Studia Islamika Volume 17, Number 1, 2010
Title: Praxis and Religious Authority in Islam: The Case of Ahmad Dahlan, Founder of Muhammadiyah
Author: Hyung-Jun Kim
Description
Otoritas tertinggi dalam Islam adalah al-Qur'an dan hadis. Namun pertanyaan akan siapa yang paling otoritatif untuk menafsirkan dua sumber hukum tersebut hingga sekarang terus menjadi perdebatan. Para ahli Islam setidaknya mencatat beberapa sumber otoritas dalam Islam. Pertama, karena sumber utama Islam berbahasa Arab, maka hanya mereka yang paham struktur gramatika, kosakata, semantik, dan retorika bahasa Arab sajalah yang dapat dan sah untuk menafsirkannya.
Kedua, di beberapa daerah, tradisi lokal memiliki peran cukup penting dalam penentuan otoritas keagamaan. Di Afrika dan Asia Tenggara, misalnya, otoritas keagamaan cenderung diberikan kepada seseorang yang memiliki atau menguasai kekuatan gaib tertentu. Sementara di daerah yang memiliki tradisi sufi cukup kuat, otoritas itu diberikan kepada seseorang yang berhasil memperoleh kekeramatan lewat praktik-praktik asketik, atau karena memiliki latar belakang genealogis dengan Nabi.
Ketiga, dalam konteks masyarakat modern, pendidikan dan penerjemahan kitab suci ke beberapa bahasa rupanya menjadikan konsep tentang otoritas dalam Islam mengalami perubahan yang cukup signi kan. Di masa ini, kapabilitas seseorang dalam menafsirkan urusan duniawi ke dalam istilah-istilah yang sangat Islami serta penegasan atas komitmen keislaman menjadi kata kunci untuk menentukan siapa yang berhak memiliki otoritas keislaman. Dalam konteks itu, seseorang yang meski tidak memiliki penguasaan ilmu-ilmu tradisional keislaman dan pernah belajar kepada ulama kenamaan dalam rentang waktu tertentu, namun memiliki kepekaan wacana Islam dalam berbagai urusan yang bersifat duniawi dapat dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas keagamaan.
Konteks modernitas tersebut pada gilirannya menerbitkan sebuah pertanyaan bagaimanakah Islam melihat atau menilai praksis di ranah politik-ekonomi dan sosial-budaya serta peran apakah yang dapat dimainkannya dalam pembentukan legitimasi dan kepemimpinan keagamaan. Untuk itu, tulisan ini coba memotret K.H. Ahmad Dahlan. Ia adalah sosok yang meski tak berlatar pendidikan Islam asuhan ulama besar dan tak memiliki kekuatan mistis sebagai sumber otoritas tradisional, berhasil mendirikan salah
satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah. Otoritas keagamaan yang disematkan kepada tokoh kelahiran Yogyakarta pada 1868 ini lebih bersumber pada praksis dan dedikasinya di dunia pendidikan, reformasi pandangan keislaman tradisional, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil.
Di bidang keagamaan, Dahlan terpengaruh oleh pandangan reformis Islam Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan Rasyid Ridha. Dari situ Dahlan berkeyakinan bahwa praktik keislaman semestinya dikembalikan pada ajaran al-Quran dan hadis. Ia kemudian berusaha membersihkan seluruh praktik
keagamaan umat Islam Indonesia dari unsur budaya yang tidak Islami, sinkretis. Di bidang pendidikan, tidak seperti tokoh agama pada umumnya, ia sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan modern dan capaian peradaban Barat. Ia keberatan dengan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa Islam bertentangan
dengan modernitas dan karenanya harus menolak semua pengaruh budaya Barat.
Apresiasi terhadap Barat inilah yang di kemudian waktu menjadi alasan Dahlan untuk bergabung dengan Budi Utomo, sebuah organisasi modern yang salah satu konsentrasinya adalah memajukan pendidikan untuk kaum pribumi. Sementara di bidang ekonomi, Dahlan begitu mengutamakan kemandirian dan pemberdayaan
kaum miskin. Ia sangat memperhatikan kaum yang disebut terakhir itu dan kerap membantunya hingga memiliki kemandirian ekonomi.
Faktor-faktor di atas, terutama pengalaman di organisasi modern dan keinginan yang kuat untuk mewujudkan pendidikan modern, akhirnya memunculkan keyakinan Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi Islam bernama Muhammadiyah. Lewat pendirian organisasi inilah semua idealitas pandangan keagamaan Dahlan disuarakan. Dan dengan itu, otoritas keagamaan Dahlan pun semakin tak tergoyahkan.
Di atas segalanya, satu poin penting yang membuat otoritas keagamaan Dahlan diakui adalah pandangan keagamaannya yang berbasis pada sisi praksis. Baginya, memahami kitab suci tak bisa dilakukan hanya dengan menghapal dan menafsirkan. Lebih penting dari itu semua adalah aksi nyata, mempraktikkan ajaran (‘amal). Dari perjalanan Ahmad Dahlan, tulisan ini menyimpulkan bahwa praksis di bidang politik-ekonomi dan sosial-budaya dapat menjadi salah satu sumber legitimasi bagi pembentukan otoritas keagamaan dalam konteks masyarakat Islam modern.
