Tuesday, April 20, 2010

Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang

Tisnowijaya, A. Aya'roni. 2008. "Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang." MA Thesis. IAIN Walisongo Semarang.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan
implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf.
Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan
mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf,
serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif dengan menggunakan pendekatan naturalistik.

Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut
Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep
tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah
tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar Al-Qur’an
dan Sunnah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap di kalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akomodatif. Pertama, kelompok yang menolak secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribadah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhamadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik”.

No comments:

Post a Comment