Ahmad Najib Burhani*
Pada survey yang diadakan oleh LSI (Lingkaran Survey
Indonesia) pada 1-9 Mei 2014 diperoleh informasi bahwa warga Muhammadiyah yang
sudah memutuskan untuk memilih pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto- Hatta
Rajasa (PS-HR) lebih besar (31,57%) daripada pemilih pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla (JKW-JK) (27,44%). Namun demikian, angka yang lebih besar (40,99%) dari
warga organisasi modernis terbesar di Indonesia ini masih merupakan swing voters alias belum menentukan
pilihan hingga saat survey dilakukan.
Polarisasi suara Muhammadiyah itu semakin kentara bila
dilihat dari aksi dukung-mendukung yang dilakukan oleh aktivis organisasi ini. Sebagian
aktivis, seperti M. Amien Rais (mantan ketua umum) dan Saleh Daulay (ketua umum
Pemuda Muhammadiyah), menegaskan kepada publik bahwa mereka mendukung pasangan nomor
satu. Sebagian warga Muhammadiyah yang mendukung koalisi Indonesia Raya atau
koalisi Merah-Putih itu bahkan mendeklarasikan dukungan dalam wadah yang
bernama Surya Madani Indonesia (SMI).
Pendirian SMI itu sebetulnya merupakan reaksi terhadap
kelompok serupa yang didirikan oleh warga Muhammadiyah untuk mendukung JKW-JK,
yaitu Relawan Matahari Indonesia (RMI). Wadah RMI ini didirikan diantaranya
oleh Izzul Muslimin (mantan ketua umum Pemuda Muhammadiyah) dan Abd Rohim
Ghazali (mantan sekjen Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Selain mereka yang
tergabung dalam RMI, dukungan terhadap koalisi JKWI-JK juga datang dari
tokoh-tokoh senior Muhammadiyah seperti Ahmad Syafii Maarif (mantan ketua umum),
Abdul Munir Mulkhan, dan Rizal Sukma (Direktur Eksekutif CSIS dan pengurus PP
Muhammadiyah).
Pertanyaannya, mengapa suara Muhammadiyah terbelah begitu
tajam? Sebetulnya Muhammadiyah sebagai organisasi sudah memiliki posisi yang
jelas, yaitu memilih untuk bersikap netral. Keputusan ini bahkan secara resmi
telah tertuang dalam Maklumat Kebangsaan
Menghadapi Pemilihan Presiden 2014 yang dikeluarkan Muhammadiyah pada
Tanwir di Samarinda 23-25 Mei lalu. Dalam Maklumat itu Muhammadiyah memberi
kebebasan kepada anggotanya untuk memilih pasangan capres/cawapres yang
memenuhi tujuh kriteria, yaitu: relijius, negarawan, decisive, mampu mengelola negara dengan baik, mampu menjaga
kewibawaan dan kedaulatan negara, strategic,
dan committed. Netralitas itu
merupakan sikap politik yang dipegang secara konsisten oleh Muhammadiyah sejak
lama. Bahkan ketika salah satu kader dan mantan ketua umumnya, yaitu M. Amien
Rais, maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2004, Muhammadiyah secara resmi
tetap memilih menjaga sikap netral ini.
Sebagai sebuah prinsip, sikap netral Muhammadiyah itu
sebetulnya memiliki terjemahan dan penerapan yang beragam. Pada masa Orde Baru dan
ketika Muhammadiyah dipimpin Amien Rais (1995-1998), netralitas itu ditekankan
pada slogan “high politics” atau politik adiluhung. Artinya, keterlibatan
Muhammadiyah dalam politik lebih ditekankan pada keberpihakan terhadap
nilai-nilai moral dan sosial serta menghindarkan diri dari upaya memobilisasi
masa untuk mendukung partai tertentu atau figur tertentu atau untuk mengejar
jabatan dan posisi tertentu di pemerintahan.
Ketika Muhammadiyah dipimpin oleh Syafii Maarif (1999-2005),
pilihan terhadap “high politics” ini tetap menjadi suara resmi organisasi. Namun
bahasa slogan yang lebih sering dipakai adalah “menjaga jarak yang sama” ke
semua partai dan aktor politik. Pada masa kepemimpinan M. Din Syamsuddin
(2005-2015), prinsip netralitas itu juga menjadi pilihan resmi meski ia
menggunakan strategi dan slogan yang berbeda dari Syafii Maarif, yaitu “menjaga
kedekatan yang sama” dengan semua partai politik. Ketika Joko Widodo datang ke
kantor Pusat Muhammadiyah di Menteng, dia diberi kesempatan oleh Din Syamsuddin
untuk mengimami shalat Dzuhur berjamaah yang secara simbolis kadang dimaknai
sebagai dukungan terhadap pencalonan Joko Widodo. Hal yang sama diberikan
kepada Prabowo ketika datang ke Muhammadiyah. Din Syamsuddin, misalnya,
mencerikan bagaimana dulu dia dan teman-temannya biasa memanggil Prabowo
sebagai Umar. Sebutan yang mengacu kepada Umar bin Khattab (khalifah kedua
dalam Islam) dan Umar bin Abdul Aziz (khalifah terkenal dari Dinasti Umayyah)
ini dipakai untuk menunjukkan keberanian Prabowo membela Islam.
Jika suara resmi Muhammadiyah adalah netral, mengapa survey
di atas menunjukkan bahwa warga ormas ini yang cenderung memilih pasangan PS-HR
lebih besar dari mereka yang cenderung bergabung ke barisan JKW-JK? Ada
beberapa penjelasan terhadap pertanyaan ini, diantaranya adalah faktor PAN
(Partai Amanat Nasional).
Meski secara resmi PAN bukanlah partainya Muhammadiyah,
namun organisasi inilah yang banyak berperan dalam membidani kelahiran PAN. Tak
bisa dipungkiri bahwa logo dari PAN memiliki kedekatan dengan logo
Muhammadiyah. Di samping itu, banyak aktivis dan warga Muhammadiyah yang
menjadi anggota DPR (Dewan Perwakitan Rakyat) dari partai ini atau menjadi
pengurus partai ini. Dibandingkan dengan jumlah warga Muhammadiyah di partai
lain, maka tentu jumlah warga Muhammadiyah di PAN jauh lebih besar. Terlebih
lagi ada upaya dari PAN untuk kembali mengambil hati warga Muhammadiyah
terutama setelah PMB (Partai Matahari Bangsa) yang didirikan oleh aktivis muda
Muhammadiyah tak mampu melewati electoral
threshold pada pemilu 2009 yang lalu.
Ketika PAN memberikan dukungan resmi kepada Prabowo sebagai
capres dan ditambah lagi cawapresnya adalah Hatta Rajasa yang merupakan Ketua
Umum PAN, maka tak heran jika banyak warga Muhammadiyah yang menjatuhkan
pilihannya pada pasangan PS-HR. Tentu saja ada faktor lain, seperti ideologi
(kedekatan dengan partai-partai Islam lain), yang mempengaruhi pilihan warga
Muhammadiyah. Namun faktor yang paling menentukan sepertinya adalah faktor PAN.
--oo0oo—
No comments:
Post a Comment