Perkembangan politik di Surakarta memang menjadi suatu jalur pergerakan nasional yang dinamis tetapi pada sisi yang lain gerakan-gerakan ini juga dilaksanakan melalui gerakan budaya. Kota Surakarta merupakan acuan dari lahir dan berkembangnya pergerakan nasional tidak hanya secara politik tetapi juga menjadi barometer perkembangan budaya Jawa. Pada masa pergerakan nasional terutama pada tahun-tahun awal pergerakan berbagai gerakan budaya muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan nasional sendiri. Hal ini menjadi wajar karena terjadi stagnasi dari proses perkembangan budaya Jawa. Perkembangan bahasa sebagai alat pergaulan pada masa pergerakan telah beralih kepada bahasa Melayu sebagai lingua franca, tidak heran ketika pada tahun-tahun 1918 muncul gerakan nasionalisme Jawa yang diusung oleh kekuatan Keraton Surakarta.
Menurut Benedict R. Anderson, Jawa terutama kerajaan-kerajaannya telah mengalami dua krisis yang telah disangga bersama-sama oleh orang Jawa dan rakyat-rakyat terjajah lainnya. Pertama adalah krisis politiko-kultural dimana sejak permulaan abad ke-17 para penguasa Jawa benar-benar telah mengalami serangkaian kesalahan, kehinaan dan bencana yang hampir-hampir tak kunjung henti. Sejak akhir abad ke-18 raja-raja Pakubuwono, Hamengkubuwono dan Mangkunegoro, semuanya telah menjadi raja-raja kecil yang “berkuasa” dengan perkenan belanja dan bertahan hidup secara ekonomi demi subsidi Belanda. Ketidakmampuan golongan elit Jawa membebaskan ketertidasan rakyat dari belenggu penjajahan diungkapan secara gamblang oleh pujangga Keraton Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha yaitu:
“Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Parandene tan dadi, Paliyasing kalabendu….”
(Rajanya raja utama, Perdana menterinya tegak dalam kebenaran, Bupatinya konstan hati, Pembantunya sempurna, Namun tak seorang pun tetap tinggal, Zaman malapetaka)
Bait ini menunjukkan bahwa bahkan seorang raja yang turun menurun sempurna pun sekarang tidak mampu lagi untuk memenuhi tugas lamanya yang telah dirumuskannya sendiri yaitu guna mencegah kalabendu. Raja hanya mampu menunjukan kekuasaannya melalui berbagai politik simbol yang dipergunakan melalui berbagai gaya hidup, karya sastra, dan upacara-upacara yang dibesarkan melalui mitos-mitos.
Krisis kedua adalah krisis sastra dan bahasa yang menurut Benedict R. Anderson disebabkan kehancuran kerajaan Majapahit dan kehancuran peradaban pesisir Jawa yang dilakukan oleh Sultan Agung. Kehancuran dua kebudayaan ini dianggap sebagai jaman kegelapan Jawa yang pekat karena terobek-robek oleh berbagai macam peperangan, pembuangan, perampokan, pembantaian dan kelaparan. Krisis-krisis tersebut pada masa pergerakan menjadi sebuah gejolak-gejolak dalam masyarakat yang dituangkan dalam berbagai gerakan-gerakan. Gerakan-gerakan ini terimplementasikan dalam sebuah gerakan budaya yang memiliki dua arah terhadap dua kekuasaan yaitu kekuasaan kolonial dan feodal yang diwakili oleh raja, dan priyayi-priyayi pembantu raja. Dua arah gerakan budaya tersebut adalah budaya affirmative dan budaya kritis (Kuntowijoyo, 2004).
