Sunday, April 4, 2010

Dawam dan Citra Muhammadiyah Yang Hilang

Islamlib.com, 29/01/2006
Oleh Luthfi Assyaukanie

Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Benar bahwa ada sebagian pemimpin organisasi ini yang cukup progresif dan liberal, seperti Ahmad Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, dan Amien Abdullah, tapi keberadaan mereka tertutupi dengan banyaknya kaum puritan non-liberal yang menguasai cabang-cabang dan ranting-ranting.

Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Sebagian orang menganggap bahwa radikalisasi --atau puritanisasi-- dalam Muhammadiyah terjadi sejak Dien Syamsuddin memimpin organisasi Islam terbesar kedua setelah NU itu. Tapi ada yang mengatakan bahwa naiknya Dien justru merupakan konsekwensi dari kecenderungan puritanis dalam Muhammadiyah belakangan ini. Dien hanyalah seorang “pemanfaat” situasi yang kebetulan disukai oleh kaum puritanis itu.

Saya lebih cenderung pada pendapat kedua. Dien yang saya kenal, bukanlah seorang yang kaku dan radikal dalam menyikapi sesuatu. Sebaliknya, dia adalah seorang yang lentur, jenius dalam berpolitik, dan pandai mengambil manfaat dan kesempatan. Kita tahu, Dien adalah seoang lulusan IAIN yang belajar di Barat. Ia mengambil kajian pemikiran politik, pernah menjabat sebagai pengurus Golkar, pernah dekat dengan kelompok tentara dan Prabowo, pernah menjadi Dirjen tenaga kerja, dan menjadi pengurus ICMI. Dien bukanlah tipikal orang “radikal” seperti Abu Bakar Baashir atau Habib Rizieq Shihab. Tapi, Dien adalah seorang pemanfaat yang baik dan cerdas.

Dengan demikian, Muhammadiyah menjadi semakin puritan jelas bukan karena Dien, tapi karena massa mayoritas organisasi itu menghendaki dan mewarnainya demikian. Saya masih ingat ketika mendapat undangan berbicara di depan ratusan pemimpin cabang Muhammadiyah beberapa tahun lalu. Aura puritanisme jelas sekali memancar dalam ruang diskusi yang kurang bersahabat pada apa yang saya lontarkan. Padahal, ketika itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, meruapakan seorang ulama dan intelektual yang cukup toleran dan terbuka dengan perkembangan pemikiran Islam.

Muhammadiyah memang sedang mengalami kemunduran serius. Bukan karena masuknya Dien Syamsuddin, tapi karena semangat puritan yang diusung oleh para pemimpinnya, khususnya di tingkat-tingkat cabang. Benar bahwa ada sebagian pemimpin organisasi ini yang cukup progresif dan liberal, seperti Ahmad Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, dan Amien Abdullah, tapi keberadaan mereka tertutupi dengan banyaknya kaum puritan non-liberal yang menguasai cabang-cabang dan ranting-ranting.

Demokrasi adalah resep yang buruk buat sebuah masyarakat yang tak liberal. Apa yang berlaku dalam Muhammadiyah jelas merefleksikan kaedah ini. Pemilihan ketua Muhammadiyah tahun lalu akhirnya menghasilkan apa yang oleh Fareed Zakaria disebut “illiberal democracy.” Pemilihan proseduralnya sendiri dilakukan secara demokratis, tapi elemen-elemen yang terlibat dalam pemilihan itu, sebagain besar adalah orang-orang yang tak-liberal.

Perkembangan mutakhir Muhammadiyah memang cukup mengkhawatirkan. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi reformis yang memiliki misi pembaruan pemikiran keagamaan. Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, ketika semangat pembaruan keagamaan mendominasi hampir seluruh gerakan kebangkitan Islam.

Gerakan kebangkitan Islam, pada mulanya bersifat reformis, dalam pengertian bahwa ia mengusung ide-ide pembaruan keagamaan. Sejarah kebangkitan Islam di Indonesia bermula dari Minangkabau, ketika para intelektual muslim yang belajar di Mekah dan Cairo kembali ke kampung halaman mereka dan menyebarkan semangat dan gagasan-gagasan reformasi Islam. Di Sumatra, penyebaran semangat dan gagasan itu dilakukan lewat sekolah-sekolah seperti Adabiyah, Surau Jembatan Besi, dan Thawalib, sementara di Jawa, dilakukan lewat organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Jami’at Khayr, dan al-Irsyad.

Corak dan karakter pemikiran keagamaan Muhammadiyah, pada mulanya bersifat pembaruan (reformis). Karena corak dan karakter inilah, Muhammadiyah dengan cepat menyebar dan dengan mudah dapat diterima di Sumatera Barat. Bahkan Sumatera Barat sampai kini menjadi wilayah terbesar pengikut Muhammadiyah di luar Jawa.

Sejarah Muhammadiyah selalu mengalami pasang-surut. Pada awal tahun 1970-an, organisasi ini memainkan peran cukup penting dalam membantu pemerintah melancarkan proyek modernisasi dan pembangunan. Generasi muda Muhammadiyah pada saat itu juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya. Diskusi-diskusi pemikiran di kalangan anak-anak muda Muhammadiyah tumbuh subur. Salah satu gerakan penting pembaruan Islam tahun 1970-an adalah “Limited Group” sebuah kelompok diskusi yang dimotori, salah satunya, oleh Dawam Rahardjo.

Peran Dawam Rahardjo sangat besar dalam meneruskan cita-cita pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Sama seperti Nurcholish Madjid di Jakarta, Dawam melakukan pembaruan Islam dari Yogyakarta. Bagi orang-orang di luar Muhammadiyah, Dawam merupakan tokoh yang menetralkan citra Muhammadiyah dari kecenderungan puritannya. Karena itu, saya menganggap sebuah kebodohan dan kesalahan besar telah dilakukan para pengurus Muhammadiyah yang dengan semena-mena telah memecatnya. []

Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/dawam-dan-citra-muhammadiyah-yang-hilang/

No comments:

Post a Comment