Koran Sindo, 2 Juli 2014, hal. 7
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Pada
18 Juni yang lalu, pemerintah kota Surabaya secara resmi menutup dua lokalisasi
terbesar di kota itu, yaitu Dolly dan Jarak. Penutupan ini sebetulnya merupakan
rangkaian terakhir dari proses penutupan seluruh lokalisasi di Surabaya yang
sudah dimulai sejak Desember 2012. Berbeda dari dari proses penutupan
lokalisasi di Dupak Bangunsari (Desember 2012), Tambak Asri (April 2013),
Klakah Rejo (Agustus 2013), dan Sememi (Desember 2013) yang tak mengundang
banyak liputan media, penutupan Dolly dan Jarak mengundang reaksi pro dan
kontra cukup sengit di masyarakat dan mendapatkan liputan media yang cukup
banyak.
Penentangan
terhadap keberadaan lokalisasi itu telah lama dan sudah sering disuarakan
berbagai elemen masyarakat, terutama ormas keagamaan. Namun penutupan itu baru
bisa terjadi setelah walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang kebetulan dari
PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) bergerak langsung. Alasan
penutupan yang sering dikemukakan adalah kesehatan (penyebaran HIV/AIDS),
moralitas (merusak masa depan anak dan keluarga), dan ekonomi (pengembangan
industri dan kota). Kritik terhadap penutupan ini berkisar pada terciptanya
prostitusi liar di luar lokalisasi dan menjamurnya prostitusi elit di
hotel-hotel. Alasan lainnya mengacu pada hak bekerja orang yang selama ini
mendapatkan nafkah dari keberadan lokalisasi, terutama karena penutupan itu dianggap
mematikan industri seks rakyat dan mendukung industri seks kaum kapitalis.
Tulisan
ini tidak menyoroti tentang kontroversi penutupan lokalisasi dan peran
pemerintah dalam penutupan. Kemampuan dan wewenang penutupan secara resmi memang
hanya dimiliki dan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Namun banyak proses
lain selama penutupan dan pasca penutupan yang tak bisa dilakukan sendiri oleh
pemerintah. Karena itu, tulisan ini ingin melihat beberapa proses kultural yang
dilakukan pihak swasta, dalam hal ini Muhammadiyah, dalam kaitannya dengan
penanganan para PSK (Pekerja Seks Komersial) dan mantan PSK. Ini adalah isu
yang jarang mendapat liputan media dan ini adalah medan yang seringkali
pemerintah merasa kuwalahan.
Salah
satu identitas yang melekat pada Muhammadiyah selama ini adalah sebagai gerakan
yang cukup giat memberantas TBC (Takhyyul, Bid’ah, dan Churafat). Diantara
beberapa praktek keagamaan yang berkaitan dengan TBC adalah praktek-praktek
keagamaan lokal yang tidak memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Hadist
seperti slametan, ziarah kubur, dan tawasul.
Pemahaman
seperti itu memang masih dipraktekkan oleh beberapa pengikut Muhammadiyah di
beberapa daerah. Namun berbeda daerah lain, Muhammadiyah di Surabaya memiliki
terjemahan dan penerapan yang unik terhadap doktrin purifikasi TBC. Gerakan
purifikasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah Surabaya, terutama cabang Krembangan,
lebih ditujukan pada purifikasi moral dan sistem sosial yang berupa
praktek-praktek prostitusi.
Upaya
yang dilakukan Muhammadiyah dalam penanganan, pembinaan dan pendampingan PSK
dan mantan PSK sudah berlangsung sejak 2004 dengan dipelopori oleh ketua
Muhammadiyah Krembangan, Arif An. Diantara program yang sudah dijalankan adalah
berupa pemberian modal usaha cuci baju, warung kopi, toko kelontong; pemberian
ketrampilan pembuatan keset dan menjahit; pelatihan mengaji dan pendidikan bagi
anak-anak PSK; dan perawatan kesehatan. Ada sekitar 25 orang PSK yang saat ini menjadi
binaan Muhammadiyah.
Purifikasi
dalam bentuk penanganan PSK adalah sesuatu yang kurang lazim bahkan di Muhammadiyah
sendiri dan pada awalnya mendapat tantangan yang cukup berat dari dalam
Muhammadiyah dan juga masyarakat luar, termasuk PSK dan para pendukungnya. Dalam
proses pembinaan, Arif An, misalnya, bercerita bahwa dia sudah sangat bersyukur
jika PSK binaannya itu bisa berhenti dua bulan saja dari dunia prostitusi. Jika
ada yang bisa bertahan tak kembali ke dunia prostitusi selama satu tahun
padahal dia masih muda, maka itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Tingkat
keberhasilan kuantitatif dalam upaya ini, menurutnya, hanya sekitar 20 persen
saja. Tapi upaya ini barangkali tak bisa sekadar dilihat dari kuantitas, tapi
pada proses yang konsisten itu sendiri.