Gerakan politik yang telah modern juga menunjukan ke arah sana. Di Surakarta seperti telah dibahas di awal kekuatan politik terletak pada gerakan-gerakan Boedi Oetomo dan SI. Boedi Oetomo banyak didukung oleh kalangan priyayi dan bangsawan kerajaan sedangkan SI lebih banyak didukung oleh kalangan rakyat kecil dan pedagang. Dalam perjalanan gerakan SI Surakarta lebih banyak menggunakan budaya kritis dalam menghadapi dua kekuasaan yaitu kekuasaan kolonial dan feodal. Begitu pula menyikapi kondisi organisasi SI sendiri terutama CSI. Budaya kritis yang dilakukan digunakan sebagai penyeimbang kekuatan dari kekuatan dan kekuasaan CSI yang sangat besar. Selain itu, budaya kritis yang digunakan oleh SI Surakarta merupakan bagian dari konflik dengan CSI sendiri yang telah berlangsung cukup lama yaitu semenjak kekuasaan dan kepemimpinan SI berpindah ke kota Surabaya.
Bulan Januari 1918 tepatnya tanggal 9 dan 11 Januari, surat kabar Djawi Hiswara koran yang dipimpin oleh Martodharsono anggota SI Surakarta menerbitkan sebuah artikel dalam sebuah bahasa Jawa. Koran Djawi Hiswara terbit dalam dua bahasa Jawa dan Melayu. Artikel ini memuat percakapan antara Marto dan Djojo, percakapan ini rupanya diambil dari sebuah Suluk yang sangat terkenal mengenai ilmu makrifat dan Kejawen yaitu Suluk Gatoloco. Tokoh dalam serat ini yaitu Gatoloco merupakan seorang yang buruk rupa yang memiliki ilmu agama yang tinggi. Ia suka menghisap candu dan menganggap dirinya adalah utusan Tuhan. Percakapan Marto dan Djojo hampir tidak jauh berbeda dengan isi serat tersebut yaitu percakapan mengenai keberadaan Tuhan dan penggunaan candu serta minuman keras oleh para pelakunya.
Menjelang akhir percakapan Marto analogi bahwa wujud Gusti Allah adalah seperti angin yang tak berwujud. Sebelum melanjutkan percakapan kembali tentang Gusti Allah mereka beristirahat. Djojo merokok dan meminum minuman keras (ciu) sebagai penghangat badan. Akhir percakapan Djojo berkata: “inggih mangsuli bab badhe angrembag Gusti Allah rehning sampundalu punapa boten prayogi enjing-enjing kemawon, sarta mawi pirantos wilujwngan sekul wuduk, ciu, lan klelet, Gusti Kanjeng Nabi Rasul Sallaluhualihi wassalam, kados sabataning tiyang dipun wejang ( maguru). (Ya, kembali pada pembicaraan tentang Gusti Allah, karena sudah malam sebaiknya besok pagi saja dengan perlengkapan selametan, nasi uduk, minuman ciu dan tembakau, Gusti Kanjeng Nabi Rasul SAW, seperti kebanyakan orang dinasehati) (Djawi Hiswara, 11 Januari 1918).
Perkataan Djojo bahwa untuk membicarakan mengenai Tuhan maka harus dilengkapi dengan perlengkapan slametan yaitu nasi uduk, minuman ciu dan tembakau sesuai dengan nasehat Gusti Kanjeng Nabi Rasul S.A.W. Hal ini juga menjadi sebuah kebiasaan bagi masyarakat Jawa yang menganut javanism, bahwa slametan merupakan ritual untuk menyembah Gusti Allah, dan memberikan berbagai sesaji sebagai syaratnya. Perkataan-perkataan dalam percakapan tersebut menimbulkan polemik bagi kalangan umat Islam dan menganggap apa yang tertulis dalam artikel tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan agama Islam karena dalam agama Islam minuman beralkohol dan candu adalah haram hukumnya. (Bersambung)
http://phesolo.wordpress.com/2012/01/20/polemik-djawi-hisworo-abangan-versus-islam-bagian-1/
Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (2)
Friday, 28 December 2012
Kemunculan artikel Djojodikoro yang berjudul Percakapan antara Marto dan Djojo di koran Djawi Hiswara direspon keras oleh anggota-anggota CSI yang berkedudukan di Surabaya. Mereka menganggap apa yang telah dimuat dalam harian Djawi Hiswara sebagai bentuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Seperti dalam Oetoesan Hindia Abikoesno Tjokrosoejoso, adik Tjokroaminoto dan sekretaris SI Surabaya, berseru agar membela Islam dan menuntut Sunan serta pemerintah Hindia agar menghukum Martodharsono dan Djojodikoro.
