Oleh: Muhammadun*
Judul buku : Marhaenis Muhammadiyah
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Galang Pres, Yogyakarta
Cetakan : 1, Juni 2010
Tebal : 232 halaman
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Usia Muhammadiyah saat menginjak seabadnya. Gagap gempita telah menyertai peringatan seabadnya, termasuk dalam Muktamarnya yang ke-46 di Yogyakarta awal Juli 2010 lalu Gagap gempita usia seabad ini dilakukan dengan berbagai peringatan, dengan kemegahan yang mengagumkan, dan biaya miliaran rupiah yang dikeluarkan. Semuanya ingin menandai datangnya abad baru ke-2 yang akan dijalani untuk melangkah menuju peradaban utama yang lebih meyakinkan.
Namun demikian, tidak sedikit kaum kritis Muhammadiyah yang bersikap kritis dengan berbagai fenomena menarik yang sedang dijalani Muhammadiyah. Salah satu kader kritis itu adalah Abdul Munir Mulkhan. Lewat buku terbarunya berjudul “Marhaenis Muhammadiyah”, Munir melihat bahwa Muhammadiyah saatnya bergerak melihat kaum marginal yang terbelakang. Saatnya Muhammadiyah berpihak kepada kaum marhaen yang hidupnya masih diliputi keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan dalam hal pendidikan.
Marhaenis Muhammadiyah mendambakan gerakan baru Muhammadiyah yang berani bersikap secara tegas untuk memperjuangkan nasib marginal yang selama ini terlunta-lunta. Perjuangan inilah yang dulu dijalankan oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Beliau ini mendirikan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan panti asuhan adalah untuk memberikan kehidupan kaum marginal yang nasibnya terpinggirkan. Ahmad Dahlan tidak rela dan menggugat semua itu, sehingga mendirikan persyarikatan yang bernama Muhammadiyah pada 18 November 1912/8 Dzulhijjah 1330 H.
Munir Mulkhan melihat etos perjuangan Kiai Ahmad Dahlan sekarang ini banyak dilupakan. Muhammadiyah terjebak dalam rutinitas yang begitu sibuk, sehingga sekolah dan perguruan tinggi alpa dalam memihak kaum marginal. Sekarang ini masyarakat kecil masuk sekolah Muhammadiyah, karena biaya yang tidak ramah. Demikian juga ketika berobat ke PKU (Pusat Kesehatan Umat) Muhammadiyah yang tak biaya tidak memihak kaum miskin. Muhammadiyah menjadi elitis, hanya merawat kaum menengah ke atas, sedangkan kaum menengah ke bawah jauh dari jangkauannya.
Karena terjebak dalam elitisme inilah, daya intelektualisme Muhammadiyah semakin merosot. Munir Mulkhan bukan hanya dalam buku ini saja mengkritik stagnasi pemikiran Muhammadiyah, tetapi dalam berbagai kesempatan telah dilontarkan, termasuk ketika dia ikut serta dalam mendukung lahirnya gerbong kaum muda kritis lewat JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Ironisnya, bagi Munir, kaum kritis-progresif ini tidak mendapatkan tempat dalam regenerasi struktural dalam tubuh Muhammadiyah.
Makin mandeknya nalar pencerahan inilah yang membuat Muhammadiyah semakin elitis, jauh dari kalangan kaum marginal-marhenis. Gebyar yang begitu megah yang menghabiskan dana miliaran rupiah merupakan bukti elitisasi gerak Muhammadiyah dalam berbagai evennya. Padahal, uang miliaran rupiah tersebut sangat berarti kalau digunakan untuk memberdayakan kaum marginal yang masih tertinggal di berbagai pelosok negeri. Elitisasi inilah justru yang akan menjadikan Muhammadiyah jauh dari harapan publik, dan bagi Munir, ini jelas mencederai ruh perjuangan yang telah ditancapkan oleh sang pendiri, KH Ahmad Dahlan.
Munir merekomendasikan bahwa saatnya Muhammadiyah kembali kepada khittahnya sebagai organisasi yang digerakkan Ahmad Dahlan yang selalu membela nasib kaum marginal yang masih terbelakang. Untuk itu, kader masa depan berupa marhaenis Muhammadiyah harus terus diciptakan, agar Muhammadiyah semakin dekat dengan masyarakat, keluar dari jebakan elitisme yang menipu. Marhaenis Muhammadiyah yang digelorakan Munir sebagai “wacana pinggir” yang digalakkan untuk menerobos tembok struktural organisasi yang masih konvensional. Marhaenis Muhammadiyah yang dicita-citakan Munir Mulkhan ingin menghasilkan wacana dan gerakan radikal yang membebaskan dalam ruh pencerahan di tubuh Muhammadiyah.
*Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta
No comments:
Post a Comment