Wednesday, April 21, 2010

Tasawuf di Kalangan Muhammadiyah

Oleh: Ibnu Djarir

DI kalangan umat Islam di Indonesia masih sering timbul pertanyaan,
apakah warga Muhammadiyah mengamalkan tasawuf? Pertanyaan itu timbul
karena istilah tasawuf dalam Persyarikatan Muhammadiyah kurang
populer.

Demikian juga tariqat, Muhammadiyah secara organisatoris tidak
mempunyai afiliasi dengan tariqat mana pun.

Persyarikatan bisa juga dikatakan sebagai tariqat, dalam arti sebagai
satu organisasi yang mempunyai cara tertentu dalam memahami ajaran
Islam.

Persyarikatan sering disoroti orang luar sebagai organisasi Islam yang
"kering spiritual''. Ada anggapan dari orang luar, Muhammadiyah
sebagai ormas Islam yang berbasis masyarakat kota lebih menyukai cara-
cara beribadah yang praktis-praktis saja atau seolah-olah mencari yang
ringan-ringan saja.

Misalnya dikatakan, sehabis salat fardu tidak diikuti dengan wirid
atau zikir panjang, melainkan hanya doa pendek dengan suara lirih.
Salat tarawih mencukupkan delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir.
Tidak ada kebiasaan istighotsah dan mujahadah secara massal dan lain-
lain.

Kenyataannya tidak sebagaimana anggapan tersebut, sebab Muhammadiyah
bukan mencari yang praktis-praktis atau yang ringan-ringan saja,
melainkan semata-mata ingin melaksanakan amal ibadah yang mempunyai
landasan hukum agama yang kuat sesuai dengan tuntunan Rasul.

Misalnya mengenai wirid setelah salat fardu dan salat tarawih, ingin
meniru apa yang dulu diamalkan oleh Rasulullah. Mengenai pendalaman
amalan spiritual, juga ingin mengamalkan apa yang dulu dicontohkan
Rasulullah. Misalnya dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunah seperti
salat tahajud, puasa sunah, salat sunah rawatib, membaca doa dan
wirid, iktikaf di masjid, tadarus Alquran, memiliki al-akhlaqul
karimah, dan lain-lain.

Istighotsah di kalangan warga Muhammadiyah dilakukan secara
individual. Jadi, pengamalan ibadah di kalangan umat Islam di
Indonesia itu lebih banyak kesamaannya. Bila terdapat perbedaan dalam
cara pelaksanaannya, itu karena perbedaan cara pemahaman dari tiap-
tiap golongan.

Spiritual Islami

Aktualisasi spiritualitas Islam ialah upaya mewujudkan kehidupan
islami, dengan menekankan pada penyempurnaan pengamalan ibadah,
kesucian rohani, dan kesalihan moral atau al-akhlaqul karimah.

Di kalangan warga Muhammadiyah terdapat orang-orang yang dalam
mengapresiasi makna ibadah dan zikir sebagai didefinisikan dalam buku
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, bukan pada ritual formal seperti
duduk di masjid sambil memutar-mutar tasbih, melainkan lebih
menekankan gerak amal saleh dalam bentuk kiprah kreatif dalam
kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.

Pemahaman seperti itu kemudian termanifestasikan dalam bentuk
kekurangakraban dengan wirid-wirid, zikir, dan tahlil secara verbal
(qauli), dan lebih mengutamakan zikir qalbi dan fi'li (operasional)
sehingga orang luar memandang mereka kering spiritual.

Karena itu, persyarikatan perlu memberikan penjelasan kepada orang
luar tentang pemahaman Muhammadiyah mengenai spiritualitas islami
untuk menghilangkan kesalahpahaman orang luar terhadap Muhammadiyah.

Di samping itu, persyarikatan perlu mengimbau semua warganya agar
meningkatkan pengamalan spiritualitas islami dalam rangka pengukuhan
akidah, penyempurnaan ibadah, dan keluhuran akhlak.

Aktualisasi spiritualitas islami itu juga berbarengan dengan kehendak
mengembangkan pemikiran tajdid (pembaharuan dan pemurnian ajaran
Islam). Hal itu dimaksudkan agar segala amalan ibadah dilakukan dengan
cara yang benar sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis, bebas dari
syirik, bid'ah, khurafat, dan takhayul.