Gambar Dewa Dalam Penanggalan Wuku 1
Martodharsono menjelaskan bahwa ia telah memberi catatan di bawah tulisan Djojodikoro sebagai maksud bahwa apa yang ditulis oleh Djojodikoro mengandung maksud lain dan tidak berusaha untuk menyalakan api kemarahan kaum muslimin. Dalam catatan Martodharsono menulis:
“rembag makaten poeniko jektosipoen
boten kenging dipoen gelar hing serat kabar, hawit sampoen mesti damel
sak serik dateng hingkang boten doengkap”.(pertjakapan selakoe ini ini
sesoenggoehnja tidak boleh dihampar di soerat kabar, sebab soedah tentoe
bikin koerang senang hati pada jang tidak mengerti.). “bahwa saja tidak
sadja menegah pada Djojodikoro djoega memaloemkan kalaoe toelisan mana
arti lain sopaja djangan ada jang menerima salah, sedangkan
dimaksoednja, jang dikatakan rasoel dalam pertjakapan itoe, boekan Nabi
kita s.a.w. Kandjeng Nabi Moehammad Rasoel Allah, tetapi rasoel rasa
(gevoel) nja masing-masing, djadi siapa jang bertjakap ialah jang
mempoenjainja. Demikianlah maananja jang saja kira tiap-tiap orang
abangan misti mengarti, asal sadja telah pernah bergoeroe tentang ilmoe
jang oemoemnja di bilang ilmoe kematian…”(Djawi Hiswara, 4 Februari
1918).
Martodharsono berbalik menyerang apa yang dilakukan oleh Abikoesno
Tjokrosoejoso sebagai manuver politik dari konflik yang terjadi di tubuh
SI dan dendam pribadi CSI terhadap Martodharsono. Dalam pernyataannya
Martodharsono mengatakan:
“Perkara koeno kata saja, ja’ni
sebatas congres CSI di Djocja (Jogjakarta) dan pilihan President, wektoe
mana saja misih djadi Redacteurnja Sarootomo, moelai itoe dan
selandjoetnja saja selaloe tinggal di fihak jang saja pandang bagoes
lagi toeloes haloeannja seperti toean Semaoen, toean Marco, djuga toean
Sneevliet dan toean Baars, walaoepoen Belanda, atjapkali saja
bintjangkan dan saja poedji, tetapi sebaliknja saja djadi gagoe daripada
saja misti memoedji Tjokroaminoto jang moedah poetoeskan djandjinja,
antara toean Hadji Samanhoedi, bapa SI itoe, pada hal djandji mana
terkoentji dengan soempah, lebih teges saja tidak pernah memoedji akan
dia, melingkan membilangkan sadja apa jang ada dengan sebenarnja. Itu
sebab complotnja amat membentji pada saja.”(Ibid.)
Pembelaan ini mengungkapkan bahwa dalam tubuh CSI sendiri telah
terjadi konflik kepentingan antara pihak CSI dan komunis. Martodharsono
melaporkan bahwa ia telah menunjukan sikap keberpihakannya kepada
kelompok sayap kiri Semarang ketika ia masih menjadi redaktur surat
kabar Sarotomo.Martodharsono menduga bahwa hal ini disebabkan oleh kedekatan dirinya dan Djawi Hiswara dengan kelompok komunis di Semarang. Menurut Takashi Shiraishi munculnya artikel Djojodikoro di Djawi Hiswara memberikan kesempatan emas kepada Tjokroaminoto sebagai pimpinan CSI untuk melakukan tiga hal, yaitu:
1. memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memperdulikan Islam
2. menghimpun saudagar-saudagar santri dan Arab, menghimpun uang
3. menggerakkan SI-SI yang terbengkalai di bawah pimpinannya dalam semangat membela Islam lalu menyerang musuh-musuh lamanya dari Surakarta, Martodharsono, Samanhoedi, Sosrokoernio (Takashi Shiraishi, 1997).
