Tuesday, July 1, 2014

10 Tahun Maarif Institute: ‘For Culture and Humanity’ atau ‘For Morality and Humanity’?


Oleh Ahmad Najib Burhani

Banyak orang yang telah berjasa bagi keberadaan Maarif Institute selama satu dekade ini. Namun menurut saya dua nama harus diberikan kredit pertama kali. Mereka adalah Buya Ahmad Syafii Maarif dan Kang Moeslim Abdurrahman.

Untuk Buya, selain namanya dipakai sebagai nama dari institusi ini, yang lebih penting lagi adalah visi perjuangannya yang dipakai sebagai motto dari Maarif Institute, yaitu ‘For Culture and Humanity’. Namun demikian, menurut saya, motto ini agak terlalu lebar dan umum untuk menggambarkan visi hidup dan perjuangan Buya. Orang akan bertanya-tanya, “Kultur seperti apakah yang diusung oleh Maarif Institute?” Pertanyaan ini tak akan ditemukan jawabannya dengan melihat melihat motto itu.

Motto yang lebih pas bagi Maarif Institute barangkali bukan ‘For Culture and Humanity’, tapi ‘For Morality and Humanity’. ‘Morality’ dan ‘humanity’ adalah dua kata kunci jika orang hendak membaca atau mempelajari sosok yang bernama Ahmad Syafii Maarif. Persoalan moralitas yang menjadi perhatian Buya sepanjang hidupnya dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: 1) moralitas bernegara, 2) moralitas dalam pergaulan antar-umat beragama atau antar umat yang memiliki keyakinan dan identitas berbeda, dan 3) moralitas dalam pergaulan dengan mereka yang memiliki agama dan keyakinan yang sama.

Untuk moralitas bernegara, Buya Syafii selalu kritis terhadap ketimpangan moralitas para penguasa seperti terlihat pada budaya korupsi dan perlombaan untuk hidup bermewah-mewah bagi sebagian pejabat. Buya mengistilahkan mentalitas pejabat kita sebagai mentalitas ikan lele, dimana semakin kotor dan keruh tempat mereka hidup, mereka justru semakin senang. Budaya korupsi ini telah membuat mereka ‘rabun ayam’ atau hanya memiliki visi yang pendek, sekadar bagaimana menjadi kaya dan terkenal secara cepat. Mereka tidak bisa melihat jauh ke depan dan membawa bangsa ini ke arah yang jelas.

Untuk moralitas antar-agama, Buya selalu menekankan bahwa visi agama adalah untuk rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, prinsip moral dalam bergaul dengan orang yang berbeda agama adalah saling menyayangi dan berlomba dalam kebaikan. Buya menganggap non-Muslim yang berjuang demi keadilan dan kemanusiaan lebih sebagai saudaranya daripada sesama Muslim yang menindas umat manusia. Masih dalam kategori moralitas antar-agama, Buya melihat pemaksaan agama, baik secara langsung maupun melalui konstitusi, seperti pemaksaan Piagam Jakarta, sebagai pelanggaran moralitas dalam pergaulan antar agama.

Untuk moralitas sesama Muslim, Buya selalu melawan penggunaan agama untuk premanisme atau yang diistilahkannya sebagai ‘preman berjubah’. Buya selalu menekankan prinsip ukhuwah dan tawadu’ dalam bergaul antara sesama umat Islam; bahwa masing-masing kelompok tidak boleh dengan mudah menuduh umat Islam lain sebagai kafir, murtad, dan musyrik. Pendeknya, bagi Buya moralitas bukanlah semata persoalan cara berpakaian dan pornografi, tapi lebih pada moralitas yang lebih besar, yakni bagaimana hidup bernegara, beragama, dan bermasyarakat.

Sementara untuk prinsip ‘humanity’, Buya Syafii sering mengutip surat Al-Ma‘un. Buya tidak memakna humanity semata dalam konteks charity, tapi lebih sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Buya menjelaskan bahwa perbedaan antara tauhid dan polytheisme terletak bukan sekadar pada persoalan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi lebih penting dari itu tauhid harus dibuktikan sebagai alat perlawanan terhadap eksploitasi, keserakahan, dan ketidakadilan. Semua tindakan buruk ini, bagi Buya, adalah wujud daripada kemusyrikan kepada Tuhan. Dalam berbagai ceramah, tulisan, dan aktivitasnya, Buya berkali-kali menegaskan perlawanannya terhadap penindasan TKW (Tenaga Kerja Wanita), kebohongan-kebohongan yang dilakukan pemerintah, dan juga gaya hidup bermewah-mewah sebagian orang sementara sebagian besar penduduk negeri ini hidup dalam kelaparan.

Kehadiran Kang Moeslim atau lebih tepatnya misi yang diembang Kang Moeslim ketika memimpin Maarif Institute lebih ditekankan pada upaya mengejawantahkan prinsip ‘humanity’ tersebut. Namun sebetulnya ada perbedaan pola antara Buya Syafii dan Kang Moeslim dalam mengimplementasikan prinsip ‘humanity’ atau ‘al-Ma‘un’ ini. Kang Moeslim cenderung ke arah Marxist dan menerapkan strategi ala NGO dalam melawan penindasan terhadap orang miskin, buruh, tani, dan nelayan. Kang Moeslim selalu berpikir tentang struktur kemiskinan, kelas dan dosa sosial, matrix penindasan, dan seterusnya. Karena itu, untuk melawannya, Kang Moeslim perlu membentuk jaringan, menciptakan discourse, dan mencoba mengubah atau menguasai struktur. Itulah saya kira salah satu alasan mengapa ia mendirikan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) pada tahun 2003. Kang Moeslim berharap dengan JIMM ini prinsip ‘humanity’ bisa terlaksana dengan terciptanya jaringan, discourse, dan struktur. Peran Buya dalam proyek ini, sebagaimana yang diharapkan Kang Moeslim, adalah sebagai teolog dan idolog Al-Ma’un. Dan memang itulah yang dilakukan Buya selama ini karena beliau lebih sebagai pemikir dan ulama, daripada sebagai orang lapangan.

Kalau dilihat dari konteks sejarah, apa yang dicanangkan oleh kombinasi Buya dan Kang Moeslim itu adalah suatu strategi baru dalam penerjemahan dan pengamalan Al-Ma’un. Setidaknya ada dua pola penerapan Al-Ma’un dalam sejarah Muhammadiyah. Yang pertama adalah gaya Ahmad Dahlan yang mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan (schooling, healing, dan feeding). Yang kedua adalah pola yang diterapkan oleh Abdul Mukti Ali dengan masuk ke pemerintah dan bergabung dengan proyek developmentalisme atau pembangunan pada tahun 1970-an. Dalam pola kedua ini, pemberantasan kemiskinan diantaranya dilakukan dengan proyek KB (Keluarga Berencana) dan memaknai agama yang bisa mendukung perkembangan ekonomi. Berbeda dari kedua pola itu, apa yang dilakukan Kang Moeslim ditujukan kepada mereka yang selama ini terpinggirkan secara sosial atau people of subordination seperti para buruh, tani, dan juga pekerja seks. Caranya adalah melalui tiga metode tersebut di atas; jaringan, discourse, dan struktur.

No comments:

Post a Comment