REPUBLIKA.CO.ID, Selasa, 14 Agustus 2012, 18:00 WIB
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Sebenarnya, secara konstitusional, merupakan kewajiban negara untuk menghapus kemiskinan sampai batas-batas yang jauh, tetapi karena strategi pembangunan Indonesia merdeka tidak sepenuhnya dikendalikan oleh cita- cita luhur itu, terjadilah apa yang berlaku sampai hari ini. Kesenjangan sosial ekonomi masih menganga lebar di tengah pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah itu. Oleh sebab itu, diperlukan kejujuran dalam membaca ulang strategi pemba ngunan kita selama ini yang belum juga berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat Indonesia.
Tanpa kejujuran, akan sangat sulit bagi bangsa dan negara ini agar terbebas dari gejolak-gejolak sosial yang semakin marak dari waktu ke waktu. Penyebab utama nya adalah tunggal: tidak peduli terhadap keadilan yang dengan tegas diperintahkan oleh Pancasila. Diharapkan, dengan mengacu kepada parameter Teologi al-Maun, orang akan semakin sadar pola pembangunan kita selama ini ternyata telah melahirkan banyak sekali para pencoleng, koruptor, dan pendusta, sekalipun mereka sembahyang dan bertitel haji.
Kementerian Agama sering disorot sebagai kementerian paling korup. Sebagai seorang Muslim, mendengar penilaian ini rasanya bahu saya mau runtuh karena menanggung malu. Adalah sebuah ironi, Indonesia yang sejak merdeka pada umumnya dipimpin oleh para haji, tetapi mengapa seperti tidak ada korelasi signifikan dengan perbaikan moral bangsa. Saya tidak mengatakan semua haji itu pasti mempunyai karakter lemah atau yang bukan haji/non-Muslim pasti lebih baik perilakunya dibandingkan mereka yang senang menyandang gelar haji.
Tidak demikian, sebab kerusakan bangsa ini adalah akibat dosa kolektif kita, tetapi seba- gian besar kita tidak mau mengakuinya. Inilah di antara sumber malapetaka yang tak henti- hentinya mendera kita semua dan belum tampak tanda-tanda untuk membaik.
Namun, Alquran melarang orang untuk berputus asa. Oleh sebab itu, kita wajib bekerja terus-menerus untuk perbaikan betapa pun awan gelap masih belum juga menguak bagi datangnya sinar terang agar moral bangsa ini menjadi pulih sehingga hidup kita menjadi nyaman dan aman di lingkungan gugusan ribuan pulau yang cantik ini.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan para pemimpin bangsa Muslim terbesar ini? Dalam surah al-Maun, terbaca dengan jelas Allah benci pada sikap berpura-pura, tidak autentik.
Artinya, jika beragama karena ria atau karena mengejar status sosial, nilai sembahyang, haji, puasa, dan zakat adalah hampa di sisi Allah. Saya amat cemas, jangan-jangan saya termasuk dalam kategori ini. Dengan kata lain, menampilkan wajah kumuh ini samalah artinya dengan menohok diri sendiri sebab saya tidak tahu apakah ibadah haji saya ada harganya di depan Allah.
Dalam Alquran, surah al-Balad ayat 11-16, pembelaan terhadap orang yang lemah dan terpinggirkan disebut sebagai al-`Aqabah (pendakian terjal yang sukar). Makna surah tersebut, "Tetapi, dia tidak mau menempuh pendakian yang sukar itu. Tahukah engkau apakah pendakian yang sukar itu? (Yaitu) membebaskan budak. Atau memberi makan pada hari kelaparan. Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat atau kepada orang miskin yang tergeletak di atas debu."
Ayat-ayat ini menggambarkan dengan tajam kondisi Kota Makkah di bawah kekuasaan oligarki Quraisy yang menindas, tidak punya kepekaan nurani untuk berbagi. Muhammad, sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi dan rasul, menyaksikan dengan mata kepalanya betapa parahnya kesenjangan sosial ekonomi di tengah-tengah transaksi komersial yang penuh sorak-sorai di kota itu.
Kondisi ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong kuat mengapa Muhammad mesti menyendiri ke Gua Hira sampai wahyu pertama turun di sana. Dengan bekal wahyu yang kemudian turun secara berangsur berikutnya, Muhammad tidak pernah lagi pergi ke gua itu, tetapi langsung menggumulkan dirinya dengan masyarakat Makkah dengan niat suatu hari dapat membalikkan situasi gelap itu menuju sebuah kehidupan bersama yang terang ben- derang.
Jalan al-`Aqabah harus ditempuh dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, demi tegaknya keadilan. Akhirnya, saya berharap bah wa Teologi al-Maun yang sedang disusun Majelis Tarjih itu akan mempertimbangkan dengan saksama realitas sosial Kota Makkah seperti tergambar di atas. Dalam ungkapan lain, keadilan adalah sisi lain dari mata uang yang sama dari doktrin tauhid yang dikukuhkan kembali oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah langit terakhir untuk kepentingan bumi.
Kita beruntung karena sila kelima Pancasila berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," yang juga sebenarnya merupakan sisi lain dari mata uang yang sama dari sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Tetapi, sila pertama ini akan tetap menggantung di awan tinggi jika sila kelima dibiarkan telantar seperti yang berlaku di Kota Makkah yang penduduknya juga percaya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta (lihat misalnya surah al-'Ankabut ayat 61).
