Koran SINDO, Sabtu, 29 Maret 2014
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
PADA 2014 disebut sebagai “tahun politik”. Tahun ini dua perhelatan politik lima tahunan, pemilu legislatif dan pemilihan presiden, akan dilangsungkan.
Lazimnya perhelatan politik, kontestan atau kandidat akan berusaha memperbanyak dan memperlebar sayap dukungan politik. Modusnya pun beragam, dari mulai yang bersifat personal dengan mendatangi tokoh-tokoh tertentu maupun yang bersifat institusional dengan mendatangi ormas-ormas tertentu.
Meskipun posisi Muhammadiyah sangat jelas yaitu sebagai gerakan Islam, da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Alquran dan As-Sunnah (baca Anggaran Dasar Pasal 4 Ayat 1) yang sudah tentu tidak mempunyai keterkaitan dengan kekuatan politik mana pun, faktanya ketika datang “musim politik” selalu saja ada yang berusaha menyeret masuk atau setidaknya mencoba menghimpitkan Muhammadiyah dengan salahsatu kontestan atau kandidat politik tertentu.
Posisi politik Muhammadiyah
Dalam rumusan Khitah Perjuangan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ditegaskan bahwa “Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan memengaruhi prosesdankebijakannegara agar tetap berjalan sesuai konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.
Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.” “Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi mana pun.
Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.”
Rumusan khitah tersebut secara jelas (idzhar) menegaskan tentang posisi politik Muhammadiyah, di mana politik lebih dimaknai sebagai bentuk kegiatan kemasyarakatan yangbersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatankegiatan politik tidak langsung (high politics) yangbersifat memengaruhikebijakannegara dengan perjuangan moral (moral force).
Istikamah berkhitah dan kasus “Imam Salat”
Rumusan khitah di atas membawa konsekuensi pada keharusan sikap dan posisi politik Muhammadiyah untuk tetap istikamah dan sejalan dengan khitah tersebut. Pengertian istikamah di sini tentu harus dimaknai secara dinamis sejalan perkembangan dan dinamika politik yang terjadi dan langgam kepemimpinan di perserikatan yang tidak selalu sama dalam setiap periode kepemimpinan.
Menelaah kepemimpinan Muhammadiyah pasca-Orde Baru, akan didapati perbedaan langgam kepemimpinan dalam relasinya dengan partai politik. Era Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii, 1998-2005) langgam yang ditampilkan adalah “menjaga jarak yang sama” (keep close) dengan semua partai politik. Sementara di era Din Syamsuddin (Bang Din, 2005-2015) langgam yang ditampilkan adalah“menjaga kedekatan yang sama” (keep distance) dengan semua partai politik.
Dua langgam ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh pribadi Buya Syafii maupun Bang Din. Bila langgam pertama lebih menggambarkan “kekakuan” (rigid) Muhammadiyah dalam menjalin relasi dengan partai politik, langgam kedua lebih menggambarkan relasi yang lebih “lunak” (soft). Buya Syafii adalah sosok pribadi yang sebelumnya tidak pernah berkecimpung sama sekali di dunia politik kepartaian sehingga wajar bila langgam yang ditampilkannya terkesan lebih “kaku”.
Sementara Bang Din sebelum menjadi ketua umum Muhammadiyah sempat aktif di Golkar— saat itu (Orde Baru) masih menyebut dirinya orsospol dan belum menjadi partai politik sehingga wajar pula ketika langgamnya tampak lebih “lunak” dan lebih realistis dalam menjalin relasi dengan partai politik. Konsekuensi dari langgam “menjaga kedekatan yang sama”, Muhammadiyah dituntut untuk benar-benar istikamah menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik, termasuk kandidat-kandidat calon presiden (capres).
Muhammadiyah tidak boleh menunjukkan keberpihakan kepada kandidat tertentu ketika keberpihakan tersebut semata dilandasi kepentingan politik yang bersifat pragmatis misalnya sekadar berharap ada kader Muhammadiyah yang akan dipinang menjadi pasangan capres tertentu. Pragmatisme itu wilayahnya partai politik dan Muhammadiyah itu bukan partai politik sehingga tidak tepat bila Muhammadiyah terperangkap pada politik dukung mendukung yang bersifat pragmatis.
Kalaupun misalnya Muhammadiyah akan mendukung kandidat capres tertentu, cara yang ditempuhnya harus tetap elok. Begitu juga kalau misalnya ada kader Muhammadiyah yang layak dan menjadi “rebutan” beberapa capres, pilihan untuk mendampingi capres tertentu pun harus tetap didasarkan pada nilai-nilai idealitas.
Capres yang akan dipilih bukan hanya karena pertimbangan popularitasnya, melainkan harus mendasarkan pada visinya. Karena acuannya adalah khitah dan nilai-nilai idealitas politik, menjadi kurang elok ketika misalnya Muhammadiyah menerima capres tertentu dan memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk menjadi imam salat( meskipun hanya imam salat zuhur yang bacaan imamnya sirri).
Merujuk pada kebiasaan Rasul Muhammad saat sakitnya, yang kerap memberikan kesempatan kepada Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam salat, yang kemudian ditafsir oleh umat Islam saat itu sebagai “sinyal dukungan” bahwa estafet kepemimpinan umat Islam pasca-Rasul akan jatuh ke tangan Abu Bakar–– dan dalam perjalanan sejarahnya memang terbukti, pemberian kesempatan untuk menjadi imam salat tentu akan ditafsir sebagai bentuk “sinyal dukungan” yang bersifat simbolik dari Muhammadiyah kepada capres bersangkutan.
Padahal bila menengok fikih salat terkait persyaratan ideal untuk menjadi imam salat, tidaklah gampang: harus orang yang paling baik bacaannya (aqra’uhun), orang yang paling wara’ atau mampu menjaga diri dari hal yang bersifat syubhat sekalipun, dan orang yang paling tua usianya. Bagi Abu Bakar, untuk memenuhi persyaratan tersebut tentu bukanlah sesuatu yang sulit.
Kasus “imam salat” ini sedikitnya telah mencederai posisi politik Muhammadiyah. Secara simbolik, kasus “imam salat” ini juga bisa ditafsir sebagai bentuk kegenitan atau keinginan dari Muhammadiyah untuk mengambil peran-peran politik yang bersifat praktis dan pragmatis.
Kalau Muhammadiyah sampai jatuh pada kubangan pragmatisme politik, lantas apa bedanya dengan partai politik. Tentu ini kemunduran, untuk tidak mengatakan kemerosotan Muhammadiyah dalam berpolitik. Wallahualam.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
http://nasional.sindonews.com/read/2014/03/29/18/848783/muhammadiyah-dan-pilpres-2014
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
PADA 2014 disebut sebagai “tahun politik”. Tahun ini dua perhelatan politik lima tahunan, pemilu legislatif dan pemilihan presiden, akan dilangsungkan.
Lazimnya perhelatan politik, kontestan atau kandidat akan berusaha memperbanyak dan memperlebar sayap dukungan politik. Modusnya pun beragam, dari mulai yang bersifat personal dengan mendatangi tokoh-tokoh tertentu maupun yang bersifat institusional dengan mendatangi ormas-ormas tertentu.
Meskipun posisi Muhammadiyah sangat jelas yaitu sebagai gerakan Islam, da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Alquran dan As-Sunnah (baca Anggaran Dasar Pasal 4 Ayat 1) yang sudah tentu tidak mempunyai keterkaitan dengan kekuatan politik mana pun, faktanya ketika datang “musim politik” selalu saja ada yang berusaha menyeret masuk atau setidaknya mencoba menghimpitkan Muhammadiyah dengan salahsatu kontestan atau kandidat politik tertentu.
Posisi politik Muhammadiyah
Dalam rumusan Khitah Perjuangan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ditegaskan bahwa “Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan memengaruhi prosesdankebijakannegara agar tetap berjalan sesuai konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.
Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.” “Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi mana pun.
Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.”
Rumusan khitah tersebut secara jelas (idzhar) menegaskan tentang posisi politik Muhammadiyah, di mana politik lebih dimaknai sebagai bentuk kegiatan kemasyarakatan yangbersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatankegiatan politik tidak langsung (high politics) yangbersifat memengaruhikebijakannegara dengan perjuangan moral (moral force).
Istikamah berkhitah dan kasus “Imam Salat”
Rumusan khitah di atas membawa konsekuensi pada keharusan sikap dan posisi politik Muhammadiyah untuk tetap istikamah dan sejalan dengan khitah tersebut. Pengertian istikamah di sini tentu harus dimaknai secara dinamis sejalan perkembangan dan dinamika politik yang terjadi dan langgam kepemimpinan di perserikatan yang tidak selalu sama dalam setiap periode kepemimpinan.