Tasawuf Modern

Meskipun PP Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih belum pernah membahas
secara khusus tentang ajaran tasawuf, seorang tokoh yang namanya cukup
terkenal, Prof Dr Hamka, telah memperkenalkan istilah tasawuf modern
untuk memberikan nama pada ajaran tasawuf yang menurutnya sesuai
dengan paham Muhammadiyah. Dia menulis beberapa buku tentang tasawuf,
di antaranya berjudul Tasawuf Mo dern.

Para pemuka Muhammadiyah yang lain pada umumnya menekankan, semua
warga suka menjalankan ibadah-ibadah sunah, di samping ibadah wajib,
dan memiliki akhlaqul karimah. Istilah akhlaqul karimah ini mencakup
serangkaian sifat-sifat utama seperti: taqwa, zuhud, sabar, faqr,
qana'ah, tawakal, ikhlas, syukur, rida, wara', tawadhu', raja', tobat,
dan lain-lain sebagaimana dicontohkan Rasulullah.

Jadi, mereka tidak menggunakan istilah tasawuf tetapi menganjurkan
warganya memiliki sifat-sifat utama sebagaimana yang didambakan para
penganut tasawuf.

Menurut Hamka, istilah tasawuf modern adalah tasawuf murni yang
relevan untuk diterapkan pada zaman modern. Orang yang menjalankan
tasawuf murni mestilah memegang teguh akidah yang benar (tauhid yang
bersih), melaksanakan ibadah dengan tekun, menghiasi dirinya dengan
al-akhlaqul karimah, serta melakukan pergaulan dalam kehidupan sosial
sehari-hari sesuai dengan Alquran dan hadis.

Ia tidak tenggelam dalam khalwat atau menjauhi kehidupan duniawi, tapi
bergaul secara wajar dalam kehidupan sosial.

Akhlak dan Tasawuf

Ajaran Islam meliputi tiga bagian pokok, yaitu akidah (kepercayaan
atau keimanan), syariah (hukum-hukum agama, meliputi ibadah dan
muamalah), dan akhlak (moral atau budi pekerti). Atau, tiga bagian
pokok itu ialah iman, Islam, dan ikhsan.

Iman adalah sebagaimana tercermin dalam rukun iman yang keenam. Islam
adalah sebagaimana yang kita kenal dengan rukun Islam yang kelima.
Ikhsan adalah sikap batin, kita merasa selalu dalam pengawasan Allah,
sehingga kita harus berbuat sebaik-baiknya.

Istilah tasawuf belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah
tersebut baru dikenal pada abad ke-2 Hijriah, dengan kemunculan
seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi yang digelari sebagai
seorang sufi.

Maka sebelum abad ke-2 H itu umat Islam belum mengenal klasifikasi
ajaran Islam, Islam yang bernama tasawuf. Mereka merasa sudah puas dan
tenang hatinya jika sudah dapat mengamalkan akidah, syariah, dan
akhlak; atau mengamalkan iman, Islam, dan ihsan. Sedangkan cita-cita
tertinggi sesuai dengan ajaran Alquran dan hadis adalah menjadi orang
yang bertakwa.

Sepeninggal Rasulullah, sahabat, dan tabiin, terdapat ulama yang
mengembangkan ikhsan lebih lanjut melalui ajaran tasawuf. Jadi, baik
tasawuf maupun al-akhlaqul karimah berinduk pada ihsan.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada masa hayatnya sangat
menganjurkan segenap warga untuk mengamalkan al-akhlaqul karimah. Di
antara sifat-sifatnya yang menonjol ialah zuhud, yakni tidak tergila-
gila atau serakah untuk mengejar harta, bahkan harta beliau banyak
dikorbankan untuk membaiayai kegiatan amal usaha Persyarikatan,
seperti lembaga pendidikan, kesehatan, penyantunan fakir miskin,
dakwah, dan lain-lain.

Dengan demikian KH Ahmad Dahlan telah berhasil menjelmakan spirit
(roh) dan nilai-nilai substansial tasawuf menjadi etos kerja warga
Muhammadiyah dalam melaksanakan kegiatan sosial keagamaan. (18c)

-Drs H Ibnu Djarir, Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa
Tengah

Retrieved from:
Bersumber dari : http://www.suaramerdeka.com/harian/0110/06/kha2.htm

No comments:

Post a Comment