijnie sebagai pemimpin redaksi Medan Moeslimin.
Keputusan untuk mengambil aksi mengecam tindakan Djawi Hiswara dilakukan Muhammadiyah di Yogyakarta yang mengirim surat terbuka untuk Gubernur Jendral Dukungan untuk menghukum Djojodikoro dan Martodharsono juga dilakukan melalui kecaman-kecaman di dalam surat kabar oleh individu-individu, terutama yang ditulis di surat kabar Islam Bergerak.
Komite Nasionalisme Jawa mengirimkan sebuah artikel di harian Neratja tanggal 23 Februari 1918 yang ditulis oleh pengurus Komite Nasionalisme Jawa yaitu R.M.S. Soerjokoesoemo, Satiman dan Abdul Rachman. Artikel ini menunjukkan adanya dua pendapat yaitu menyayangkan terbitnya artikel Djojodikoro dan kedua adalah reaksi yang berlebihan dari kelompok Islam. Komite Nasionalisme Jawa menganggap bahwa kehidupan beragama harus dipisahkan dengan politik sehingga tidak menimbulkan reaksi yang negatif. Komite Nasionalisme Jawa juga menganggap bahwa setiap agama ataupun kepercayaan berhak hidup dan berkembang tanpa harus dihalang-halangi oleh kekuatan politik. Apa yang dilakukan oleh Tentara Kanjeng Nabi Muhammad dianggap menghalangi perkembangan dan tumbuhnya kebudayaan Jawa yang sedang diusahakan (Neratja, 23 Februari 1918).
Menariknya adalah bahwa keraton Surakarta sebagai simbol panatagama tidak melakukan sebuah reaksi apapun terhadap polemik ini. Padahal baik CSI, TKNM, maupun Muhammadiyah telah meminta kepada Susuhunan untuk menghukum Martodharsono yang telah menghina agama Islam. Sikap diam dari keraton Surakarta disebabkan keraton juga pendukung dari berkembangnya budaya Jawa, sedangkan sejak lama kehidupan beragama keraton merupakan kehidupan beragama yang dilingkupi oleh budaya mistik kejawen. Baik raja, priyayi bangsawan, maupun abdi dalem adalah bagian integral dari kebudayaan kejawen yang masih memegang teguh tradisi. Sehingga polemik yang terjadi antara Martodharsono dan CSI tidak membuat keraton mengambil sebuah keputusan.
Reaksi terhadap artikel Djojodikoro di surat kabar Djawi Hiswara memunculkan gerakan TKNM dan kedua belah pihak mencoba melibatkan pemerintah kolonial Belanda untuk memutuskan konflik ini. Pihak Martodharsono meminta pemerintah memahami bahwa persoalan ini adalah persoalan agama dan sepatutnya pemerintah tidak mengambil tindakan apa-apa dan bersikap netral, sedangkan CSI dan organisasi Islam lainnya meminta pemerintah kolonial Belanda menghukum Martodharsono dan surat kabarnya. Hal ini didasarkan kepada sejauh mana pemerintah kolonial Belanda memperhatikan keberadaan agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Bumiputra. Dalam kasus Djawi Hiswara dan CSI maka terlihat bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak mengambil tindakan apapun. Pemerintah kolonial Belanda bersikap “netral” dalam kasus ini, pemberian ijin diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda bagi CSI untuk mengadakan vergadering-vergadering, dengan catatan bahwa vergadering-vergadering tersebut hanya membicarakan masalah agama Islam dan bukan berbicara masalah politik. Vergadering ini juga dijaga oleh polisi yang cukup besar untuk mengamankan acara tersebut, hal ini terlihat terutama dalam vergadering di kota Solo.

No comments:

Post a Comment