Monday, April 19, 2010

Menanti Tajdid Spiritual

Retrieved from: http://www.ahmadmuttaqin.com/2010/04/10/tajdid-spiritua/#more-563

Di beberapa kegiatan resmi organisasi dan forum-forum pengajian sering muncul pertanyaan peserta tentang sikap Muhammadiyah terhadap Tasawuf. Dalam sebuah pelatihan kader se-Sumatera beberapa waktu yang lalu, pertanyaan ini menyeruak ketika narasumber menyampaikan materi Paham Agama dalam Muhammadiyah, Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran dalam Islam, serta Perbedaan Identitas Muhammadiyah dengan Gerakan-Gerakan Islam lainnya. Beberapa penanya tidak sekedar mencari pejelasan sikap resmi organisasi terhadap Sufism beserta segala apseknya namun juga menekankan bahwa dimensi esoteris itu diperlukan dalam beragama agar tidak terjebak pada formalisasi ritual. Dalam bahasa studi agama, having religion saja tidak cukup, perlu ditingkatkan menjadi being religious agar tidak terjebak pada dataran simbolik.

Tasawuf, Akhlaq & Ihsan

Terhadap pertanyaan warga Muhammadiyah tentang Tasawwuf, jawaban narasumber ternyata tidak tegas mengatakan bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf atau menyebut Sufisme itu haram. Narasuber Paham Agama dalam Muhammadiyah bahkan mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak bisa menyalahkan tasawuf begitu saja. Menurutnya, Muhammadiyah juga mengambil tasawuf dalam bentuknya yang lain. Mengingat inti dan tujuan tasawuf adalah akhlaq al-karimah, maka muhammadiyah lebih mengelaborasinya ke akhlaq karimah tersebut, bukan pada thariqah (tarikat) yang existensinya sendiri sangat variatif. Bukankah sebagian tarikat dinilai muktabarah (valid, authentic, diterima eksistensinya sebab tidak bertentangan dengan syariah) dan sebagian yang lain dikategorikan ghairu muktabar (dinilai menyimbang dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah)?

Terhadap pertanyaan peserta bahwa Muhammadiyah cenderung anti tasawuf, nara sumber Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran dalam Islam mengaku bahwa ia bisa memahami bila selama ini Muhammadiyah itu terkesan alergi terhadap tasawuf, sebab ormas yang berdiri sejak 1912 itu selama ini lebih menekankan aspek ritual-ibadah. ”Namun demikian”, lanjut narasumber tersebut, ”kita tidak bisa begitu saja menyalahkan orang yang mengamalkan tasawuf. Bila sebagian besar orang Muhammadiyah merasa cukup dan ’puas’ mendekatkan diri kepada Allah melalui pintu ibadah, para pelaku tasawuf mengangap masih kurang. Karena itu mereka mengelaborasi ’jalan lain’ yang lebih mengolah aspek rasa melalui tasawuf.” Olah rasa dalam beribadah semacam ini pada dasarnya sejalan dengan konsep ihsan.

Penyebutan tasawuf itu equivalen dengan ihsan juga pernah diungkap oleh Allahu yarham K.H. Ahmad Azhar basyir, M.A (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah). Ketika pak Haedar masih di Badan Pendidikan Kader (kini Dr. H. Haedar Nashir, M.Si, salah satu Ketua PP Muhammadiyah) pernah menanyakan pada pak Azhar, ”bila Muhammadiyah itu menolak tasawuf, lalu alternatifnya apa?” Pak Azhar menjawab, bila merujuk pada hadits shahih tentang ma huwa al-Islam, maa- huwa al-Iman, wa maa huwa al-Ihsan, maka tasawuf itu adalah ihsan. Dalam hadits terebut disebutkan ihsan adalah ”ka-annaka taraahu fainlam taraahu fainnahu yaraaka” (engkau merasa melihat Tuhan, bila pun tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihat engkau).

Tajdid yang Terabaikan

Muhammadiyah selama ini telah berhasil melembagakan Islam dalam kontek ibadah mahdhah melalui tuntutan ibadah sesuai Rasulullah dalam Himpunan Putusa Tarjih (HPT) dan tuntunan bermuamalah sesuai dengan Qur’an dan Sunnah dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) lalu diimplementasikan dalam Amal Usaha bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Muhammadiyah juga berhasil mengelaborasi prinsip-prinsip Iman dalam produk Paham Agama dalam Muhammadiyah, Khittah Perjuangan, Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup, Kepribadian Muhammadiyah, dll. Pertanyaannya kemudian, mengapa aspek Ihsan cenderung terabaikan proses pelembagaan dan implementasinya? Mana tafsir gerakan Muhammadiyah terhadap prinsip Ihsan ini? Ketimpangan inikah yang menyebabkan Muhammadiyah selalu dinilai ”kering” dan miskin spiritualitas? Inikah yang mendorong warga Muhammadiyah di berbagai lapisan selalu menanyakan pada pimpinan di atasnya tentang tasawuf dalam Muhammadiyah?

Memang secara personal sejumlah tokoh dan anak muda Muhammadiyah telah aktif mengkaji Sufisme dan spiritualitas, seperti HAMKA, Simuh, Abdul Munir Mulkhan, M. Damami, dan Najib Burhani; namun Muhammadiyah secara organisasatoris relatif diam. Diamnya organisasi pembaharu ini dalam mengelaborasi tasawuf bertolak belakang dengan predikat gerakan tajdid yang selama ini disandang. Dalam bidang Muamalah Muhammadiyah telah tampil sebagai teladan gerakan. Kritik pada dikhotomi pendidikan diikuti dengan pendirian sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran agama dan pengetahuan umum sekaligus, kritik pada ketidakberdayaan umat dalam bidang kesehetan dan kesejahteraan diikuti dengan pendirian PKO dan panti-panti asuhan. Lalu mengapa kritik terhadap praktik spiritualitas yang berbau TBC (Tachayul-Bid’ah-Churafat) tidak diikuti dengan penyediaan saluran alternatif yang bernuansa olah spiritual namun secara syariah diterima?

Menurut hemat saya, keengganan Muhammadiyah menyediakan guidance dan saluran tasawuf bagi warganya di tengah pasar spiritualitas modern yang terus menguat akhir-akhir ini sama dengan membiarkan warganya untuk ”memulung” praktik olah batin dan rasa dari pasar global spiritualitas yang keontetikannya masih samar-samar. Coba tanya di sekitar anda, berapa banyak warga Muhammadiyah yang gandrung dengan lagu-lagu religius karya Hadad Alwi dan Opick, aktif mengikuti zikir masal, zikir penyembuhan, wisata religius, Yoga, Reiki, ESQ training, Pelatihan Sholat Khusuk, dan kegiatan olah spiritual sejenis baik dengan alasan mencari ketenangan, rezeki lancar, maupun kesehatan?

Ketidakpedualian Muhammadiyah pada isu-isu spiritualitas secara serius ini juga mengokohkan watak puritanismenya. Padahal, sebagaimana sejarah yang tejadi di berbagai gerakan keagamaan, kelompok puritan cenderung gagal menjadi mainstream. Akankah Muhammadiyah terus mengabaikan hasrat warganya terhadap dimensi spiritual ini? Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment