Ahmad-Norma Permata ;
Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
(LPCR) PP Muhammadiyah
REPUBLIKA, 26 April 2013
Di tengah karut-marut
dinamika politik dan kekuasaan yang menghiasi media publik, proses
demokratisasi di Indonesia sebenarnya sedang memasuki babak-babak baru
yang penuh harapan. Paling tidak ada dua kasus utama yang menjadi
contoh.
Pertama, amendemen UU No
22/2001 tentang Migas dan penghentian RUU Ormas yang keduanya didesakkan
oleh kelompok civil society, terutama ormas besar Islam, seperti
Muhammadiyah dan NU. Kedua, pengadilan terhadap Irjen Pol Djoko Susilo
dalam kasus korupsi Simulator SIM yang dilakukan oleh KPK.
Dua kasus ini menjadi
indikator proses politik yang melibatkan kepentingan aktor-aktor kakap.
Fakta bahwa kasus ini bisa berproses tanpa dibarengi dengan
insiden-insiden serangan balik dari kekuatan-kekuatan politik yang
dirugikan oleh proses hukum di atas, menunjukkan bahwa aktor-aktor
politik utama sudah mulai menerima mekanisme konstitusional sebagai arena
perebutan kepentingan.
Kesediaan aktor-aktor politik
utama mengikuti aturan main konstitusional memiliki konsekuensi besar
bagi perkembangan demokrasi di negeri ini.
Dalam ranah politik, kekuasaan konstitusionalisme akan menjauhkan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dalam perebutan kepentingan, yang pa da akhirnya hanya akan merugikan ketenteraman dan kehidupan masyarakat.
Sementara dalam hubungan
elite dan massa, impersonalitas interaksi politik akan mendorong elite
untuk memobilisasi dukungan politik melalui layanan-layanan publik yang
bermanfaat untuk umum ketimbang transaksi personal- kliental dengan
kelompok-kelompok tertentu dan politik uang.
Memang proses masih panjang
dan banyak hal harus dilalui, tapi terang sudah terlihat di ujung jalan.
Mengemukanya
konstitusionalisme dalam panggung politik kekuasaan menjadi harapan
sekaligus tantangan baru bagi komponen bangsa Indonesia untuk merumuskan
nilai-nilai kebaikan publik berbasis konstitusi. Selama ini, publik sudah
mengenal istilah `kesalehan sosial'.
Pada tahap sekarang, bangsa
Indonesia sudah waktunya merumuskan sebuah `kesalehan konstitusional',
yaitu etika atau moralisme religius yang berbasis aturan main politik
yang memengaruhi kebaikan kehidupan bersama. Sementara ini istilah
kesalehan konstitusional digunakan untuk mendorong sikap keberagamaan
yang selaras dengan nilai-nilai konstitusi.
Pemahaman seperti ini tidak
tepat karena dalam banyak situasi tafsir konstitusi berada di tangan
penguasa sehingga pemahaman seperti ini berkonotasi ketaatan, ketimbang
kesalehan konstitusional. Kesalehan konstitusional mensyaratkan adanya
kesetaraan posisi antarberbagai komponen politik dalam mengartikan
konstitusi sebagai aturan dasar kehidupan berbangsa.
Dalam tradisi pemikiran
Barat, gagasan ini dekat dengan konsep pemikiran filsuf Prancis JJ
Rousseau tentang agama sipil (civil
religion), yaitu dimensi moralitas dari kehidupan publik sebagai
wujud dari kontrak sosial, yang dilawankan dengan religion of man (agama sebagai ranah personal), religion of community (agama
sebagai identitas komunal), dan religion
of the priests (spiritualitas yang menafikan kepentingan duniawi).
Bagi Rousseau, negara merupakan wujud dari kesepakatan bersama sebuah
bangsa dan merepresentasikan kebaikan bersama.
Dalam perkembangannya,
istilah civil religion ini
ditafsir ulang oleh sosiolog Amerika Robert N Bellah yang memaknai
istilah ini sebagai nurani publik yang menyelaraskan nilai-nilai
moralitas yang berbasis nilai-nilai ketuhanan dengan kebaikan publik yang
berbasis dinamika politik-kekuasaan. Bellah menempatkan konsep civil religion sebagai tahap terakhir
evolusi moralitas-keagamaan.
Dalam khazanah pemikiran
Islam, gagasan kesalehan konstitusional dapat dilacak pada pemikiran
politik Ibnu Taimiyah, yang menekankan kesatuan fungsi dan tugas antara
penguasa (imam dan amir) dan komunitas (ummah, jama'ah) dalam menegakkan
syariah Islam yang sempurna dalam konteks kehidupan masyarakat yang jauh
dari kesempurnaan. Ibnu Taimiyah sendiri menolak gagasan khilafah atau
kekuasaan yang memadukan otoritas politik dan agama. Karena, menurutnya,
hal tersebut hanya terjadi pada zaman Nabi dan empat pelanjutnya (dan karenanya
Ibnu Taimiyah menolak istilah Khulafa Ar-Rasyidun dan memilih Khilafah
an-Nubuwah).
Di masa setelah itu, menurut
Ibnu Taimiyah, tidak ada lagi jaminan kebenaran yang bersifat
transendental dan umat Islam-penguasa maupun masyarakat-harus bekerja secara
resipr kal: Penguasa menegakkan keadilan, ketenteraman, dan kemakmuran
publik, masyarakat menaati aturan dan mengkritik penguasa jika menyimpang
dari aturan. Menariknya, Ibnu Taimiyah memahami konsep keadilan dalam bahasa
objektif dengan kemakmuran (yaitu pemenuhan kebutuhan kehidupan
publik) sebagai indikatornya dan terlepas dari predikat primordial
penguasanya. Penguasa yang adil akan
dilindungi Tuhan meskipun ia non-Muslim dan penguasa lalim tidak akan
mendapat lindungan Tuhan, meskipun ia Muslim.
Dengan demikian, belakangan muncul kajian yang menyamakan logika politiknya dengan gagasan Max Weber tentang Verantwortungsethiek atau etika politik yang diukur dari
hasil dan bukan cara, dan bahkan dengan gagasan kontemporer tentang good governance (Johansen, 2002).
No comments:
Post a Comment