Download file
Title: Praxis and Religious Authority in Islam: The Case of Ahmad Dahlan, Founder of Muhammadiyah
Author: Hyung-Jun Kim
Description
Otoritas tertinggi dalam Islam adalah al-Qur'an dan hadis. Namun pertanyaan akan siapa yang paling otoritatif untuk menafsirkan dua sumber hukum tersebut hingga sekarang terus menjadi perdebatan. Para ahli Islam setidaknya mencatat beberapa sumber otoritas dalam Islam. Pertama, karena sumber utama Islam berbahasa Arab, maka hanya mereka yang paham struktur gramatika, kosakata, semantik, dan retorika bahasa Arab sajalah yang dapat dan sah untuk menafsirkannya.
Kedua, di beberapa daerah, tradisi lokal memiliki peran cukup penting dalam penentuan otoritas keagamaan. Di Afrika dan Asia Tenggara, misalnya, otoritas keagamaan cenderung diberikan kepada seseorang yang memiliki atau menguasai kekuatan gaib tertentu. Sementara di daerah yang memiliki tradisi sufi cukup kuat, otoritas itu diberikan kepada seseorang yang berhasil memperoleh kekeramatan lewat praktik-praktik asketik, atau karena memiliki latar belakang genealogis dengan Nabi.
Ketiga, dalam konteks masyarakat modern, pendidikan dan penerjemahan kitab suci ke beberapa bahasa rupanya menjadikan konsep tentang otoritas dalam Islam mengalami perubahan yang cukup signi kan. Di masa ini, kapabilitas seseorang dalam menafsirkan urusan duniawi ke dalam istilah-istilah yang sangat Islami serta penegasan atas komitmen keislaman menjadi kata kunci untuk menentukan siapa yang berhak memiliki otoritas keislaman. Dalam konteks itu, seseorang yang meski tidak memiliki penguasaan ilmu-ilmu tradisional keislaman dan pernah belajar kepada ulama kenamaan dalam rentang waktu tertentu, namun memiliki kepekaan wacana Islam dalam berbagai urusan yang bersifat duniawi dapat dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas keagamaan.
Konteks modernitas tersebut pada gilirannya menerbitkan sebuah pertanyaan bagaimanakah Islam melihat atau menilai praksis di ranah politik-ekonomi dan sosial-budaya serta peran apakah yang dapat dimainkannya dalam pembentukan legitimasi dan kepemimpinan keagamaan. Untuk itu, tulisan ini coba memotret K.H. Ahmad Dahlan. Ia adalah sosok yang meski tak berlatar pendidikan Islam asuhan ulama besar dan tak memiliki kekuatan mistis sebagai sumber otoritas tradisional, berhasil mendirikan salah
satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah. Otoritas keagamaan yang disematkan kepada tokoh kelahiran Yogyakarta pada 1868 ini lebih bersumber pada praksis dan dedikasinya di dunia pendidikan, reformasi pandangan keislaman tradisional, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil.
Di bidang keagamaan, Dahlan terpengaruh oleh pandangan reformis Islam Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan Rasyid Ridha. Dari situ Dahlan berkeyakinan bahwa praktik keislaman semestinya dikembalikan pada ajaran al-Quran dan hadis. Ia kemudian berusaha membersihkan seluruh praktik
keagamaan umat Islam Indonesia dari unsur budaya yang tidak Islami, sinkretis. Di bidang pendidikan, tidak seperti tokoh agama pada umumnya, ia sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan modern dan capaian peradaban Barat. Ia keberatan dengan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa Islam bertentangan
dengan modernitas dan karenanya harus menolak semua pengaruh budaya Barat.
Apresiasi terhadap Barat inilah yang di kemudian waktu menjadi alasan Dahlan untuk bergabung dengan Budi Utomo, sebuah organisasi modern yang salah satu konsentrasinya adalah memajukan pendidikan untuk kaum pribumi. Sementara di bidang ekonomi, Dahlan begitu mengutamakan kemandirian dan pemberdayaan
kaum miskin. Ia sangat memperhatikan kaum yang disebut terakhir itu dan kerap membantunya hingga memiliki kemandirian ekonomi.
Faktor-faktor di atas, terutama pengalaman di organisasi modern dan keinginan yang kuat untuk mewujudkan pendidikan modern, akhirnya memunculkan keyakinan Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi Islam bernama Muhammadiyah. Lewat pendirian organisasi inilah semua idealitas pandangan keagamaan Dahlan disuarakan. Dan dengan itu, otoritas keagamaan Dahlan pun semakin tak tergoyahkan.
Di atas segalanya, satu poin penting yang membuat otoritas keagamaan Dahlan diakui adalah pandangan keagamaannya yang berbasis pada sisi praksis. Baginya, memahami kitab suci tak bisa dilakukan hanya dengan menghapal dan menafsirkan. Lebih penting dari itu semua adalah aksi nyata, mempraktikkan ajaran (‘amal). Dari perjalanan Ahmad Dahlan, tulisan ini menyimpulkan bahwa praksis di bidang politik-ekonomi dan sosial-budaya dapat menjadi salah satu sumber legitimasi bagi pembentukan otoritas keagamaan dalam konteks masyarakat Islam modern.
Download file
No comments:
Post a Comment