Beberapa
mantan PSK menceritakan bahwa untuk keluar dari dunia prostitusi itu sangat
berat dan butuh tekat yang kuat. Salah seorang PSK bercerita bahwa suatu hari
temannya menelpon dia dan memberi tahu kalau dia baru mendapat uang banyak
karena pelanggan lagi ramai dan dia mengajaknya untuk melayani tamu-tamu itu.
Bujukan seperti ini membuat mantan PSK mudah kembali ke aktivitas prostitusi
jika dia tak punya niat kuat untuk keluar dari dunia itu.
Apa
yang dilakukan di Krembangan ini pada awalnya bahkan mendapat penentangan dari
Muhammadiyah, terutama dari Aisyiah, sayap perempuan Muhammadiyah. Penentangan
itu diantaranya karena wilayah dakwah ini sangat slippery (licin) yang membuat pelakunya mudah terpeleset dan jatuh.
Alih-alih membantu para PSK keluar dari dunia prostitusi, banyak orang yang
justru masuk terperosok ke dalamnya. Namun sekarang program ini mendapat
dukungan penuh dari Muhammadiyah. Bahkan PCM Krembangan terpilih menjadi PCM
percontohan di organisasi modernis Muslim ini.
Apa
sebetulnya makna purifikasi sosial dalam kaitannya dengan prostitusi? Istilah
purifikasi moral dengan subyek dunia prostitusi ini sebetulnya bukan berasal
dari Muhammadiyah. Istilah ini dipakai oleh Phil Hubbard dalam artikelnya yang
berjudul “Cleansing the metropolis: Sex work and the politics of zero
tolerance”. Artikel itu terbit di jurnal Urban
Stucies, volume 41, nomor 9, halaman 1687-1702. Hubbard mengkaji beberapa
pemerintahan kota, terutama London dan Paris, dalam menangani lokalisasi dengan
menerapkan kebijakan zero tolerance atau
tak ada kompromi bagi lokalisasi. Istilah lengkap yang dipakai oleh Hubbard
adalah “moral cleansing and purification”.
Peran
Muhammadiyah memang tak sama dengan pemerintah kota Surabaya yang memiliki
wewenang mengatur tata kota dan pengembangan ekonomi dengan menutup lokalisasi.
Namun sikap zero tolerance itu juga
ada di Muhammadiyah dan karena itulah organisasi ini menjadi pendukung kuat
upaya penutupan berbagai lokalisasi di Surabaya. Salah satu pengurus
Muhammadiyah Surabaya misalnya, tak mau mengakui prostitusi sebagai profesi dan
karena itu ia tak bersedia menyebut mereka dengan istilah PSK. Ia memilih
memakai istilah lama yang cenderung menghakimi yaitu, WTS (Wanita Tuna Susila).
Cara pandang Muhammadiyah itu sebetulnya sealur dengan MUI (Majelis Ulama
Indonesia) wilayah Surabaya dan juga pemerintah Kota Surabaya. Salah satu juru
bicara pemerintah, misalnya, menyebutkan bahwa prostitusi bukanlah profesi
karena tidak ada pajak dan zakat dalam kegiatan ini. Pada spanduk resmi acara
penutupan lokalisasi Sememi pun istilah yang dipakai adalah WTS, bukan PSK.
Proses
purifikasi moral yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu intinya diwujudkan dalam
beberapa program, diantaranya adalah: Pertama, pendidikan bagi anak-anak PSK di
sekolah Muhammadiyah tanpa ada diskriminasi. Proses ini dimaksudkan agar
anak-anak itu tak meniru orang tuanya atau bahkan mengingatkan orang tuanya
agar berhenti dari dunia prostitusi. Kedua, upaya pembelian wisma (brothel) dan mengalihfungsikannya
menjadi tempat pendidikan atau kegiatan lain. Ketiga, dukungan kepada
pemerintah untuk secara resmi menutup berbagai lokalisasi di Surabaya. Keempat,
pemberian modal usaha dan pelatihan ketrampilan terhadap para PSK dan mantan
PSK sehingga mereka bisa mandiri tanpa harus kembali ke dunia prostitusi.
Selain itu, akan dilakukan pembinaan ruhani sehingga mereka konsisten keluar
dari prostitusi. Kelima, mencoba mempengaruhi pemerintah desa dan pejabat
pemerintah di tingkat bawah untuk mendukung upaya penutupan. Keenam, mencarikan
suami bagi PSK atau mantan PSK sebagai upaya praktis menghentikan praktek
prostitusi.
--oo0oo--
No comments:
Post a Comment