Oleh Ahmad Najib
Burhani
Banyak orang yang
telah berjasa bagi keberadaan Maarif Institute selama satu dekade ini. Namun
menurut saya dua nama harus diberikan kredit pertama kali. Mereka adalah Buya
Ahmad Syafii Maarif dan Kang Moeslim Abdurrahman.
Untuk Buya, selain namanya dipakai sebagai nama dari
institusi ini, yang lebih penting lagi adalah visi perjuangannya yang dipakai
sebagai motto dari Maarif Institute, yaitu ‘For Culture and Humanity’. Namun
demikian, menurut saya, motto ini agak terlalu lebar dan umum untuk
menggambarkan visi hidup dan perjuangan Buya. Orang akan bertanya-tanya,
“Kultur seperti apakah yang diusung oleh Maarif Institute?” Pertanyaan ini tak akan
ditemukan jawabannya dengan melihat melihat motto itu.
Motto yang lebih pas bagi Maarif Institute barangkali bukan
‘For Culture and Humanity’, tapi ‘For Morality and Humanity’. ‘Morality’ dan
‘humanity’ adalah dua kata kunci jika orang hendak membaca atau mempelajari
sosok yang bernama Ahmad Syafii Maarif. Persoalan moralitas yang menjadi
perhatian Buya sepanjang hidupnya dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: 1)
moralitas bernegara, 2) moralitas dalam pergaulan antar-umat beragama atau
antar umat yang memiliki keyakinan dan identitas berbeda, dan 3) moralitas
dalam pergaulan dengan mereka yang memiliki agama dan keyakinan yang sama.
Untuk moralitas bernegara, Buya Syafii selalu kritis
terhadap ketimpangan moralitas para penguasa seperti terlihat pada budaya
korupsi dan perlombaan untuk hidup bermewah-mewah bagi sebagian pejabat. Buya mengistilahkan mentalitas pejabat
kita sebagai mentalitas ikan lele, dimana semakin kotor dan keruh tempat mereka
hidup, mereka justru semakin senang. Budaya korupsi ini telah membuat mereka
‘rabun ayam’ atau hanya memiliki visi yang pendek, sekadar bagaimana menjadi
kaya dan terkenal secara cepat. Mereka tidak bisa melihat jauh ke depan dan
membawa bangsa ini ke arah yang jelas.
Untuk moralitas antar-agama, Buya selalu menekankan bahwa
visi agama adalah untuk rahmatan lil
‘alamin. Karena itu, prinsip moral dalam bergaul dengan orang yang berbeda
agama adalah saling menyayangi dan berlomba dalam kebaikan. Buya menganggap
non-Muslim yang berjuang demi keadilan dan kemanusiaan lebih sebagai saudaranya
daripada sesama Muslim yang menindas umat manusia. Masih dalam kategori
moralitas antar-agama, Buya melihat pemaksaan agama, baik secara langsung
maupun melalui konstitusi, seperti pemaksaan Piagam Jakarta, sebagai
pelanggaran moralitas dalam pergaulan antar agama.
Untuk moralitas sesama Muslim, Buya selalu melawan
penggunaan agama untuk premanisme atau yang diistilahkannya sebagai ‘preman
berjubah’. Buya selalu menekankan prinsip ukhuwah dan tawadu’ dalam bergaul
antara sesama umat Islam; bahwa masing-masing kelompok tidak boleh dengan mudah
menuduh umat Islam lain sebagai kafir, murtad, dan musyrik. Pendeknya, bagi
Buya moralitas bukanlah semata persoalan cara berpakaian dan pornografi, tapi
lebih pada moralitas yang lebih besar, yakni bagaimana hidup bernegara,
beragama, dan bermasyarakat.
Sementara untuk prinsip ‘humanity’, Buya Syafii sering
mengutip surat Al-Ma‘un. Buya tidak memakna humanity semata dalam konteks charity, tapi lebih sebagai perlawanan
terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Buya menjelaskan bahwa perbedaan
antara tauhid dan polytheisme terletak bukan sekadar pada persoalan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi lebih penting dari itu tauhid harus dibuktikan
sebagai alat perlawanan terhadap eksploitasi, keserakahan, dan ketidakadilan.
Semua tindakan buruk ini, bagi Buya, adalah wujud daripada kemusyrikan kepada
Tuhan. Dalam berbagai ceramah, tulisan, dan aktivitasnya, Buya berkali-kali
menegaskan perlawanannya terhadap penindasan TKW (Tenaga Kerja Wanita), kebohongan-kebohongan
yang dilakukan pemerintah, dan juga gaya hidup bermewah-mewah sebagian orang
sementara sebagian besar penduduk negeri ini hidup dalam kelaparan.
Kehadiran Kang Moeslim atau lebih tepatnya misi yang
diembang Kang Moeslim ketika memimpin Maarif Institute lebih ditekankan pada
upaya mengejawantahkan prinsip ‘humanity’ tersebut. Namun sebetulnya ada perbedaan pola antara Buya
Syafii dan Kang Moeslim dalam mengimplementasikan prinsip ‘humanity’ atau
‘al-Ma‘un’ ini. Kang Moeslim cenderung ke arah Marxist dan menerapkan strategi
ala NGO dalam melawan penindasan terhadap orang miskin, buruh, tani, dan
nelayan. Kang Moeslim selalu berpikir tentang struktur kemiskinan, kelas dan
dosa sosial, matrix penindasan, dan seterusnya. Karena itu, untuk melawannya,
Kang Moeslim perlu membentuk jaringan, menciptakan discourse, dan mencoba
mengubah atau menguasai struktur. Itulah saya kira salah satu alasan mengapa ia
mendirikan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) pada tahun 2003. Kang
Moeslim berharap dengan JIMM ini prinsip ‘humanity’ bisa terlaksana dengan
terciptanya jaringan, discourse, dan struktur. Peran Buya dalam proyek ini,
sebagaimana yang diharapkan Kang Moeslim, adalah sebagai teolog dan idolog
Al-Ma’un. Dan memang itulah yang dilakukan Buya selama ini karena beliau lebih
sebagai pemikir dan ulama, daripada sebagai orang lapangan.
Kalau dilihat
dari konteks sejarah, apa yang dicanangkan oleh kombinasi Buya dan Kang Moeslim
itu adalah suatu strategi baru dalam penerjemahan dan pengamalan Al-Ma’un.
Setidaknya ada dua pola penerapan Al-Ma’un dalam sejarah Muhammadiyah. Yang
pertama adalah gaya Ahmad Dahlan yang mendirikan sekolah, rumah sakit, dan
panti asuhan (schooling, healing, dan
feeding). Yang kedua adalah pola yang
diterapkan oleh Abdul Mukti Ali dengan masuk ke pemerintah dan bergabung dengan
proyek developmentalisme atau pembangunan pada tahun 1970-an. Dalam pola kedua
ini, pemberantasan kemiskinan diantaranya dilakukan dengan proyek KB (Keluarga
Berencana) dan memaknai agama yang bisa mendukung perkembangan ekonomi. Berbeda
dari kedua pola itu, apa yang dilakukan Kang Moeslim ditujukan kepada mereka
yang selama ini terpinggirkan secara sosial atau people of subordination seperti para buruh, tani, dan juga pekerja
seks. Caranya adalah melalui tiga metode tersebut di atas; jaringan, discourse,
dan struktur.
No comments:
Post a Comment