Menelaah kepemimpinan Muhammadiyah pasca-Orde Baru, akan didapati perbedaan langgam kepemimpinan dalam relasinya dengan partai politik. Era Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii, 1998-2005) langgam yang ditampilkan adalah “menjaga jarak yang sama” (keep close) dengan semua partai politik. Sementara di era Din Syamsuddin (Bang Din, 2005-2015) langgam yang ditampilkan adalah“menjaga kedekatan yang sama” (keep distance) dengan semua partai politik.
Dua langgam ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh pribadi Buya Syafii maupun Bang Din. Bila langgam pertama lebih menggambarkan “kekakuan” (rigid) Muhammadiyah dalam menjalin relasi dengan partai politik, langgam kedua lebih menggambarkan relasi yang lebih “lunak” (soft). Buya Syafii adalah sosok pribadi yang sebelumnya tidak pernah berkecimpung sama sekali di dunia politik kepartaian sehingga wajar bila langgam yang ditampilkannya terkesan lebih “kaku”.
Sementara Bang Din sebelum menjadi ketua umum Muhammadiyah sempat aktif di Golkar— saat itu (Orde Baru) masih menyebut dirinya orsospol dan belum menjadi partai politik sehingga wajar pula ketika langgamnya tampak lebih “lunak” dan lebih realistis dalam menjalin relasi dengan partai politik. Konsekuensi dari langgam “menjaga kedekatan yang sama”, Muhammadiyah dituntut untuk benar-benar istikamah menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik, termasuk kandidat-kandidat calon presiden (capres).
Muhammadiyah tidak boleh menunjukkan keberpihakan kepada kandidat tertentu ketika keberpihakan tersebut semata dilandasi kepentingan politik yang bersifat pragmatis misalnya sekadar berharap ada kader Muhammadiyah yang akan dipinang menjadi pasangan capres tertentu. Pragmatisme itu wilayahnya partai politik dan Muhammadiyah itu bukan partai politik sehingga tidak tepat bila Muhammadiyah terperangkap pada politik dukung mendukung yang bersifat pragmatis.
Kalaupun misalnya Muhammadiyah akan mendukung kandidat capres tertentu, cara yang ditempuhnya harus tetap elok. Begitu juga kalau misalnya ada kader Muhammadiyah yang layak dan menjadi “rebutan” beberapa capres, pilihan untuk mendampingi capres tertentu pun harus tetap didasarkan pada nilai-nilai idealitas.
Capres yang akan dipilih bukan hanya karena pertimbangan popularitasnya, melainkan harus mendasarkan pada visinya. Karena acuannya adalah khitah dan nilai-nilai idealitas politik, menjadi kurang elok ketika misalnya Muhammadiyah menerima capres tertentu dan memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk menjadi imam salat( meskipun hanya imam salat zuhur yang bacaan imamnya sirri).
Merujuk pada kebiasaan Rasul Muhammad saat sakitnya, yang kerap memberikan kesempatan kepada Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam salat, yang kemudian ditafsir oleh umat Islam saat itu sebagai “sinyal dukungan” bahwa estafet kepemimpinan umat Islam pasca-Rasul akan jatuh ke tangan Abu Bakar–– dan dalam perjalanan sejarahnya memang terbukti, pemberian kesempatan untuk menjadi imam salat tentu akan ditafsir sebagai bentuk “sinyal dukungan” yang bersifat simbolik dari Muhammadiyah kepada capres bersangkutan.
Padahal bila menengok fikih salat terkait persyaratan ideal untuk menjadi imam salat, tidaklah gampang: harus orang yang paling baik bacaannya (aqra’uhun), orang yang paling wara’ atau mampu menjaga diri dari hal yang bersifat syubhat sekalipun, dan orang yang paling tua usianya. Bagi Abu Bakar, untuk memenuhi persyaratan tersebut tentu bukanlah sesuatu yang sulit.
Kasus “imam salat” ini sedikitnya telah mencederai posisi politik Muhammadiyah. Secara simbolik, kasus “imam salat” ini juga bisa ditafsir sebagai bentuk kegenitan atau keinginan dari Muhammadiyah untuk mengambil peran-peran politik yang bersifat praktis dan pragmatis.
Kalau Muhammadiyah sampai jatuh pada kubangan pragmatisme politik, lantas apa bedanya dengan partai politik. Tentu ini kemunduran, untuk tidak mengatakan kemerosotan Muhammadiyah dalam berpolitik. Wallahualam.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
http://nasional.sindonews.com/read/2014/03/29/18/848783/muhammadiyah-dan-pilpres-2014
No comments:
Post a Comment