Langkah lain yang dilakukan oleh Tjokroaminoto adalah mengadakan reli SI yang panjang bersama Hasan bin Semit pemimpin Al Irsyad Surabaya dan juga komisaris CSI untuk membicarakan “masalah Djawi Hiswara”. Pada awal Februari di Surabaya didirikan Komite Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum muslimin”. Tjoroaminoto menjabat sebagai ketua, Sosrokardono sebagai sekretaris, Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib seorang pemimpin Al Irsyad Surabaya sebagai bendahara. Kunci TKNM terletak pada dua kata, tentara yang menandakan militansi, dan Muhammad, lambang persatuan kaum putihan. Kini tentara kaum putihan untuk pertama kalinya dalam politik pergerakan diarahkan kepada kaum abangan.
Seruan TKNM yang militan untuk membela Islam terbukti sangat berhasil. Vergadering di Surabaya pada 6 Februari 1918 berhasil mengumpulkan dana lebih dari tiga ribu gulden. Reli protes yang diadakan serentak pada tanggal 24 Februari 1918 di empat puluh dua tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatra dihadiri lebih dari 150.000 orang dan berhasil mengumpulkan dana lebih dari sepuluh ribu gulden. Subkomite TKNM didirikan hampir di seluruh Jawa kecuali Semarang dan Jogyakarta. Sejumlah SI lokal yang terbengkalai berhasil dibangkitkan kembali dibawah pimpinan subkomite-subkomite TKNM.
Tulisan Djojodikoro di Djawi Hiswara tidak menimbulkan protes di Surakarta, tetapi ketika isu tersebut dibuat menjadi isu nasional kaum muda Islam Surakarta tidak bisa lagi mengabaikannya. Pada 9 Februari 1918 bestuur SI Surakarta memutuskan untuk mengadakan vergadering umum protes pada 24 Februari, sebagaimana yang diminta Tjokroaminoto. Kekuatan penggerak di balik kampanye anti-Martodharsono, anti-Djawi Hiswara ini adalah H. Misbach, H. Hisamzaijnie, adviseur CSI, dan R. Ng. Poerwodihardjo, guru sekolah bumiputra Kasunanan dan pemimpin serikat guru (Perserikatan Goeroe Hindia Belanda). Tatkala menjelang rapat umum semakin dekat, kasak-kusuk menyebar bahwa Misbach akan menghadapi Martodharsono di arena vergadering. Vergadering SI Surakarta diadakan di taman Sriwedari dihadiri oleh sekitar 4000 orang yang sebagian besar adalah bumiputra dan orang-orang Arab yang merupakan kring-kring SI dari luar Solo dan memutuskan mendirikan TKNM di Surakarta (Djawi Hiswara, 25 Februari 1918).
Pengangkatan isu kristenisasi dan penghinaan agama Islam yang dilakukan oleh CSI mendapatkan sukses besar dengan terbentuk sub-sub komite TKNM dan terkumpulnya dana serta kembalinya dukungan dari kaum putihan yang kaya. Hal ini terlihat dengan pengharapan masyarakat ditujukan kepada TKNM yang baru terbentuk, yang diungkapkan dalam Islam Bergerak:
“saja berpengharapan kepada Comite
TKNM moedah-moedahanlah dengan segera bergiat bekerdja akan menjampaikan
betapa jang djadi toedjoeannja, dan haroeslah toean-toean kaoem
Moeslimin memberikan toendjangan dengan sekoeat-koetnja bagai geraknja
Comite dan djoega haroelah dengan sesegera-segeranja mamajoekan
permintaan kepada Regeering akan dibantoe setjoekoepnja oentoek
menjampaikan maksoednja, haroeslah Comite TKNM mengabarkan kepada
sekalian pendoedoek Moeslimin di Hindia apa jang akan dikerdjakan oleh
Comite boeat menjampaikan maksoednja akan mengekalkan perasaan Islam
kepada anak Hindia, sepandjang pendapatan saja jang lebih perloe Comite
TKNM haroeslah lebih dahoeloe berdaja oepaja akan dapat mendirikan
roemah-roemah sekolah jang sepadan dengan zamannja oentoek anak-anak
kita kaoem moeslimin dengan peladjaran igama”(Islam Bergerak, 10 April
1918).
(Bersambung…..)