Suara Muhammadiyah, 13/98, 22 Syakban - 7 Ramadlan 1434 H or 1 -15 Juli 2013, hal. 34.
Ahmad Najib Burhani
Kandidat Doktor di
Univ. California – Santa Barbara & Peneliti LIPI
Teologi utama yang mendasari berdiri dan berkembangnya
Muhammadiyah adalah teologi al-Ma‘un. Teologi yang didasarkan pada Al-Qur’an
(107:1-7) ini seringkali diterjemahkan dalam tiga pilar kerja, yaitu: healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial). Teologi ini
pulalah yang membuat organisasi ini mampu bertahan hingga 100 tahun dengan
memiliki ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan layanan kesejahteraan
sosial yang lain. Karena itu, dalam rangka memikirkan Muhammadiyah paska
peringatan satu abad (18 Nopember 1912 – 18 Nopember 2012), tulisan ini ingin
melihat makna dan implementasi teologi ini dalam dua generasi yang berbeda;
generasi awal dan generasi sekarang.
Materi utama yang diajarkan KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, kepada murid-muridnya pada dekade awal abad ke-20 adalah
pemahaman Surat al-Ma‘un. Pada intinya, surat ini mengajarkan bahwa ibadah
ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Surat
ini bahkan menyebut mereka yang mengabaikan anak yatim dan tak berusaha
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebagai ‘pendusta agama’.
Berhari-hari
Ahmad Dahlan mengajarkan materi ini ke murid-muridnya. Sampai-sampai sebagian
dari mereka merasa bosan dan mempertanyakan mengapa Kiai Dahlan mengulang-ulang
pelajaran dan tidak segera pindah ke materi lain. Mendengar pertanyaan
itu, Kiai Dahlan balik bertanya, “Apakah kalian sudah paham surat ini? Apakah
kalian sudah mempraktekkannya?” Dahlan lantas meminta murid-muridnya untuk
mencari orang paling miskin yang bisa ditemui di masyarakat, kemudian
memandikannya dan menyuapinya. Inilah yang disebut pemahaman pertama dari
teologi al-Ma‘un itu.
Kiai Dahlan tidak hanya menerjemahkan teologi itu dalam
tindakan karikatif seperti tersebut di atas. Dengan menggandeng Budi Utomo dan
kraton Yogyakarta, Kiai Dahlan lantas mendirikan sekolah, rumah sakit, dan
panti asuhan. Apa yang dirintisnya seratus tahun yang lalu itu kini telah
berkembang pesat di seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, organisasi ini telah memiliki 161
perguruan tinggi, 5.500 sekolahan, lebih dari 300 rumah sakit, dan lebih dari
300 panti asuhan (Tuhuleley 2003).
Pertanyaan dasar yang perlu dikemukakan sekarang, di era
global kapitalisme, adalah apakah pemaknaan teologi al-Ma‘un seperti yang
dilakukan oleh Kiai Dahlan 100 tahun yang lalu itu masih efektif dan manjur,
terutama untuk 100 tahun akan datang? Orang menjadi miskin itu kebanyakan bukan karena mereka malas bekerja.
Banyak sekali orang miskin yang justru bekerja banting tulang 24 jam sehari.
Mereka menjadi miskin karena hidup di dalam sistem yang menciptakan kemiskinan
dan mendukung penindasan terhadap orang miskin. Cara-cara tradisional dalam
pengentasan kemiskinan, terutama yang bersifat karikatif, terlihat tak berdaya
dan kedodoran menghadapi sistem kapitalisme global dan pemiskinan struktural
oleh negara terhadap rakyatnya.
Satu contoh,
Dompet Dhuafa (DD) menciptakan program Masyarakat Mandiri (MM) di lebih dari 10
desa. Ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah telah dikeluarkan untuk
melakukan pembinaan selama bertahun-tahun. Namun sepertinya upaya itu
hilang begitu saja atau tak tampak hasilnya. Muhammadiyah juga melakukan
program pemberdayaan masyarakat miskin di beberapa tempat, namun upaya itu
sangat mudah bubar tergilas oleh kapitalisme global. Kondisi inilah yang
menyebabkan salah satu tokoh Muhammadiyah, almarhum Moeslim Abdurrahman,
menawarkan pemaknaan dan penerapan baru dari teologi al-Ma‘un.
Bagi Kang
Moeslim, pertama, definisi orang miskin itu tak boleh dibatasi pada mereka yang
miskin secara ekonomi. Orang miskin adalah mereka yang mengalami marjinalisasi
sosial, seperti petani, pemulung, dan pelacur, dan mereka yang mengalami
subordinasi sosial seperti kelompok agama minoritas (Ahmadiyah, Syiah, dan
sebagainya). Kedua, bagaimana menerapkan teologi al-Ma‘un bagi orang-orang
miskin kontemporer itu? Caranya tentu tak bisa dilakukan dengan member mereka
uang, tapi melawan sebab-sebab yang membuat mereka miskin, seperti kapitalisme
global dan budaya kemiskinan (culture of
poverty).
Pendeknya, jika
Muhammadiyah ingin bertahan atau berkembang pada 100 tahun yang akan datang,
maka selain mempertahankan upaya-upaya penerjemahan teologi al-Ma‘un dalam tiga
pilar di atas (schooling, healing, dan
feeding), organisasi ini perlu juga mengadopsi
sistem baru untuk mengejawantahkan teologi al-Ma‘un di era kapitalisme global.
--oo0oo--
No comments:
Post a Comment