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Sebenarnya, secara konstitusional, merupakan kewajiban negara untuk menghapus kemiskinan sampai batas-batas yang jauh, tetapi karena strategi pembangunan Indonesia merdeka tidak sepenuhnya dikendalikan oleh cita- cita luhur itu, terjadilah apa yang berlaku sampai hari ini. Kesenjangan sosial ekonomi masih menganga lebar di tengah pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah itu. Oleh sebab itu, diperlukan kejujuran dalam membaca ulang strategi pemba ngunan kita selama ini yang belum juga berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat Indonesia.
Tanpa kejujuran, akan sangat sulit bagi bangsa dan negara ini agar terbebas dari gejolak-gejolak sosial yang semakin marak dari waktu ke waktu. Penyebab utama nya adalah tunggal: tidak peduli terhadap keadilan yang dengan tegas diperintahkan oleh Pancasila. Diharapkan, dengan mengacu kepada parameter Teologi al-Maun, orang akan semakin sadar pola pembangunan kita selama ini ternyata telah melahirkan banyak sekali para pencoleng, koruptor, dan pendusta, sekalipun mereka sembahyang dan bertitel haji.
Kementerian Agama sering disorot sebagai kementerian paling korup. Sebagai seorang Muslim, mendengar penilaian ini rasanya bahu saya mau runtuh karena menanggung malu. Adalah sebuah ironi, Indonesia yang sejak merdeka pada umumnya dipimpin oleh para haji, tetapi mengapa seperti tidak ada korelasi signifikan dengan perbaikan moral bangsa. Saya tidak mengatakan semua haji itu pasti mempunyai karakter lemah atau yang bukan haji/non-Muslim pasti lebih baik perilakunya dibandingkan mereka yang senang menyandang gelar haji.
Tidak demikian, sebab kerusakan bangsa ini adalah akibat dosa kolektif kita, tetapi seba- gian besar kita tidak mau mengakuinya. Inilah di antara sumber malapetaka yang tak henti- hentinya mendera kita semua dan belum tampak tanda-tanda untuk membaik.
Namun, Alquran melarang orang untuk berputus asa. Oleh sebab itu, kita wajib bekerja terus-menerus untuk perbaikan betapa pun awan gelap masih belum juga menguak bagi datangnya sinar terang agar moral bangsa ini menjadi pulih sehingga hidup kita menjadi nyaman dan aman di lingkungan gugusan ribuan pulau yang cantik ini.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan para pemimpin bangsa Muslim terbesar ini? Dalam surah al-Maun, terbaca dengan jelas Allah benci pada sikap berpura-pura, tidak autentik.
Artinya, jika beragama karena ria atau karena mengejar status sosial, nilai sembahyang, haji, puasa, dan zakat adalah hampa di sisi Allah. Saya amat cemas, jangan-jangan saya termasuk dalam kategori ini. Dengan kata lain, menampilkan wajah kumuh ini samalah artinya dengan menohok diri sendiri sebab saya tidak tahu apakah ibadah haji saya ada harganya di depan Allah.
Dalam Alquran, surah al-Balad ayat 11-16, pembelaan terhadap orang yang lemah dan terpinggirkan disebut sebagai al-`Aqabah (pendakian terjal yang sukar). Makna surah tersebut, "Tetapi, dia tidak mau menempuh pendakian yang sukar itu. Tahukah engkau apakah pendakian yang sukar itu? (Yaitu) membebaskan budak. Atau memberi makan pada hari kelaparan. Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat atau kepada orang miskin yang tergeletak di atas debu."
Ayat-ayat ini menggambarkan dengan tajam kondisi Kota Makkah di bawah kekuasaan oligarki Quraisy yang menindas, tidak punya kepekaan nurani untuk berbagi. Muhammad, sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi dan rasul, menyaksikan dengan mata kepalanya betapa parahnya kesenjangan sosial ekonomi di tengah-tengah transaksi komersial yang penuh sorak-sorai di kota itu.
Kondisi ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong kuat mengapa Muhammad mesti menyendiri ke Gua Hira sampai wahyu pertama turun di sana. Dengan bekal wahyu yang kemudian turun secara berangsur berikutnya, Muhammad tidak pernah lagi pergi ke gua itu, tetapi langsung menggumulkan dirinya dengan masyarakat Makkah dengan niat suatu hari dapat membalikkan situasi gelap itu menuju sebuah kehidupan bersama yang terang ben- derang.
Jalan al-`Aqabah harus ditempuh dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, demi tegaknya keadilan. Akhirnya, saya berharap bah wa Teologi al-Maun yang sedang disusun Majelis Tarjih itu akan mempertimbangkan dengan saksama realitas sosial Kota Makkah seperti tergambar di atas. Dalam ungkapan lain, keadilan adalah sisi lain dari mata uang yang sama dari doktrin tauhid yang dikukuhkan kembali oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah langit terakhir untuk kepentingan bumi.
Kita beruntung karena sila kelima Pancasila berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," yang juga sebenarnya merupakan sisi lain dari mata uang yang sama dari sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Tetapi, sila pertama ini akan tetap menggantung di awan tinggi jika sila kelima dibiarkan telantar seperti yang berlaku di Kota Makkah yang penduduknya juga percaya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta (lihat misalnya surah al-'Ankabut ayat 61).
Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Sumber: resonansi
Retrieved from: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/08/14/m8qdyn-teologi-almaun-muhammadiyah-2
No comments:
Post a Comment